Sudah satu jam berlalu, itu artinya jam pelajaran olahraga berakhir. Nisa diberi tugas oleh guru untuk mengembalikan bola ke gudang penyimpanan.
"Gue temenin, ya!" ujar Rani menghampiri Nisa yang memungut bola.
Nisa tersenyum. "Nggak usah. Lo balik aja dulu ke kelas. Bukannya kaki Lo sakit?"
Tadi pada saat pertandingan, Rani tanpa sengaja menubruk Angga saat hendak mengambil bola hingga terjatuh. Lututnya yang membentur lantai berdenyut nyeri, membuat jalannya sedikit pincang.
"Beneran Lo nggak apa-apa sendiri?" Rani masih terlihat ragu. Karena letak gudang penyimpanan yang berada di paling ujung lantai dua terlihat sedikit menyeramkan. Jarang sekali ada murid yang berlalu lalang di sana.
"Emang ada apa-an sih siang-siang bolong begini? Udah ah, gue balikin nih bola dulu. Abis itu gue langsung ke kelas!" Nisa mengangkat kedua alisnya sambil tersenyum menyakinkan.
Rani pasrah. Akhirnya ia pun memilih kembali ke kelas saat Nisa berjalan menuju gudang.
Pantas saja Rani mengkhawatirkannya, ternyata sepanjang lorong menuju gudang memang sepi. Karena di sisi kanan ruang praktik komputer sedangkan di sisi kiri ialah laboratorium. Sedangkan kedua ruangan itu sedang kosong. Alias tidak ada jam pelajaran.
Merasa seperti ada yang mengikuti, Nisa merasakan bulu kuduknya ikut merinding. Namun saat ia menoleh, tidak ada siapa-siapa di sana. Dengan langkah cepat ia menuju gudang, membuka pintu lalu memasukkan bola ke tempatnya semula.
Brakkk.
Suara pintu yang tertutup tiba-tiba membuat jantungnya nyaris terlepas. Ia membalikkan badannya dan bergegas lari menuju pintu itu. Sekuat tenaga berusaha membukanya.
"Sial!" Dia mengumpat saat menyadari pintu sudah terkunci dari luar.
Sambil berusaha menggedor-gedor pintu agar siapa saja bisa mendengarnya, ia juga berteriak. Namun sialnya ruangan ini terlalu jauh dari jangkauan para murid.
Di tengah kepanikannya, ia mendengar derap langkah kaki seseorang. Ia pun kembali menggedor dan berteriak. Namun orang itu tidak meresponnya, justru semakin menjauh darinya. Akhirnya Nisa nekat memanjat sebuah meja lapuk untuk mengintip melalui ventilasi udara.
Ada seorang laki-laki yang sedang berjalan sambil memegang kunci di tangannya. Nisa bisa pastikan kunci itu adalah kunci gudang karena tadi ia sempat melihat kunci itu tergantung di handle pintu. Itu artinya, ada seseorang yang sengaja ingin mengurungnya di sana. Tapi siapa? Sayangnya wajah orang itu tidak kelihatan karena membelakangi Nisa.
Rani yang sudah tiba di kelas merasa risau karena Nisa tak kunjung kembali ke kelas. Ia pun berniat menyusulnya ke gudang. Namun di tengah perjalanan, ia bertemu Nathan.
"Eh Ran, tadi gue ketemu Nisa abis dari gudang. Terus dia bilang minta tolong Lo buat sampein ke guru, dia ijin pulang. Mendadak kepalanya pusing," ujar laki-laki itu berbohong pada Rani. Padahal jelas-jelas ia yang menutup pintu begitu Nisa masuk ke gudang lalu menguncinya dari luar.
"Hah? Pulang? Bukannya tasnya masih di kelas?" Rani mengerutkan dahi bingung.
"Oh ya sekalian dia minta tolong Lo bawain dulu tasnya. Soalnya dia udah bener-bener nggak tahan katanya."
Tanpa curiga, Rani mempercayai ucapan Nathan dan kembali ke kelas. Ia juga membawa pulang tas Nisa sesuai yang dikatakan laki-laki itu.
***
Malam harinya Mira khawatir karena Nisa belum juga pulang. Biasanya ia akan mengabari kalau pulang telat untuk belajar kelompok. Ragu, ia pun memberanikan diri bertanya pada Ameer.
"Maaf Den mengganggu. Bibi mau tanya, apa Den Ameer tahu Nisa kemana? Atau no hape teman-temannya Nisa barangkali?" Mira langsung bertanya begitu Ameer membukakan pintu.
Dahi Ameer berkerut dalam. Ia menoleh ke arah jam dinding di kamarnya. Sudah jam 8 dan Nisa belum tiba di rumah?
"Nisa belum pulang ke rumah, Bik?" tanyanya lagi untuk memastikan.
Mira menggeleng. "Belum, Den. Hapenya juga nggak bisa dihubungi." Raut kecemasan terlihat jelas di wajahnya.
"Bibi tenang dulu. Saya akan bantu cari!" Ameer kembali ke kamarnya mengambil jaket dan juga ponsel.
Buru-buru ia memesan ojek online menuju rumah Rani. Sialnya tak ada satupun kontak temannya yang ia miliki. Jadi mau tidak mau, ia harus pergi ke rumah Rani untuk menanyakan perihal Nisa. Kali saja ia tahu keberadaan gadis itu.
Begitu sampai, Rani terkejut saat mendapati Ameer yang berdiri di depan pintu rumahnya. Wajahnya yang panik membuat Rani berkerut bingung.
"Kamu tahu dimana Nisa?" tanya Ameer to the point.
Mendengar pertanyaan Ameer kening Rani semakin berkerut dalam. "Nisa? Gue sih nggak tau rumahnya dimana. Tapi, tadi dia ijin pulang karena mendadak pusing."
"Ijin pulang?" Kini giliran Ameer yang terlihat bingung. Kalau memang benar Nisa ijin pulang, seharusnya gadis itu sudah tiba di rumah sejak siang.
"Iya, tadi Nathan yang bilang ke gue waktu mau nyusul dia ke gudang penyimpanan."
Mendengar nama Nathan disebut, sekarang Ameer mengerti. Tunggu, gudang penyimpanan? Itu artinya?
Tanpa menghiraukan pertanyaan Rani -ada apa sebenarnya dengan Nisa-, laki-laki itu bergegas pergi. Untung saja ia meminta driver ojek online yang tadi menunggu, jadi ia tidak perlu melakukan pesanan lagi.
Sementara di dalam gudang, Nisa merasa air matanya sudah mengering. Sudah lama ia tidak menangis sejak kepergian almarhum sang Ayah. Meskipun mendapat perlakuan tidak enak dari teman-temannya, ia bisa menahan diri untuk tidak meneteskan air mata. Namun kali ini, tangisannya pecah. Bahkan suaranya sampai habis karena terlalu sering berteriak sejak siang tadi.
Di tempat sunyi dan gelap itu ia merasa benar-benar ketakutan.
"Ayah, Nisa takut," gumamnya dengan suara parau.
Nisa berharap ada malaikat yang Tuhan kirim untuk menolongnya saat ini. Meski rasanya mustahil, namun ia terus berdoa dalam hati.
Cklek.
Pintu terbuka bersamaan dengan seseorang yang muncul dari balik sana. Wajahnya yang membelakangi cahaya tidak bisa Nisa lihat dengan jelas. Tapi, itu bukanlah masalah.
Yang terpenting sekarang ia bisa keluar dari tempat itu dengan selamat.
Ternyata Tuhan mendengar do'a yang ia panjatkan. Mengirim seorang malaikat untuk menolongnya dari kegelapan yang mengerikan.
Dengan sekuat tenaga ia berdiri dan menghambur memeluk malaikat penolong itu.
"Terimakasih!" ucapnya sesenggukan.
"Kamu, baik-baik saja?" Suara datar khas seseorang terdengar tidak asing.
Nisa mendongak. Ia mengenali suara itu. Pelan, Nisa mengangguk masih dengan memeluk Ameer.
Laki-laki itu, dengan wajah kelegaan membiarkan Nisa memeluknya. Namun tangannya mengepal, menyimpan amarah yang tertahan. Untuk pertama kalinya, ia merasa terusik saat orang lain diperlakukan seperti ini.
"Ayo kita pulang! Ibumu sangat khawatir."
Nisa melepaskan pelukannya. Sebelum jalan, Ameer melepaskan jaket yang ia kenakan dan memakaikannya pada Nisa. Lalu menggandeng tangan gadis itu meninggalkan sekolah yang terlihat menyeramkan saat malam hari.
"Tunggu sebentar!" ucap Ameer saat mereka mencapai gerbang. Ia mengeluarkan ponsel dari saku celana dan memesan taxi online.
Nisa tidak menyahut. Ia hanya menatap datar tangannya yang masih digenggam Ameer. Rasanya hangat. Seolah mampu menepis semua ketakutannya tadi.
"Tau darimana gue ada disini?" Nisa beralih menatap Ameer. Melihat wajah laki-laki itu dari samping, Nisa baru menyadari Ameer memiliki hidung yang sangat mancung. Juga lesung pipi tipis yang terlihat meski ia tidak sedang tersenyum.
"Dari Rani."
Kening Nisa berkerut. "Lo ke rumah Rani?"
"Hmm." Ameer menolehkan kepalanya. Menatap netra bening milik Nisa yang sudah berhenti menangis.
Kini, pandangan keduanya bertemu.
Nisa bisa merasakan detak jantungnya yang tidak beraturan saat mata tajam Ameer menatapnya intens. Ia bahkan bersusah payah membasahi tenggorokannya yang semakin bertambah kering. Laki-laki itu, sejak kapan terlihat begitu tampan?
Tin..tinn.
Suara klakson mengalihkan pandangan keduanya ke arah mobil yang berhenti tidak jauh dari mereka.
"Mobilnya sudah datang. Ayo!"
Ameer menuntun Nisa ke mobil dan membukakan pintu untuknya. Lalu ia sendiri ikut naik dan duduk di samping gadis itu.
"Jalan, Pak!" ujarnya pada sang driver.