Keluarga almarhum Erik, termasuk Vania dan Arzan datang ke makamnya untuk mendoakannya, tak terasa kepergian Erik sudah empat puluh hari, secepat itu Vania melewatkan hari-hari tanpa seorang suami yang biasanya menemani. Kepergian Erik masih menyisakan sedih bagi Vania, saat ia sedang sendiri, ia pasti selalu teringat almarhum suaminya itu. Namun ia tak bisa terus-terusan berdiam diri dalam kesedihan, demi menghidupi buah hatinya apapun akan ia lakukan.
Setelah mendoakan almarhum, Vania dan Arzan masuk ke dalam mobil milik Tristan, lalu mereka kembali ke rumah. Malam ini akan di adakan pengajian memperingati empat puluh hari meninggalnya Erik.
Sore ini Vania dan Yurika sedang membantu meletakkan kue-kue ke atas piring.
"Van, kamu nggak ada niat mau nikah lagi?" Tanya Suci, salah seorang tetangga yang juga sedang membantu.
"Belum tau, Mbak!"
"Nggak usah mikirin nikah, lunasin dulu tuh hutang-hutang suamimu biar nggak memberatkan dia di akhirat!" Tutur Yurika yang membuat tetangga-tetangga jadi melirik Vania. Mereka semua tidak ada yang tahu masalah hutang yang Erik tinggalkan tapi karena mulut Yurika yang tidak terjaga, mereka jadi tahu.
"Justru itu nikah sama pengusaha kaya raya aja, biar bisa melunasi hutang-hutang suami." Sahut Ira.
"Hhmmm ... Mana ada pengusaha kaya raya yang mau sama dia!" Ejek Yurika yang menganggap Vania wanita miskin dan norak. Menurut Yurika, Vania hanya cocok dengan seorang pria yang juga setingkat dengannya.
"Dia itu cantik lho! Aku yakin kalau dia kerja di kantor banyak yang mau sama dia!" Puji Ira sambil melirik Vania. Vania hanya tersenyum saja mendengar ucapan-ucapan mereka walaupun ada ucapan Yurika yang merendahkannya, tapi ia yakin suatu saat ia akan mendapatkan suami yang terbaik.
Yurika melirik Vania dengan lirikan tajamnya, wajah Yurika memang terlihat sinis, wajah dan mulutnya memang sama, sama-sama memperlihatkan ketidaksukaannya terhadap Vania.
Acara pengajian empat puluh hari Erik sudah di mulai, Vania masuk ke dalam kamarnya, ia kembali melihat foto-foto kebersamaan dengan suaminya yang tersimpan di ponselnya. Terakhir, Erik mengajak Vania jalan-jalan ke pantai, mengajak Arzan bermain ombak disana. Arzan sangat gembira di ajak pergi oleh kedua orang tuanya. Mas Erik pun senang bisa mengajak anak serta istrinya jalan-jalan, walaupun bukan ke tempat yang mahal, makannya pun bukan di Resto yang mahal. Namun kebersamaan itu sudah sangat membuat mereka bersyukur, namun kini semua tinggal kenangan.
Arzan memasuki kamar, lagi-lagi anak itu menerima amplop dari beberapa tamu yang hadir di acara empat puluh hari, amplop itu ia berikan lagi pada Mamanya.
"Alhamdulillah ..." Ucap Vania. Karena uangnya bisa ia gunakan untuk kebutuhan sehari-hari bersama Arzan.
Acara empat puluh hari Erik selesai, Vania dan Yurika membereskan rumah. Ketika melihat Arzan, Yurika seperti masih ada rasa benci karena kejadian kemarin.
"Sana mainnya, lantainya sedang dibersihkan!" Hardik Yurika pada Arzan dan juga Keanu. Tak lama kemudian, terdengar suara tangis dari Arzan dan Keanu, rupanya mereka rebutan mainan milik Keanu.
Vania yang melihatnya, langsung melerai mereka dan mencoba merayu Arzan untuk memainkan mainannya yang lain. Tapi Arzan tetap tidak mau, ia masih saja merebut mainan milik Keanu, tiba-tiba mainan tersebut rusak, Keanu pun menangis.
"Arzan, kamu itu sudah memecahkan guci, sekarang mainan milik Keanu dirusak juga. Itu mainan mahal! Mana mampu Mamamu beli mainan seperti itu!"
"Maaf ya, Mbak!" Ucap Vania.
"Anakmu tuh di didik yang benar, biar nggak asal rebut mainan milik orang lain!" Sembur Yurika sambil menunjuk-nunjuk Arzan.
"Sudah-sudah! Hanya gara-gara mainan aja sampai marah-marah gitu!" Ucap Tristan.
"Mama kesel banget sama mereka, dari siang berulah terus!" Balas Yurika.
Vania dan Arzan seperti maling yang sedang dihakimi. Vania tidak bisa membalas perkataan Yurika walau dalam hatinya juga sangat kesal. Vania berjanji pada dirinya sendiri, bahwa ia harus sukses dikemudian hari.
Arzan masuk ke dalam kamarnya, karena kelelahan bermain seharian, ia tertidur. Vania beranjak ke kamar mandi untuk berwudhu, lalu menunaikan sholat isya. Selesai sholat, Vania menangis, ia mendoakan sang suami, lalu ia juga berdoa agar memohon kebaikan untuk dirinya dan juga untuk Arzan.
Selesai sholat, Vania tidur di samping anaknya itu, tiba-tiba saja Arzan meracau, ia menyebut-nyebut nama almarhum Papanya, Vania terbangun, begitu mendengar suara Arzan tersebut.
"Arzan!" Vania membangunkan anaknya itu seraya mengusap-ngusap pipinya. Badannya panas, pantas saja ia meracau seperti itu, ternyata ia sedang sakit.
Vania panik, ia langsung mengambil obat panas yang tersedia di kotak obat, ia langsung meminumkannya pada Arzan. Ia melihat jam dinding yang sudah menunjukkan pukul setengah lima pagi. Tak lama kemudian adzan subuh terdengar, ia langsung menunaikan sholat subuh.
Matahari sudah bersinar, pagi telah menyapa seluruh isi bumi, namun Arzan masih saja tertidur karena obat penurun panas yang Vania berikan saat subuh tadi. Vania masih menemani anak semata wayangnya ini di dalam kamar. Badan Arzan masih juga panas, belum juga turun panasnya. Tiba-tiba Vania teringat Mas Erik, jika Arzan sakit seperti ini, biasanya Mas Erik yang sering terbangun di malam hari, Mas Erik juga tak segan untuk membantu Vania dalam mengurus buah hati mereka. Mas Erik termasuk suami teladan yang tidak sungkan membantu pekerjaan rumah, mereka bahu membahu dalam menyelesaikan pekerjaan rumah tangga maupun dalam mengurus anak.
"Vaniaaa!" Yurika memanggilnya. Vania yang masih berada di dalam kamar, menghampirinya.
"Van, kok kamu belum ke rumah saya? Kerjaan rumah sudah menanti, terutama pakaian kering sudah antri minta disetrika, ada seragam Mas Tristan, ada seragam Keanu, cepat sana!"
"Tapi, Arzan sedang sakit, Mba! Saya belum bisa bekerja."
Tristan tiba-tiba saja datang dan mendengar ucapan istrinya itu.
"Ada apa sih?" Tanya Tristan.
"Ini nih si Vania, kerjaan di rumah banyak, tapi disuruh kerja malah alasan!"
"Bukannya begitu Mas, Arzan badannya panas, semalam ia mengigau menyebut-nyebut nama Mas Erik, saya nggak tega kalau harus meninggalkan anak saya!"
"Yaudah, ayo kita bawa Arzan ke dokter!" Ucap Tristan.
"Nggak usah, Mas! Beliin aja obat di warung, nanti juga sembuh!" Ujar Yurika, namun Tristan tetap ingin membawa Arzan ke Klinik terdekat, lalu Tristan menggendong Arzan masuk ke dalam mobil.
Arzan membuka matanya, ia baru sadar bahwa ia sedang berada di dalam mobil.
"Mama, kita mau kemana?" Tanya Arzan.
"Kita mau ke Klinik, Sayang."
"Aku nggak mau disuntik!"
"Nggak, kamu nggak akan di suntik, hanya diperiksa sebentar sama Ibu Dokter." Ucap Vania.
"Iya, tenang aja Arzan, kamu ga akan disuntik kok!" Sahut Tristan.
Setelah sampai di Klinik, dokter langsung memeriksa Arzan, lalu memberikan resep obat dan vitamin untuknya, setelah itu Vania menebus obatnya di apotik yang berada di sebelah Klinik.