"Aku bisa mengajari mu!"
Seperti mendengar gledek di siang hari, Nisa hampir tersedak oleh liurnya sendiri mendengar tawaran Ameer.
"Gue ngga salah denger?" tanyanya syok.
Ameer menggeleng. "Tapi ada syaratnya!" Lalu ia melipat kedua tangannya di depan dada.
"Apa?"
Ameer terlihat ragu menjawab. Ia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Hmm.. Ajarin aku main ML!" ucapnya pelan. Sangat pelan.
"Pfftt.." Nisa hampir saja tertawa mendengar jawaban Ameer. Sungguh diluar dugaannya. Sejak kapan kutu kupret, eh maksudnya kutu buku tertarik bermain game?
Nisa memegang dahi Ameer. Memastikan sesuatu. "Ngga panas," ujarnya.
"Lo sakit? Atau ngigau?" tanyanya lagi penasaran. Lebih tepatnya menyindir sih.
"Kalau kamu ngga mau, ya sudah!" Ameer hendak menutup pintu kamar, namun Nisa dengan cepat menahannya.
"Oke.. oke. Gue bakal ngajarin Lo maen ML. Itu mah kecil!" Nisa menjentikkan jarinya.
"Kalau gitu, bisa kita mulai sekarang,,?!" Ameer kembali mempersilahkan Nisa masuk.
"Tunggu, gue ambil hape dulu!" Nisa pergi mengambil ponselnya di kamar bawah dan kembali beberapa menit kemudian.
Mereka pun duduk di atas lantai beralaskan karpet bulu di sisi kasur. "Lo ngga makan dulu?" tanya Nisa.
"Nanti saja!"
Nisa mengedikkan bahunya tak acuh. Lalu membuka aplikasi ML di ponselnya. Di ikuti oleh Ameer dengan melakukan hal yang sama.
"Nama akun Lo apa-an?" tanya Nisa.
"Biar aku saja yang undang!"
"Heh? Emangnya kita udah berteman?" Nisa menaikkan sebelah alisnya bingung.
Sejurus kemudian muncul nama akun Robin_hood18 di beranda Nisa. Nama yang tidak asing baginya. Nama yang selalu di bully Ajiz dan Kucrit karena tidak bisa bermain dengan baik. Selalu di kill paling banyak dalam pertandingan. Benar-benar payah.
"Ohh jadi ini Elo?" Nisa tersenyum menahan tawanya.
Ameer tergagap. Ia pikir Nisa tidak akan mengingatnya. "Itu.. itu karena jaringannya yang ngga bagus. Selalu nge-lag." Ameer mencoba memberi alasan agar tidak terlihat memalukan.
"Oohh seperti itu?!" Nisa mengangguk seolah percaya.
Meski sebelumnya mereka pernah bertanding di tim yang sama, tapi kali ini rasanya sedikit berbeda. Ada rasa gugup yang menyeruak saat mereka duduk berhadap-hadapan seperti ini.
"Lo, ikuti gue aja dulu. Jangan nyerang sendirian!" Nisa mencoba menepis perasaan gugupnya dengan lebih banyak berbicara.
"Oke." Kali ini Ameer hanya menurut.
Lima menit pertama permainan, masih berjalan sesuai rencana dan arahan Nisa. Namun menit berikutnya,
"Awass ada musuh di semak-semak!"
"Mundur....!"
"Jangan buru-buru ngeluarin skill 3!"
Nisa pikir mengajari Ameer bermain game tidaklah sulit. Tapi kenyataannya tidak. Ia bahkan tidak habis pikir, kenapa si jenius Ameer begitu payah memainkan game yang bahkan anak SD saja bisa melakukannya.
"VICTORY"
Nisa menghela napas lega saat permainan berakhir dengan memperoleh kemenangan. Sementara Ameer dengan wajah tertunduk lesu menatap layar ponselnya. 15 kali di kill dalam satu pertandingan benar-benar memalukan, pikirnya.
"Sudahlah. Besok kita lanjutin lagi." Nisa mencoba memberi semangat. "Jadi kapan Lo bisa ngajarin gue belajar matematika?"
Ameer berdiri, meletakkan ponselnya di atas meja belajar. "Kapan saja bisa."
"Oke. Kalo gitu besok pulang sekolah!" Nisa bangkit dan keluar dari kamar Ameer.
Makanan yang Nisa bawa sudah dingin karena di acuhkan sejak tadi oleh Ameer. Ia pun mulai menyendok sesuap demi sesuap makanan itu ke dalam mulutnya. Diraihnya lagi ponselnya yang tergeletak, lalu melihat tayangan ulang pertandingan yang baru saja ia mainkan bersama Nisa.
Ia bisa melihat beberapa kali Nisa melindunginya dari serangan musuh hingga dirinya juga ikut di kill.
"Dasar bodoh. Bisa-bisanya merelakan dirinya di kill hanya untuk melindungi orang lain." Untuk pertama kalinya, ia ingin malam segera berakhir.
Keesokan harinya, Nisa sudah memberi pesan ke Ameer akan menunggunya di gerbang sekolah. Ia sedang menunggu bersama Rani. Kali ini giliran rumah Rani yang menjadi tempat untuk belajar kelompok. Sementara Tari akan menyusul nanti, katanya.
"Kita nunggu siapa sih, Nis?" tanya Rani penasaran. Karena Nisa tidak memberi tahu bahwa ia sedang menunggu Ameer.
"Ntar juga Lo tahu! Tunggu aja!"
Saat mereka menunggu, tiba-tiba Dean lewat. Laki-laki itu membolos di jam pelajaran terakhir dengan bermain basket dan belum kembali saat bel pulang berbunyi. Tapi kini, ia muncul di depan mereka.
"Ehh cacing kremi! Kita mau belajar di rumah Rani. Lo ikut kagak?" panggil Nisa saat Dean melewati mereka.
Dean mendengus. Ia berbalik dan mendekat. Lalu menoyor dahi Nisa hingga mundur beberapa langkah. Hal yang sangat ingin ia lakukan sejak kemarin tapi tidak ada kesempatan.
"Apa-apaan Lo?!" bentak Nisa tidak terima. Ia mengelus dahinya yang baru saja ditoyor.
"Elo yang apa-apaan? Manggil gue cacing kremi segala! Lo tuh yang kayak kuda lumping!"
Nisa melotot. "Maksud Lo apaan ngatain gue kuda lumping?"
"Lo ngga liat rambut Lo yang diiket mulu kayak buntut kuda?" Dean menunjuk rambut Nisa yang memang selalu di kuncir menyerupai ekor kuda.
Karena tidak terima, Nisa menarik ikatan rambutnya hingga terlepas. Membiarkan rambutnya yang panjang tergerai dan di tiup angin. "Nih liat, udah ngga kayak buntut kuda lagi tuh!"
Dean tidak mengatakan apapun. Ia justru tertegun melihat penampilan Nisa yang terlihat sangat berbeda dengan rambutnya yang terurai. Tanpa ia sadari ada desiran halus yang mengusik hatinya. Matanya bahkan nyaris tidak berkedip saat menatap Nisa.
"Ekhemm." Suara deheman seseorang membuat Dean terkesiap dari lamunannya. Ameer, laki-laki itu datang mendekati mereka.
"Mau belajar dimana?" tanyanya pada Nisa.
Mendengar suara Ameer, Rani yang ada di sebelah Nisa menarik-narik lengannya. Ia terkejut sekaligus terpesona mendengar suara Ameer yang terkesan datar tapi justru memberikan damage yang luar biasa.
"Di rumah Rani," jawab Nisa santai.
"Apa?" Sebelah alis Ameer terangkat.
"Iya kita di suruh Pak Broto buat ngerjain soal latihan secara berkelompok. Jadi kali ini kita belajar di rumah Rani," jelas Nisa lagi. Rani yang berdiri di sampingnya pun mengangguk semangat, karena itu artinya Ameer juga akan ikut belajar bersama mereka di rumahnya.
"Ngga mau!" Ameer menolak.
Mendengar itu, seketika Nisa dan Rani menekuk wajahnya.
"Yaaa please dong.. Kan Lo udah janji!" Nisa memasang wajah memelas.
"Aku hanya mengatakan akan mengajarimu, bukan teman-temanmu!"
Nisa maju beberapa langkah. Lalu membisikkan sesuatu ke telinga Ameer. Sontak membuat Rani dan Dean terkejut melihat pemandangan itu.
"Baiklah. Hanya kali ini saja!" ucap Ameer akhirnya.
Nisa dan Rani bersorak senang. "Ayo masuk ke mobil. Supir gue udah nungguin!" kata Rani kemudian.
"Gue ikut!"
Nisa dan Rani saling menatap tidak percaya saat Dean mengatakan akan ikut. Tapi kemudian mereka hanya mengedikkan bahu tak acuh, lalu masuk ke dalam mobil.
Rani duduk di depan sebelah supir. Sementara Nisa, Ameer dan Dean duduk di belakang. Nisa menggigit bibirnya canggung saat menyadari dirinya yang berada di tengah-tengah Ameer dan Dean.
"Posisi apaan ini?!" teriaknya dalam hati.