Seperti biasa, Nisa berjalan menuju halte bis untuk berangkat ke sekolah. Namun ia sedikit terkejut melihat seseorang yang sedang duduk di deretan bangku sambil membaca buku. Melihat itu, mengingatkannya pada hari pertama ia bertemu Ameer.
"Pagi, Den Ameer!" sapanya ramah. Meski sebenarnya ia merasa geli dengan panggilan itu, tapi ia juga tidak bisa mengabaikan posisi Ameer siapa.
"Pagi." jawab Ameer singkat tanpa mengalihkan pandangannya dari buku yang ia baca.
"Tumben naik bis, Den?"
"Apa ada larangan untuk saya naik bis?"
Nisa mengalihkan wajahnya ke belakang sambil mendesah. "Kumat dah ngeselinnya!" gumamnya sangat pelan.
"Ngga ada larangan kok Den, silahkan. Den Ameer bisa naik apa saja yang Den Ameer sukai. Mau ke sekolah naik odong-odong juga ngga akan ada yang berani ngelarang kok Den," ujarnya lagi sambil menahan kesal.
Ameer tidak menjawab. Namun ada senyuman tipis, bahkan sangat tipis yang tidak Nisa sadari terukir di bibir Ameer. Dan Nisa memilih untuk menutup mulutnya rapat-rapat tidak ingin bertanya apapun lagi. Percuma saja, hanya akan membuat urat-uratnya menegang menahan emosi.
Tidak lama, bis yang mereka tunggu tiba. Ameer berdiri lebih dulu untuk naik. "Jangan panggil aku dengan sebutan seperti itu. Bicara saja seperti biasanya," ucapnya sebelum menaiki bis.
Nisa yang awalnya tidak mengerti hanya mengerutkan keningnya. Namun beberapa detik kemudian ia tersenyum. "Okey" sahutnya meski tidak di dengar oleh Ameer.
Bel baru saja berbunyi. Semua murid bergegas masuk ke kelas karena pelajaran akan segera dimulai. Sambil menunggu guru datang, beberapa murid diantaranya masih asyik mengobrol. Termasuk Dean yang masih membahas hal seru dengan temannya.
Tak berselang lama, Pak Broto masuk sambil membawa setumpuk kertas di tangannya.
"Hasil ulangan harian kalian sudah keluar," ujarnya sambil duduk. Sejenak Pak Broto mengambil napas sebelum melanjutkan ucapannya. "Tapi bapak benar-benar kecewa melihatnya," keluh Pak Broto.
Semua murid hanya diam tidak berani menanggapi.
"Padahal soal matematika yang bapak kasih, sudah sering kita bahas setiap hari. Tapi sepertinya kalian tidak pernah serius mendengarkan. Kalau begitu, bapak akan membagi kelompok belajar untuk kalian. Setiap kelompok harus mengerjakan soal latihan yang bapak berikan. Kalau tidak selesai, maka jangan harap kalian bisa mengikuti ujian semester."
"Yahh tapi Pak.." Para murid mencoba protes.
"Tidak ada tapi-tapian!" Pak Broto pun mulai menyebutkan nama pembagian kelompok belajar satu persatu.
"....."
"...."
"Nisa, Dean, Rani dan Tari kalian kelompok lima."
Mendengar namanya berada satu kelompok dengan Dean, Nisa mengangkat tangannya.
"Pak..."
"Jangan banyak protes!" potong Pak Broto sebelum Nisa melanjutkan ucapannya.
Nisa mengerucutkan bibirnya. Berada satu kelompok dengan Dean seperti bencana besar baginya. Lihat saja senyum di wajah laki-laki itu, rasanya Nisa sudah ingin adu jotos saja dengannya.
"Kenapa?? Lo ngga mau sekelompok sama gue?" tanya Dean mengejek.
"Mending gue ngga ikut ujian daripada sekelompok sama Lo!"
"Oke. Gue bantu ngomong sama Pak Broto." Dean mengacungkan tangannya. "Pakk... Awww!" tiba-tiba ia meringis kesakitan saat Nisa menginjak kakinya dan melotot ke arahnya.
"Ngga usah lemes deh!!"
"Kenapa lagi kamu?" tanya Pak Broto pada Dean.
"Ngga apa-apa, Pak. Ngga jadi." Dean mengusap kakinya yang masih berdenyut nyeri karena injakan Nisa. "Awas Lo!" ancamnya pada Nisa.
"Ngga takut!"
Ibarat kucing dengan tikus setiap kali Nisa dan Dean bertemu. Tidak pernah sekalipun mereka terlihat akur atau saling bertegur sapa ramah, hanya ada ejekan dan saling menjahili satu sama lain. Nisa bukan tipe cewek yang mudah ditindas hanya dengan seorang Dean. Ia akan membalas pria itu saat ia rasa perlu.
Siang harinya sepulang sekolah, Nisa dan Rani berniat ke rumah Tari untuk mengerjakan soal latihan yang diberikan oleh Pak Broto. Tentu saja mereka juga mengajak Dean.
"Ogahh.. Mending gue balik, tidur!" Tapi malah itu jawaban yang keluar dari mulutnya saat Nisa mengajaknya belajar bersama.
"Dasar cacing kremi!" umpat Nisa kesal.
"Apa Lo bilang? Cacing kremi?" Dean melotot tidak terima.
"Iya, badan Lo yang kurus itu kayak orang cacingan tau ngga!"
Dean sudah ingin menoyor Nisa tapi cewek itu keburu menarik lengan Rani pergi dari sana. Ia mendengus kesal.
"Gila. Baru kali ini ada cewek yang berani ngatain gue cacing kremi!" Meski kesal, namun tanpa sadar ia tersenyum sendiri.
***
Ameer meletakkan tasnya di sandaran kursi belajar lalu merebahkan tubuhnya di atas kasur. Menatap langit-langit kamarnya yang di dominasi warna putih dengan tatapan kosong.
Tok..tok..tokk
"Den, makan siangnya mau bibi bawain sekarang?" Terdengar suara Mira dari luar kamar disertai dengan ketukan di pintu.
Ameer berjalan membuka pintu, "boleh, Bi!" balasnya. "Hmm.." Ameer terlihat ragu.
Mira mengerutkan dahinya. "Kenapa Den?"
"Nisa udah pulang, Bi?" tanya Ameer ragu-ragu.
"Belum Den, katanya mau belajar kelompok dulu di rumah temannya. Tari kalau ngga salah namanya, Den!" jelas Mira tanpa diminta.
"Oh.. Kalau gitu nanti saya minta jus jeruk sekalian ya, Bi!" ujar Ameer lagi.
"Baik, Den."
Menjelang magrib Nisa baru saja tiba di rumah. Ia mengganti pakaian dan bergegas mandi sebelum adzan berkumandang. Walaupun dia bukan anak yang bisa dibilang baik, tapi ia tahu kewajibannya untuk sholat lima waktu. Dulu, Almarhum ayahnya yang selalu mengingatkannya untuk jangan meninggalkan sholat. Karena katanya do'a seorang anak yang bisa meringankan dosa-dosa orang tuanya kelak.
"Nisa, tolong bantu ibu antarkan makan malam Den Ameer ya! Ibu mau ke warung depan komplek sebentar!"
Mendengar perintah ibunya, Nisa mendesah. Bukan karena tidak mau menuruti, tapi karena lebih ia merasa enggan bertemu dengan Ameer.
"Sini biar aku aja yang ke warung, Bu!" tawarnya untuk menolak perintah ibunya secara halus.
"Udah ngga usah. Udah malem juga. Bahaya anak perempuan keluar sendiri!" Tanpa mengindahkan alasan Nisa lagi, Mira pergi. Menyisakan Nisa yang menatap nampan berisi makan malam Ameer dengan malas.
"Sudah lah. Mau bagaimana lagi?!" Akhirnya dengan langkah gontai ia menuju lantai dua dimana kamar Ameer berada.
Nisa mengetuk pintu kamar beberapa kali. Tak berselang lama, si pemilik kamar muncul dengan wajahnya yang seperti bangun tidur.
"Maaf membangunkan tidur mu!" Nisa mengangkat nampan di tangannya untuk menunjukkan bahwa ia tak bermaksud menganggu tidur laki-laki itu.
"Hmm. Masuklah!" Ameer menggeser tubuhnya untuk memberikan Nisa jalan.
Nisa meletakkan nampan itu di tempat biasa, di atas meja belajar Ameer. Lalu berniat pergi setelahnya.
"Hmm.. Tunggu!" sergah Ameer saat ia sudah mencapai pintu kamar.
Meski bingung, tapi ia tidak mengatakan apapun, ia hanya menunggu Ameer melanjutkan ucapannya.
"Aku dengar nilai matematika mu buruk."
Nisa membelalak tidak percaya. Bagaimana ia bisa tahu hasil ulangan ku? batinnya. "Terus kenapa?"
"Aku bisa mengajari mu."