"Ingat pesan Mama ya Keanu, kamu jangan main sama Arzan!"
Mendengar perkataan Yurika tersebut, Tristan pun bertanya, "lho, memangnya kenapa kalau main sama Arzan?"
"Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya, kalau Mamanya aja seperti itu, anaknya ya nggak jauh beda, pastinya seperti itu juga." Jelas Yurika.
Tristan mengelus dada. "Ya Allah, Mama! Mereka itu kan saudara sepupu, tidak seharusnya dilarang untuk bergaul."
"Tapi Mama benci sama dia, Pa. Mama benci!"
"Yang kamu benci Vania atau Arzan?" Tanya Tristan.
"Dua-duanya!" Tegas Yurika.
Tidak seharusnya Yurika juga membenci seorang anak kecil seperti Arzan. Tidak seharusnya Yurika sampai melarang Keanu bermain bersama saudara sepupunya itu.
Rasanya percuma jika Tristan berbicara panjang lebar kepada istrinya tersebut, Yurika tidak akan mengerti, sekali membenci ia akan tetap membenci. Sikap Yurika yang seperti itu membuat Tristan tambah ilfeel kepadanya, tambah membuat Tristan ingin menjauh darinya.
"Da ... Da ... Mama, hati-hati ya!"
Terdengar suara Arzan dari dalam rumah Tristan, ia yang sedang duduk di atas sofa, langsung bangkit dari tempat duduknya, lalu beranjak keluar rumah. Tristan melihat Vania yang sudah rapi, lalu ia berjalan kaki seorang diri. Tristan pun menghampiri Arzan.
"Arzan, Mama mau kemana?" Tanya Tristan.
"Mama mau cari kerja."
"Cari kerja kemana?"
"Nggak tau."
Tristan masih memperhatikan Vania yang berjalan sendirian, ia ingin mengantarnya tapi tidak mungkin, karena Yurika pasti curiga padanya. Rasa cinta Tristan yang besar pada Vania, membuat dirinya khawatir dengan janda beranak satu tersebut. Kemanapun Vania pergi, rasanya ia ingin selalu mendampinginya.
Tristan beranjak ke rumah kedua orang tuanya.
"Ibu, Vania pergi kemana?" Tanya Tristan.
"Cari kerja."
"Cari kerja dimana?"
"Dia mau ke rumah mantan majikan ibunya. Dulu ibunya kan seorang asisten rumah tangga. Dia mau datang kesana, mungkin aja ada pekerjaan untuknya." Jelas Ibu Rani.
"Oh, gitu."
"Habisnya bekerja di rumah kamu, malah disangka yang nggak-nggak." Lanjut Ibu Rani.
"Iya, Yurika memang seperti itu. Nggak ada bukti tapi terus saja menuduh Vania."
"Malah Arzan dilarang untuk main sama Keanu juga kan?"
"Iya. Aku juga nggak habis pikir dengan sikap Yurika yang seperti itu."
Tristan pun menghampiri Arzan yang sedang berada di dalam kamar. Ia terlihat sedang bermain sendirian.
"Arzan, kamu sedang bermain apa?" Tegur Tristan.
"Ini robot-robotan."
"Main ke rumah Papa yuk!" Ajak Tristan.
"Tapi aku kan nggak boleh main sama Keanu."
"Kata siapa?"
"Kata Mama Yurika."
"Nggak apa-apa, main yuk!"
Arzan menggelengkan kepalanya, ia tetap mau main sendirian. Melihat anak yang tidak bersalah tapi harus dijauhi itu, membuat mata Tristan berkaca-kaca, ia sangat menyayangi keponakan satu-satunya tersebut. Tristan pun menemani Arzan yang sedang bermain.
Di waktu yang sama, Vania sedang berada di mobil angkutan umum, ia sedang memperhatikan jalan yang dilewati karena takut terlewat jauh.
"Kiri, Bang!" Vania memberhentikan angkutan umum tersebut. Sang supir langsung memberhentikannya di pinggir jalan.
Vania membayarnya dengan uang pas, lalu ia turun. Setelah itu, Vania berjalan memasuki perumahan.
'Semoga Ibu Rahmawati masih tinggal di perumahan ini.' Batin Vania.
Vania terus saja melangkahkan kakinya. Sampai di sebuah rumah yang cukup besar, ia melihat-lihat rumah tersebut.
"Pak, benar ini rumah Ibu Rahmawati?" Tanya Vania pada security yang menjaga rumah tersebut.
"Iya, benar."
"Ibu Rahmawati, ada Pak?"
"Mbak siapa ya? Sudah buat janji dengan ibu?"
"Belum, Pak. Saya Vania, anaknya Ibu Astrid, yang dulu pernah bekerja disini. Saya mau silaturahmi dengan Ibu Rahmawati."
Security itu pun masuk ke dalan rumah, lalu menyampaikan kepada majikannya tentang kedatangan seorang wanita yang bernama Vania tersebut.
"Oke, suruh masuk!"
Security pun menghampiri Vania, lalu menyuruh ia untuk masuk ke dalam. Vania memperhatikan rumahnya yang sudah terlihat berbeda, rumah yang luas ini sudah terlihat lebih bagus dibandingkan jaman dulu waktu Vania kecil.
"Assalamualaikum." Salam Vania.
"Waalaikumsalam." Jawab Ibu Rahmawati, lalu ia menghampiri Vania.
"Bu, masih ingat saya?" Tanya Vania.
"Kamu Vania?"
"Iya."
"Wahh, sudah lama nggak bertemu. Gimana kabarnya?" Tanya Ibu Rahmawati.
"Alhamdulillah baik, Bu."
"Syukurlah."
"Sebelumnya saya minta maaf Bu, tujuan saya kesini, saya mau tanya, apakah ada lowongan pekerjaan? Saya sangat butuh pekerjaan karena suami saya sudah meninggal, jadi saya harus menghidupi anak saya."
"Hhmmm, kalau di rumah ini sih sudah penuh, posisi asisten rumah tangga sudah terisi, tapi kebetulan anak saya sedang mencari asisten rumah tangga untuk rumah barunya."
"Anak ibu yang tinggal dimana?" Tanya Vania.
"Nggak jauh dari sini kok."
"Oh, boleh saya bekerja disana?"
"Boleh, nanti saya antarkan kamu kesana."
Ibu Rahmawati menyuguhkan minuman dan makanan kecil untuk Vania, dari dulu ia tidak berubah, ia tetap baik pada Vania.
"Mari Van, saya antar ke rumah anak saya!" Ucap Ibu Rahmawati.
"Iya, Bu."
Vania bangkit dari tempat duduknya, lalu mengikuti Ibu Rahmawati, ia keluar dari rumah, lalu berjalan menuju ke rumah salah satu anaknya.
"Ini rumah anak ibu yang perempuan ya?" Tanya Vania.
"Rumah anak saya yang laki-laki."
Vania sedang mengingat-ingat anak Ibu Rahmawati yang dulu ia kenal, ia baru tahu kalau Ibu Rahmawati mempunyai anak laki-laki.
Tibalah di rumah yang cukup besar, model minimalis tapi cukup mewah. Vania mengikuti Ibu Rahmawati yang masuk ke dalam rumah tersebut.
Vania dipersilahkan duduk di sofa ruang tamu, lalu Ibu Rahmawati beranjak ke dalam untuk memanggil sang anak. Tak lama kemudian keluarlah Ibu Rahmawati bersama seorang anak laki-lakinya yang bertubuh tinggi besar, ia memakai kaos berwarna biru dongker. Wajah laki-laki itu sudah tak asing lagi bagi Vania. Mata Vania pun terbelalak melihatnya.
"Vania." Sapa laki-laki itu.
"Wildan!"
Laki-laki itu adalah Wildan, ia tidak menyangka bertemu lagi dengan teman yang pernah membully-nya di masa lalu.
"Kalian sudah saling kenal?" Tanya sang ibu.
"Sudah. Vania ini kan teman sekolahku dulu."
"Oh. Iya, Vania ini adalah Wildan, anak saya." Papar Ibu Rahmawati yang membuat Vania terkejut.
'Dulu, aku tak pernah melihat Wildan ada di keluarga Ibu Rahmawati, tapi ternyata Wildan adalah anaknya. Bagaimana bisa? Ini semua sulit dipercaya!' Batin Vania.
"Jadi gimana, kamu mau bekerja disini?" Lanjut Ibu Rahmawati.
Vania dilanda kebingungan, kalau ia bekerja di rumah ini, berarti ia harus siap jika masa lalunya yang buruk kembali menghantuinya. Walaupun saat bertemu kemarin Wildan sudah baik dengan Vania, bisa saja sebenarnya ia belum berubah. 'Ya Allah, mengapa aku diberikan pilihan yang sulit seperti ini?' Batin Vania. Disaat ia mencari pekerjaan untuk memenuhi kebutuhannya, tapi malah dipertemukan dengan laki-laki yang dibencinya.
"Aku memang lagi butuh banget asisten rumah tangga. Gimana, kamu mau kerja disini?" Tanya Wildan.