Chereads / Gejolak Dendam / Chapter 8 - Kerja Tanpa Digaji

Chapter 8 - Kerja Tanpa Digaji

Vania sedang menyetrika pakaian di rumah Yurika, tiba-tiba Keanu dan Arzan berlari-larian di dalam rumah. Vania yang mendengar ada suara anaknya disana, langsung menghampirinya.

"Arzan, jangan lari-larian disini! Mainnya diluar sana!" Titah Vania.

Praaanggg....

Baru saja beberapa detik Vania bicara, tiba-tiba salah satu dari mereka menyenggol guci milik Yurika. Mendengar suara benda yang pecah, Yurika yang sedang berada di dalam kamarnya, langsung keluar. Vania pun turut menghampiri.

"Astagfirullahaladzim gucinya pecah!" Jerit Yurika.

"Siapa yang pecahin guci Mama?" Tanya Yurika.

Arzan menunjuk Keanu yang menyenggolnya, tapi Keanu menunjuk Arzan yang memegangi guci itu sehingga pecah, dari keterangan mereka berdua Mbak Yurika lebih percaya pada anaknya, karena penjelasan Keanu lebih mendetail. Vania bingung, entah siapa yang salah karena ia sendiri tak melihatnya.

"Jadi kamu yang memecahkan guci Mama?" Geram Yurika dengan matanya yang melototi Arzan.

"Bukan, Ma. Bukan aku!" Arzan tidak mengakuinya.

"Ibarat maling, mana ada yang mau ngaku!" Seru Yurika.

Degg ...

Ucapan itu menampar hati Vania, tangan Vania mengepal, seolah ingin menampar mulut Yurika yang bicara seenaknya. Ia kesal sekali dengan mulu kakak iparnya itu. Vania menghela nafas, ia benar-benar terbawa emosi.

"Anak nakal, gimana cara kamu mau gantiin guci saya?" Teriak Yurika di hadapan Arzan. Wajah Arzan yang polos terlihat seperti ingin menangis. Vania langsung merangkul anaknya itu.

"Silahkan Mbak potong gaji saya untuk mengganti guji Mbak yang pecah!" Ujar Vania.

"Bukan hanya saya potong, tapi gaji kamu nggakakan saya bayarkan!" Ancam Yurika sambil berlalu ke dalam.

"Astagfirullahaladzim Vania!" Teriak Yurika lagi, seketika Vania menghampirinya.

"Kamu tuh bodoh ya! Ini baju kesukaan saya, Tristan baru aja membelikan saja baju ini. Tapi kenapa bisa sampai seperti ini?" Marah Yurika sambil memegang bajunya yang sobek karena Vania lupa mematikan setrika saat tadi ia panik melihat Arzan dituduh memecahkan guci, 'astagfirullahaladzim, bodohnya aku!" Batin Vania.

"Nggak becus banget sih kamu, bisa kerja nggak sih? Bodoh itu jangan dipelihara! Mana ada yang mau memperkerjakan wanita bodoh kayak kamu!" Sembur Yurika yang sangat-sangat menyakiti hati Vania. Vania hanya menunduk, ia pasrah saja mau di kata-kata apapun.

Vania meneruskan pekerjaannya dengan perasaan campur aduk, sedih, sakit, merasa bersalah. Jika benar Yurika memperkerjakan tanpa membayarnya, lalu dari mana ia mendapatkan uang?

Arzan kembali ke rumah Yurika, lalu Yurika langsung menghardiknya. "Sana, main di luar!" Arzan sudah tidak diperbolehkan menginjakkan kakinya di rumah tantenya itu.

Air mata Vania sudah tak tertahankan, ia menangis. Ingin rasanya berlari dari situasi seperti ini namun tidak bisa.

"Yurika!" Ibu Rani memanggil Yurika, lalu Ibu Rani masuk ke dalam.

"Iya, Bu!"

"Arzan nangis, katanya nggak boleh main kesini. Memangnya ada apa?" Tanya Ibu Rani, ia penasaran karena Arzan yang tiba-tiba pulang dalam keadaan menangis.

"Dia memecahkan guci saya, Bu! Saya benci dengan anak itu."

Ibu Rani tidak bisa berkata apa-apa, ia tidak ingin terkesan membela Arzan, ia juga tidak ingin membela Yurika yang menurutnya berlebihan terhadap anak kecil seperti Arzan.

"Tapi belum tentu Arzan yang melakukannya, Bu!" Bela Vania. Karena tidak ada bukti yang dapat dilihat kalau itu salah Arzan.

"Diam kamu! Kalau kamu nggak tau apa-apa, jadi lebih baik diam!" Sembur Yurika. Karena menurutnya Arzan lah yang salah.

Yurika sudah berlebihan terhadap seorang anak yatim, harusnya ia bisa melindunginya, berbuat baik padanya, tapi malah mencaci maki atas kesalahan yang belum jelas benar atau tidak ia yang melakukannya.

Hari sudah sore, Vania kembali ke rumahnya, ketika sudah berada di dalam kamar, tangisnya tumpah, ia tak bisa menahan air matanya.

Ketika ada masalah seperti ini, ia tidak bisa cerita kepada siapapun karena biasanya hanya suaminya tempat ia bercerita, sekarang sudah tidak ada.

Ia menatap wajah Arzan yang sedang tertidur pulas, ia ciumi pipi anak semata wayangnya itu. Vania berusaha tegar, entah sampai kapan ia bisa kuat berdiri sendiri.

Tiba-tiba Arzan membuka matanya, ia melihat Mamanya meneteskan air mata.

"Mama kenapa nangis?" Tanya Arzan, lalu Vania menghapus air matanya.

"Ga apa-apa. Kamu kok bangun?"

"Aku laper!"

"Yaudah nanti kita makan. Mama mau tanya dulu, memangnya tadi yang mecahkan guci itu siapa? Kamu atau Keanu?"

"Pas aku lagi lari, Keanu yang menyenggol, lalu hampir kena aku, makanya aku buru-buru menghindar."

"Kamu ga bohong kan?"

"Nggak, Mama!"

Vania yakin jika anaknya ini tidak berbohong, karena dari kecil ia selalu mengajarkan Arzan untuk selalu bicara jujur.

Vania keluar dari kamarnya, ia beranjak ke ruang makan, mengambil sepiring nasi untuk Arzan.

"Van, memang tadi kejadiannya gimana?" Tanya Ibu Rani yang sedang berbincang bersama Bapak Irwan di ruang makan.

"Tadi Arzan mengatakan, yang salah adalah Keanu, Keanu yang dengan sengaja menyenggol guci itu, hingga akhirnya pecah." Ungkap Vania, lalu ia juga mengatakan pada Ibu Rani kalau iparnya itu tidak mau membayar tenaganya yang dipekerjakan di rumahnya.

"Nanti, biar ibu sampai kan hal ini pada Tristan!" Ucap Ibi Rani.

Vania sedikit tenang karena sudah menceritakan semuanya kepada Ibu mertuanya itu.

***

Hari ini Vania bekerja seperti biasa, beruntung tidak ada Yurika karena hari ini ia sedang arisan di rumah temannya.

"Vania!" Panggil Tristan. Vania yang sedang menyapu lantai, menghentikan pekerjaannya. Tristan mengajak Vania duduk untuk berbicara sebentar.

"Kenapa, Mas?"

"Ibu sudah cerita semuanya ke aku, maafkan Yurika ya!" Ucap Tristan.

"Kamu tenang aja, kamu bekerja disini akan tetap saya gaji kok!" Lanjut Tristan.

"Terima kasih, Mas!"

Mas Tristan memandang Vania yang duduk di hadapannya, namun Vania berusaha mengalihkan pandangannya.

Tristan sudah jatuh hati dengan Vania, jika Vania bersedia, ia ingin mempersunting wanita yang sudah menjadi janda dari adiknya itu.

Ia ingin mengutarakan perasaannya pada Vania, namun rasanya belum memungkinkan, karena Vania masih bersikap cuek pada Tristan. Tristan berpikir sejenak, bagaimana caranya agar Vania bisa luluh padanya.

"Van, kamu lagi butuh apa?" Tanya Tristan.

Vania tidak mengerti maksud Kakak iparnya itu, ia memicingkan kedua matanya, "maksudnya?"

"Iya maksud aku, kamu lagi mau beli tas atau sepatu atau baju atau kamu mau perawatan wajah agar kamu terlihat lebih cantik?" Tawar Tristan.

Vania menggelengkan kepalanya, "aku hanya butuh uang untuk membayar hutang almarhum suamiku."

"Hanya itu?"

"Iya."

"Oke, nanti akan aku berikan uang untuk mencicil hutang suamimu."

Entah mengapa Vania jadi berpikir, jika kebaikan Tristan karena ada sesuatu yang ia mau dari Vania. Di satu sisi, Vania merasa takut tapi di sisi lain, ia juga butuh uang, jadi Vania tidak akan menolak jika Tristan membantu membayar hutang adik kandungnya itu.