Sudah 15 menit yang lalu Nisa tiba di sebuah Mall di pusat kota. Memenuhi janjinya untuk pergi menonton bioskop bersama Tari, Diana dan Rani. Oh ya Nathan juga, pacar Tari. Gadis itu ingin memperkenalkan pacar barunya kepada teman-temannya.
Hari weekend membuat bioskop lebih ramai dari biasanya. Orang-orang berlalu lalang sejak tadi Nisa berdiri di depan pintu masuk. Mulai dari sepasang kekasih, antar teman, atau keluarga yang ingin menikmati hari libur mereka.
Mata Nisa berbinar saat melihat orang-orang yang ia tunggu akhirnya kelihatan tidak jauh dari tempatnya berdiri. Ke-empat temannya yang datang bersamaan.
"Udah nunggu lama?" tanya Rani.
Nisa menggeleng. "Belum kok."
"Oh ya Nis, kenalin cowok gue, Nathan." Tari tersenyum bangga memperkenalkan Nathan pada Nisa. Tidak lupa tangannya yang terus bergelayut manja di lengan Nathan.
"Nathan." Laki-laki itu mengulurkan tangan.
"Nisa." Nisa tersenyum ramah sembari membalas jabat tangan Nathan. Namun secepat kilat ia tarik kembali tangannya saat ia merasa ada sesuatu yang tidak beres. Ekspresi wajahnya mendadak berubah saat menatap Nathan.
"Gue pesen tiket dulu ya," ujar Nathan saat mereka sudah memasuki gedung bioskop.
"Oke," jawab Tari, Diana dan Rani bersamaan. Sementara Nisa hanya diam.
"Lo kenapa? Kok mendadak diem?" tanya Rani saat Nathan sudah pergi. Ia merasa sikap Nisa tiba-tiba saja berubah. Tari dan Diana ikut menatap Nisa.
"Ngga apa-apa. Gue ke toilet dulu ya!" Nisa beranjak dari tempatnya menuju toilet yang berada di bagian ujung.
Di toilet, Nisa membasuh tangannya berulangkali. Entah kenapa perasaannya mendadak tidak enak mengingat kejadian saat ia bersalaman dengan Nathan. Ia menggeleng kuat untuk membuang pikiran negatif dari kepalanya. Ia tidak mau salah menduga orang yang baru saja ia kenal.
Setelah mengeringkan tangan, Nisa keluar dari toilet. Namun tiba-tiba saja langkahnya terhalang oleh seseorang yang juga baru keluar dari toilet pria. Nathan. Cowok itu berdiri tepat di hadapan Nisa dengan tersenyum miring.
"Mau apa, Lo?" tanya Nisa mengerutkan keningnya.
"Mau jadi pacar gue ngga?"
"Uhukk..." Spontan Nisa terpekik mendengar pertanyaan Nathan barusan. Apa-apaan cowok di depannya ini.
"Lo ga waras?" sarkas Nisa. Nathan baru saja dikenalkan oleh Tari sebagai pacarnya. Dan sekarang, malah mengajaknya pacaran? Sinting!
"Kalo Lo mau, kita bisa pacaran di belakang Tari." Tanpa merasa bersalah, Nathan mengucapkan kata-kata itu dengan entengnya.
"Maksud Lo jadi selingkuhan?"
"Iya."
Nisa mendengus kesal mendengar jawaban Nathan. "Sinting Lo!"
Wajah Nathan yang semula ramah, berubah ekspresi. "Lo yang sinting. Semua cewek itu ngantri buat jadi cewek gue!"
Kini giliran Nisa yang tersenyum miring. "Sorry ngga semua. Karena gue ngga tertarik sama sekali." Nisa hendak pergi, namun ia berhenti. "Satu lagi. Gue bukan tipe yang suka ngerebut cowok temen sendiri." Lalu ia benar-benar pergi meninggalkan Nathan yang terlihat kesal karena penolakannya.
Sejak berkenalan tadi, Nisa sudah merasa aneh dengan sikap Nathan yang mencolek-colek tangannya saat bersalaman. Awalnya Nisa berpikir mungkin itu hanya perasaannya saja, namun kejadian barusan membuatnya menjadi yakin bahwa Nathan bukanlah cowok yang baik untuk Tari. Tapi ia tidak mungkin mengatakannya langsung pada Tari. Belum tentu juga temannya itu akan percaya.
Sebenarnya Nisa sudah tidak berniat untuk menonton. Tapi ia juga tidak enak pada teman-temannya kalau harus pergi begitu saja. Akhirnya ia hanya bisa memaksakan diri dan lebih banyak diam sepanjang mereka bersama. Berbeda halnya dengan Nathan yang tampak ceria seolah tidak terjadi apa-apa di antara mereka. Wajahnya yang tidak merasa bersalah sama sekali membuat Nisa mendadak muak.
***
Senin pagi selesai upacara, semua murid kembali ke kelas masing-masing. Namun begitu memasuki kelas, Nisa memutar bola mata malas saat melihat seseorang yang duduk di bagian belakang menyeringai ke arahnya. Cowok tengil yang malah duduk di dalam kelas saat murid lain ikut melaksanakan upacara. Nisa mendesah, gara-gara tidak ada kursi kosong lagi, terpaksa ia harus duduk di samping Dean. Dan sayangnya, tidak ada murid lain yang ingin bertukar posisi dengannya. Menyebalkan.
"Tas gue?" seru Nisa kaget. Ia baru menyadari tasnya yang sudah tidak berada di tempat ia menyimpannya saat hendak mengambil buku. Hanya ada laci kosong di depannya. Saat berusaha mengingat, ia justru dapat menebak siapa orang yang berada di balik tasnya yang hilang.
"Dimana tas gue?" tanyanya langsung pada Dean. Ia yakin cowok di sebelahnya adalah dalangnya, mengingat ancaman yang sempat Dean lontarkan kemarin saat ia menyiramnya.
"Tas? mana gue tahu!" sahut Dean santai. Namun Nisa dapat melihat sekilas senyum licik dari pria itu.
Nisa menghela napas panjang. Sepertinya Dean tidak bercanda dengan ancamannya yang tidak akan membiarkan kehidupan sekolah Nisa berjalan tenang. Bagaimana pun ia harus segera menemukan tasnya sebelum Bu Sri masuk, atau dia akan kena hukuman lagi.
Seluruh bagian kelas sudah Nisa telusuri hingga bahkan ke sudut sekalipun. Sampai-sampai setiap laci temannya ia geledahi satu persatu namun tasnya juga tidak di ketemukan. Rasanya ia sudah mulai jengah, terlebih saat melihat Dean justru senang melihatnya menderita.
Setelah lelah mencari di kelas, Nisa memutuskan untuk mencarinya di luar. Ia memutari hampir setiap sudut sekolah hingga rasanya kakinya mau copot. Pucuk di cinta ulam pun tiba. Ia melongo kaget saat melihat tasnya bergelantungan di pohon yang ada di taman belakang sekolah.
"Dasar cowok sialan! Tunggu pembalasan gue," gerutunya sambil memanjat pohon mangga yang untungnya tidak terlalu besar sehingga ia bisa meraih tasnya yang diikat di salah satu ranting. Ia pun buru-buru kembali ke kelas setelah mendapatkannya.
Saat jam istirahat tiba, semua murid berhamburan keluar kelas. Tapi tidak dengan Nisa. Ia bahkan menolak ajakan Rani untuk beristirahat di kantin. Katanya ada urusan penting yang harus ia kerjakan saat itu juga, ngelesnya pada Rani.
Setelah memastikan semua murid keluar kelas, Nisa mulai menjalankan aksinya. Aksi balas dendamnya pada Dean. Dengan senyum yang tak kalah liciknya, ia membayangkan wajah Dean yang murka karena perbuatannya. Masa bodo. Baginya melihat Dean yang kesal sudah cukup membuatnya senang.
"Rasakan pembalasan gue!" gumamnya dengan tertawa mengejek. Saat tengah asik menjalankan aksinya, tiba-tiba seseorang masuk ke kelas yang sontak membuatnya terkejut. Untuk beberapa detik pandangan mereka bertemu. Namun orang itu lebih dulu mengalihkan pandangan dan berjalan ke meja guru. Mengambil sesuatu lalu pergi. Ameer, tumben sekali ia masuk ke kelasnya. Nisa tidak peduli apa yang Ameer ambil dari meja guru, ia hanya sedikit gugup kalau perbuatannya akan ketahuan. Untungnya Ameer bersikap tak acuh dengan apa yang ia lakukan.
Murid-murid bersorak gembira saat bel pulang berbunyi nyaring. Pertanda waktu belajar mereka telah usai. Dengan cepat Nisa merapikan buku dan alat tulisnya lalu menyimpannya kembali ke dalam tas. Sambil terus menahan tawa, ia bergegas pergi dari tempatnya sebelum seseorang meneriakinya.
"Woyyy... Jangan pergi Lo!!!" Benar saja, Dean berteriak kesal saat menyadari celana bagian belakangnya di penuhi permen karet bekas. Namun terlambat, Nisa sudah menjauh sambil melambaikan tangannya pada Dean. Bermaksud mengejek pria itu.
"Bwahahaha." Tanpa bisa ditahan, akhirnya Nisa tertawa terbahak-bahak. Ia merasa puas berhasil membalas Dean.
"Gila Lo. Cari perkara aja sama tuh anak sinting!" Rani yang berjalan bersisian dengan Nisa mencoba mengingatkan.
"Dia dulu yang mulai," sahut Nisa santai.
Rani menghela napas. "Tapi Lo ngga tahu Dean bisa lebih parah dari yang Lo bayangin." Ia memandang lurus ke depan. "Selama ini ngga pernah ada yang berani ngusik dia. Apalagi ngerjain dia kayak yang Lo lakuin."
"Kalo dibiarkan, dia akan semakin semena-mena, Ran. Sekali-kali kena prank dong, biar tahu rasa!"
Rani kembali mendesah, " terserah Lo deh! Yang penting gue udah ingetin ya!"
"Iya... iya. Thanks Maharani Putri Juwita." sahut Nisa tersenyum, memamerkan giginya yang gisul namun justru membuatnya terlihat manis.
Langkah mereka berdua terpisah saat mencapai gerbang sekolah. Rani yang sudah di tunggu supir untuk menjemputnya langsung menuju ke mobil. Sebelumnya ia sempat menawarkan tumpangan pada Nisa untuk mengantarnya pulang, namun dengan sopan Nisa menolak tawaran Rani. Akan lebih baik jika tidak ada seorang pun yang tahu dimana ia tinggal, selain Ameer tentunya.
Tapi bicara soal Ameer, Nisa sama sekali tidak pernah berpapasan dengan cowok itu saat pergi ataupun pulang sekolah. Hanya sekali di waktu hari pertamanya masuk, dan setelah itu tidak pernah. Jangan heran, karena Ameer yang pergi dan pulang selalu di antar jemput oleh supir, tentu saja tidak akan berpapasan dengan dirinya yang hanya naik bis, atau kadang berjalan kaki.
Hari ini pun ia memilih berjalan kaki. Hitung-hitung menghemat uang saku, pikirnya. Sebenarnya jarak rumah Ameer dengan sekolahnya cukup jauh jika di tempuh dengan berjalan kaki. Bisa memakan waktu lebih dari 30 menit. Tapi bagi Nisa yang sudah terbiasa jalan kaki pulang-pergi di sekolahnya dulu, itu bukan masalah. Kakinya bahkan kuat jika harus berjalan setengah dari jarak tempuhnya lagi.
"Meeoww.. Meeoww...Meeoww.."
Seekor kucing terlihat berjalan dengan terseok-seok tidak jauh dari tempat Nisa. Luka di bagian kakinya menunjukkan sepertinya ia habis di tabrak oleh orang tidak bertanggung jawab. Nisa tidak habis pikir kenapa ada orang Setega itu. Karena merasa iba, di raihnya kucing tersebut dan membawanya pulang ke rumah.