"Ehh, bis nya datang!" ujar Nisa senang. Karena sudah hampir setengah jam mereka menunggu. Ameer dan Dean pun ikut beranjak saat bis itu berhenti tepat didepan mereka.
Sore hari yang bertepatan dengan jam pulang kantor, bis yang mereka tumpangi pun penuh terasa sesak. Mereka juga harus berdiri karena kosongnya kursi penumpang. Di saat-saat seperti inilah biasanya orang-orang berniat buruk mengambil kesempatan.
Nisa tidak menyadari seseorang berusaha merogoh tasnya yang berada di belakang. Sebenarnya bukan Nisa saja, orang-orang disekitar pun tidak menyadari hal itu karena lihainya tangan si pencuri. Namun, saat pencuri itu sedang bersusah payah meraba, tiba-tiba saja tangannya dicengkeram. Takut-takut ia menoleh, dilihatnya dua orang bocah SMA yang mendapati dirinya sedang beraksi.
Ameer dan Dean saling melempar pandang saat keduanya secara bersamaan mencengkeram tangan seseorang yang berusaha mencopet Nisa. Sambil melotot tajam, mereka juga memberikan kode agar orang itu menghentikan aksinya. Berhasil, pencopet itu mengeluarkan tangannya dari tas tanpa sepengetahuan Nisa lalu menghentikan bis dan turun dari sana segera.
Nisa yang tidak menyadari kejadian itu hanya mendengus kesal saat orang yang baru saja turun menyenggol sikunya cukup keras karena terburu-buru. Saat ia mengusap sikunya, tiba-tiba ponselnya berdering. Muncul nama IBU NEGARA di layar ponsel itu.
[ Nisa, kamu dimana?]
"Ini lagi di bis jalan pulang, Bu?"
[Apa kamu tau Den Ameer kemana? Tidak biasanya dia pulang telat?]
Nisa melirik Ameer di belakangnya. Lalu berbisik ke arah ponselnya. "Ini lagi di bis bareng aku, Bu."
[Oh. Ya sudah kalau gitu.]
Nisa memasukkan ponselnya kembali ke tas saat sambungan telepon berakhir. Ia menoleh ke arah Ameer dan Dean yang berdiri tepat di belakangnya. Ameer yang terlihat tenang meski bis terasa sesak berbanding terbalik dengan Dean yang terlihat gelisah. Ia mengibas-ngibaskan tangannya seperti orang yang kepanasan.
"Kenapa dah Lo?? Nggak pernah naek ginian?" tanya Nisa dengan nada mengejek.
"Berisik Lo!" sengitnya mengalihkan pandangan.
Nisa mencebikkan bibir menanggapi tingkah Dean, sementara Ameer seperti tidak peduli dengan apa yang mereka bicarakan. Ia hanya menatap jalanan yang semakin terlihat redup dari cahaya matahari, namun berganti dengan terangnya lampu jalanan atau pemilik toko yang berada di sepanjang jalan. Karena macet, bis hanya bisa bergerak sedikit demi sedikit. Apalagi dengan body nya yang besar, sangat sulit untuk menyalip.
"Tau gini gue naek ojol!" keluh Dean saat bis tak kunjung jalan. Sekalipun jalan hanya beberapa meter saja, itu juga menunggu waktu yang cukup lama. Rasanya ia sudah tidak tahan dengan tubuhnya yang penuh dengan keringat. Belum lagi perutnya yang lapar minta diisi sejak tadi.
Mendengar ucapan Dean, Nisa mengangkat sebelah bahunya tak acuh. Toh tidak ada yang menyuruhnya naik bis. Dia sendiri yang berinisiatif untuk ikut.
Sementara Ameer mengamati sekitar, lalu meminta supir menghentikan bis.
"Lo mau ngapain?" Nisa mengerutkan dahi saat melihat Ameer berjalan ke arah pintu.
"Jalan kaki."
Eh? Jalan kaki? Reflek Nisa pun ikut turun. Setelah diperhatikan, memang kawasan ini tidak terlalu jauh dari rumah Ameer. Mungkin memakan waktu sekitar satu jam. Mungkin.
Melihat Nisa dan Ameer turun, Dean ikut menyusul setelah membayar ongkos. Namun hidungnya mencium aroma yang seketika membangkitkan rasa lapar. Tidak jauh dari tempat mereka, ada sebuah warung bakso di pinggir jalan.
"Lo pada nggak laper?"
Nisa dan Ameer menoleh ke belakang dimana Dean berada. Jujurly, Nisa sendiri sudah lapar sejak tadi. Tapi ia sudah tidak punya uang saku lagi di kantongnya. Mau bayar pakai apa, nanti? Ia hanya bisa memegangi perutnya yang terlihat kempes.
Tanpa menjawab, Ameer melangkahkan kaki ke warung bakso yang dimaksud Dean. Duduk dan memesan tiga mangkuk bakso sekaligus.
"Oi buntut kuda! Lo nggak masuk?" Dean memanggil Nisa yang masih mematung.
"Lo yang traktir?"
Dean berdecih. "Enak aja Lo. Emangnya Lo siapa gue?"
Nisa menggembungkan pipinya. Terlihat menggemaskan. "Gue balik duluan aja deh. Nyokap pasti udah nungguin." Nisa berdalih.
"Aku yang traktir!"
Baru saja Nisa membalikkan badannya, suara Ameer menghentikannya.
"Seriusan?" Mata Nisa berbinar seketika.
Namun Ameer tidak menjawab, ia malah masuk lagi ke dalam warung bakso yang terlihat cukup ramai.
"Dasar muka gratisan, Lo!" sindir Dean saat Nisa melewatinya.
"Muka gue emang gratisan dari Tuhan keles!" sahutnya santai.
Dean melayangkan tangannya ke udara seolah ingin menjitak Nisa, lalu ikut masuk ke dalam warung.
Tidak heran jika warung bakso tersebut lumayan ramai. Rasa baksonya sungguh menggoyang lidah. Ditambah lagi dengan kuahnya yang gurih, benar-benar perpaduan yang sempurna. Lihat saja Dean, laki-laki itu sampai menambah satu mangkok lagi.
"Ditraktir tau diri kali!" sindir Nisa saat Dean melahap semangkok bakso yang kedua.
"Tenang, gue yang traktir jadinya!" balas Dean yang merasakan mulutnya nyaris terbakar sangking pedasnya.
Mendengar itu, Nisa tersenyum menyeringai.
"Gue ke toilet sebentar!" ujarnya.
Setelah hampir 15 menit, Nisa akhirnya kembali. Dean mengomelinya karena terlalu lama. Sementara Nisa hanya nyengir menanggapi.
"Gue bayar dulu!"
Begitu Dean menuju kasir, Nisa menarik lengan Ameer hingga pria itu terkejut sekaligus bingung. Nisa terus berjalan hingga mereka menjauh dari warung bakso. Sementara Dean tidak menyadari mereka pergi lebih dulu.
"Berapa, Mbak?" tanyanya pada petugas kasir.
"Dua ratus ribu, Mas."
Dean melotot tidak percaya saat kasir tersebut menyebutkan jumlah yang harus ia bayar.
"Mahal amat, Mbak! Kita cuma pesan empat porsi bakso sama empat es teh lho!" Dean menunjuk daftar menu yang disertai harga. Kalau di hitung, totalnya hanya 100 ribu. Kenapa bisa jadi 200 ribu?
"Sama tambahan lima bungkus bakso, Mas. Nona yang memakai seragam yang sama dengan Mas yang memesannya," jelas kasir menunjukkan bill.
"APA?!!!"
Matanya nyaris keluar melihat tagihan tersebut.Tertera total sembilan porsi bakso dan empat gelas es teh yang harus ia bayar. Rasanya ia ingin berteriak dan memaki Nisa saat itu juga. Namun, mengingat ramainya pengunjung-- ia urungkan.
Dean mendengus kesal. Lalu mengeluarkan dua lembar uang seratus ribuan dari dompetnya dan menyerahkannya ke kasir. Ia menuju kursi dimana mereka duduk, namun tidak ada orang disana. Kosong. Nisa dan Ameer sudah pergi entah kemana.
"Sial, gue dikerjain!" gerutunya pelan.
Sementara Nisa melepaskan tangannya dari lengan Ameer. Ia masih terus saja tertawa membayangkan wajah Dean yang di penuhi kekesalan.
"Pasti mukanya udah merah kayak kepiting rebus karena kesel!" ujarnya sambil cengengesan.
"Buat apa bakso sebanyak itu?" tanya Ameer tanpa ekspresi.
"Tiga buat satpam depan komplek, dua buat ibu sama Pak Sugeng." Pak Sugeng satpam di rumah Ameer.
Menenteng lima bungkus bakso sambil berjalan membuat napas Nisa sedikit terengah-engah. Jarak komplek perumahan masih beberapa ratus meter lagi dari tempat mereka berjalan. Saat Nisa hendak memindahkan ke tangan kirinya, tiba-tiba Ameer mengambil alih dari tangannya.
"Eh?" Nisa terkejut. Ameer membantunya menenteng bakso-bakso itu.
"Makasih!" ujarnya kemudian sambil mengikuti Ameer dari belakang.
Meski Ameer tidak menjawab, namun sudut bibirnya tertarik membentuk senyuman.