Chereads / Bukan Bucin Biasa / Chapter 5 - Bagian 5

Chapter 5 - Bagian 5

Selesai makan malam, Ameer memilih membaca buku di balkon kamarnya sambil menikmati udara sejuk di malam hari sekaligus memberikan waktu untuk ususnya mencerna makan malam sebelum tidur.

Di tengah keseriusannya membaca, sesuatu mengusik pendengarannya. Ia melirik ke bawah untuk mencari asal suara itu. Suara berisik di balik pohon bonsai dengan pencahayaan yang redup membuatnya tidak bisa melihat dengan baik dari balkon kamarnya. Khawatir kalau ada maling yang menyusup ke rumahnya, Ameer memutuskan untuk turun dan memeriksanya langsung.

"Siapa disana?!" teriaknya sambil mengamati sekitar.

Perlahan seseorang muncul dari balik pohon dengan wajah tertunduk takut-takut. Nisa yang tadi kehilangan kucing yang ia bawa dari jalan mencarinya di taman sekitar rumah. Tidak di sangka malah membuat keributan dan kepergok oleh Ameer. Padahal Mira sudah melarangnya untuk membawa kucing ke rumah itu karena Ameer yang memiliki alergi dengan bulunya. Tapi bersikukuh ingin merawatnya. Setidaknya sampai kucing itu sembuh.

"Haciww." Ternyata benar, Ameer langsung bereaksi saat ada kucing di dekatnya.

Nisa yang sedang menggendong kucing tersebut di tangannya langsung mundur beberapa langkah.

"Siapa yang mengijinkanmu membawa kucing ke rumah ini?" Tatapan mata tajam milik Ameer yang selalu terkesan dingin membuat Nisa menciut.

"Maaf. Tadi saya menemukannya terluka di pinggir jalan. Jadi saya bawa pulang untuk merawatnya," jawabnya takut-takut.

"Rumah ini bukan penampungan hewan. Bawa pergi sekarang juga!"

"Saya mohon biarkan saya merawatnya sampai sembuh. Setelah itu akan saya lepaskan." Mohon Nisa dengan wajah memelas. Sungguh ia tidak tega kalau harus melepaskan kucing itu sekarang.

"Jangan biarkan binatang itu berkeliaran sembarangan!" Ameer membalikkan badannya dan beranjak dari tempatnya.

Mendengar ucapan Ameer, itu artinya ia membiarkan Nisa merawat kucing itu sampai sembuh. Membuat Nisa berbinar seketika.

"Terimakasih," ucapnya sedikit keras, agar Ameer sudah berjalan menjauh bisa mendengarnya.

Nisa kembali ke belakang rumah untuk meletakkan kucing dalam gendongannya ke dalam kandang agar tidak berkeliaran sesuai perintah Ameer. Meskipun begitu, ia cukup senang diijinkan merawat kucing itu sampai sembuh.

"Bu, kenapa Ameer tinggal sendirian di rumah sebesar ini?" Setelah beberapa hari tinggal disana, baru hari ini Nisa penasaran akan hal ini.

"Bukannya ada kita berdua?" Mira yang masih fokus melipat pakaian, menjawab Nisa seadanya.

"Ihh ibu mah. Maksudku sebagai pemilik rumah. Emangnya kita termasuk pemilik?"

Mira menghela napas. "Nyonya besar selalu berada diluar negeri untuk mengurus bisnisnya sejak Tuan Besar meninggal. Sejak Den Ameer kelas satu SMP."

"Ngga pernah pulang sama sekali?"

"Pernah. Waktu Den Ameer lulus SMP mau masuk SMA. Nyonya besar pulang untuk tiga hari. Setelah itu ia pergi lagi."

Nisa hanya manggut-manggut mendengar penjelasan ibunya. Dalam hati ia tidak bisa membayangkan kesepian yang dirasakan laki-laki itu. Meskipun ia sendiri jarang berkumpul dengan ibunya, setidaknya Mira masih bisa pulang sebulan sekali untuk berkumpul bersamanya.

"Sudah sana kamu tidur, gih! Biar besok ngga telat," perintah Mira.

Nisa mengangguk dan merebahkan tubuhnya di kasur. Sebelum benar-benar tertidur ia menatap ibunya yang sedang menyusun pakaian di lemari. Meskipun wajahnya terlihat lelah, tidak pernah sekalipun Nisa mendengar ibunya mengeluh.

Pagi harinya sebelum berangkat sekolah, Nisa menyempatkan diri untuk memberi makan Poci. Yap, kucing yang ia temukan kemarin ia beri nama Poci.

"Jangan pergi kemanapun sampai aku pulang sekolah. Mengerti?!" ucapnya pada Poci yang sedang menyantap makanannya. Ia hanya mengeong sebagai jawaban atas perintah Nisa.

"Anak pintar!" Nisa mengelus-elus kepala Poci lalu beranjak dan menyalim Mira.

Saat hendak keluar gerbang, Nisa melihat Ameer yang hendak masuk ke dalam mobil. Pandangan mereka sempat bertemu, tapi Ameer lekas masuk ke dalam mobil dan menutupnya. Mobil melaju melewati Nisa yang berdiri di dekat gerbang. Ia pun segera berjalan menuju halte bis yang tidak jauh dari kompleks perumahan.

Nisa buru-buru masuk gerbang saat melihat Pak Suparman mulai menariknya, pertanda bel sudah berbunyi. Gara-gara ada kecelakaan lalu lintas, bis yang dikendarai Nisa mengalami kemacetan. Jadilah ia nyaris telat seperti sekarang. Untung saja Pak Suparman melihatnya dan menahan menutup pintu gerbang untuk dirinya.

"Makasih, Pak!" ucapnya sambil berlari menuju kelas.

Suasana di luar kelas sudah sepi karena semua murid sudah masuk ke dalam sejak beberapa menit yang lalu. Nisa merasa bersyukur saat melihat meja guru masih kosong. Dengan semangat ia melangkahkan kakinya memasuki kelas. Sangking semangatnya ia tidak menyadari pintu kelas yang sedikit tertutup, berbeda dari biasanya.

"Brukkk." Sebuah tempat sampah mendarat di atas kepalanya beserta sampah yang berjatuhan saat ia membuka pintu.

Sebagian teman memandang kasihan melihat apa yang terjadi pada Nisa, namun ada juga yang menertawakannya seolah bahan candaan.

"Dean Samudra Pratama!!!!" Nisa mendengus kesal. Ia ambil tong sampah yang tergeletak di lantai lalu berjalan menuju Dean yang masih tertawa terbahak-bahak melihat keadaan Nisa yang sedikit kacau. Beberapa sampah menempel di rambutnya.

"Rasain nih!!" Nisa membalas Dean dengan menutup kepala pria itu dengan tong sampah yang ia bawa. Gantian, kini teman-temannya yang menertawakan Dean yang terlihat konyol.

"Lo?!" Dean membuang tong sampah di kepalanya ke sembarang arah. Dia hampir saja meneriaki Nisa sebelum seorang guru tiba-tiba masuk ke kelas. Mengurungkan niatnya memberi pelajaran pada Nisa.

"Awas aja Lo ntar!" ancam Dean dengan mata melotot.

Alih-alih takut akan ancaman Dean, Nisa malah menjulurkan lidahnya ke arah pria itu. Bermaksud mengejeknya. Teman-temannya yang lain hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah mereka berdua. Seperti Tom dan Jerry saja!

Sudah satu jam pelajaran matematika berlangsung, Nisa merasa matanya sudah mulai mengabur melihat angka-angka yang dijelaskan Pak Broto di papan tulis. Suara pria paruh baya itu ibarat dengungan lebah yang lalu lalang di telinganya. Sama sekali tidak bisa ia cerna apalagi memahaminya.

"Hei, kamu!" Pak Broto dengan kumis tipis di atas bibirnya menunjuk Nisa yang hampir saja menjatuhkan kepalanya di atas meja.

Nisa yang tadinya mengantuk, mendadak segar seketika saat di tunjuk Pak Broto. "I-iya Pak?"jawabnya takut-takut. Siapa juga yang tidak kenal Pak Broto, julukan guru killer adalah gelar kehormatannya. Tidak ada seorang murid pun yang berani bersuara apalagi bertingkah di jam mata pelajarannya kalau tidak ingin kena hukuman.

"Apa perlu Bapak sediakan bantal agar kamu tidur nyenyak?"

Sontak semua murid tertawa mendengar sindiran Pak Broto, terlebih orang yang duduk di sebelahnya. Besar suaranya seperti menggunakan toa mesjid saja. Membuat gendang telinga Nisa bergetar.

"Sana cuci muka kamu dulu!"

Nisa menurut untuk pergi membasuh mukanya ke toilet. Hitung-hitung mengistirahatkan otaknya sejenak dari mata pelajaran yang paling tidak ia kuasai.

Berjalan menuju toilet Nisa akan melewati kelas XII IPA 4 sampai dengan 1 karena tempatnya yang berada di paling ujung. Beberapa kelas terlihat berisik karena kosongnya guru yang mengisi pelajaran. Menjadi kesempatan bagi mereka untuk ajang bermain, mengobrol atau bermain ponsel. Nisa tersenyum, benar-benar murid sejati, batinnya.

Namun saat melirik ke kelas XII IPA 1, Nisa dibuat kagum. Meski tidak ada guru yang mengajar, kelas itu tetap hening. Semua murid didalamnya tetap tekun belajar tanpa ada suara bising seperti yang lainnya. Nisa menggeleng, benar-benar murid teladan, batinnya.

Keluar dari toilet, seseorang menghadang langkahnya. Nisa memutar bola mata malas melihat senyum menjengkelkan dari orang itu.

"Elo lagi?"