Pagi ini Nisa tidak begitu bersemangat berangkat ke sekolah. Alih-alih naik bis, ia memilih berjalan kaki agar memakan waktu lebih lama untuk sampai di sekolah. Pikirannya dipenuhi ketakutan mengingat kejadian semalam yang sungguh di luar dugaannya. Bisa-bisanya ia baru tahu kalau ternyata majikan ibunya selama ini adalah Ameer. Bagaimana kalau laki-laki itu membocorkan rahasianya? Bagaimana kalau ia di bully lagi seperti sebelumnya? Tiba-tiba saja kaki mungilnya terasa berat melangkah. Membuatnya semakin kesal saja. Ia belum siap kalau teman-temannya tahu keadaannya yang sebenarnya.
"Arghh" gerutunya kesal. Sangking kesalnya, ia menendang kaleng bekas minuman yang ada di depannya ke sembarang arah guna melampiaskan kekesalannya. Dasar Nisa yang malang!
"Awww," tiba-tiba terdengar ringisan seseorang dari kejauhan. Sambil mengelus kepalanya yang nyeri, ia mencari tahu siapa orang yang berani menendang kaleng bekas itu hingga mengenai kepalanya. Saat melihat seorang gadis yang mematung tidak jauh dari tempatnya, ia pun bergegas menghampiri. Raut kesal jelas terlihat di wajahnya.
"Eh sialan. Lo yang nendang barusan?" tunjuknya tepat di wajah Nisa.
Nisa menggeleng cepat. "B-bukan gue." Meski dalam hati ia merasa bersalah karena sudah berbohong, tapi mau bagaimana lagi. Ia tidak mau harus membuat masalah sepagi ini. Ia merasa, dirinya terlahir untuk terus mendapatkan kesialan. Belum selesai masalah yang satu, sudah timbul masalah yang lain.
"Alahh. Lo ngga usah bo'ong. Disini ngga ada orang lain selain Lo. Mau cari mati?"
Nisa tercekat. Mendengar kata-kata itu mengingatkannya pada kejadian semalam. Siapa juga yang ingin cari mati? Dasar para cowok sialan yang seenaknya saja mengucapkan kata mati, batinnya.
"Beneran bukan gue. Kalo ngga percaya tanya aja sama dia!"
Laki-laki itu mengikuti arah telunjuk Nisa yang mengarah ke belakang. Keningnya berkerut sambil mencari orang yang dimaksud. Namun tidak ada seorang pun yang ia lihat. Dan saat ia berbalik, ia mendapati Nisa yang sudah menghilang entah kemana.
"Sialan. Gue di bo'ongin," gerutunya kesal.
Sambil ngos-ngosan, Nisa terus berlari sambil sesekali melihat ke belakang. Takut kalau laki-laki tadi mengejarnya. Hingga akhirnya ia bisa bernapas lega saat memasuki gerbang sekolah.
"Hufftt hampir saja!" Nisa menghapus keringat yang membasahi pelipis dengan lengannya sambil terus berjalan menuju kelas. Dalam hati ia berkata, mau tidak mau, ia harus menyiapkan diri kalau sampai Ameer membeberkan rahasianya.
Namun begitu memasuki kelas, tidak ada seorang pun menyinggung hal yang ia khawatirkan. Teman-temannya masih menyapanya seperti biasa. Tidak ada ejekan apalagi bully-an seperti yang ia bayangkan sebelumnya. Apa cowok sombong itu belum menceritakan apapun? Syukurlah, Nisa mengangkat bahunya tak acuh.
"Nisa, hari Minggu Lo kemana? Ikut kita nonton yuk!" Rani menghampiri Nisa begitu melihatnya duduk dan disusul Diana juga Tari.
"Nonton?" Nisa tampak berpikir sejenak. Boro-boro nonton di mall, uang saku yang selama ini dia terima saja tidak cukup untuk makan di kantin sekolah apalagi buat nonton di bioskop.
"Iya. Gue yang traktir," sahut Tari dengan semangat. Ada rona merah yang terpancar dari wajahnya yang imut menurut Nisa. Di antaranya ketiga teman barunya, Tari lah yang terlihat paling cantik karena wajahnya yang blasteran Indonesia-Jerman.
"Ciyee yang habis jadian tuh!" ledek Diana.
"Jadian? Sama siapa?" Nisa menatap Tari dengan tatapan antusias, penasaran siapa laki-laki yang beruntung mendapatkannya.
"Sama Nathan anak kelas XII IPA 4." Timpal Rani.
Nisa mencoba mengingat nama yang baru saja disebutkan Rani, meskipun belum lama bersekolah disini, tapi nama Nathan cukup terkenal di kalangan para murid karena ia adalah kapten basket sekolah. Jadi tidak sulit bagi Nisa untuk mengetahuinya. Menurutnya Tari dan Nathan adalah pasangan yang serasi. Cowok tampan dan keren berpasangan dengan cewek cantik dan anggun.
Setelah lama berpikir, akhirnya Nisa menyetujui ajakan ketiga temannya untuk nonton di akhir pekan. Ia juga merasa tidak enak kalau menolak ajakan mereka untuk pertama kalinya. Toh di traktir ini, pikirnya. Meskipun dalam hati ia mengatakan akan menolak ajakan-ajakan mereka selanjutnya.
Bel berbunyi. Semua murid masuk ke kelas sambil berbisik membahas sesuatu dengan wajah mereka yang terlihat tidak senang.
"Gue kira dia bakal di Do dari sekolah. Eh ternyata kagak."
"Pasti bakal buat onar lagi deh dia."
Dua orang yang duduk di depan membicarakan sesuatu yang tidak ia pahami. Alih-alih kepo, Nisa malah tidak memperdulikan apa yang sebenarnya mereka bahas dan memilih mengeluarkan buku dari dalam tasnya. Namun ia panik saat tidak menemukan buku tugas yang harus ia kumpulkan hari ini juga. Ia mengeluarkan semua isi tasnya dan mencari ulang buku tersebut sebelum akhirnya ia terkejut karena seseorang menendang kursinya.
"Minggir!" ucapnya sarkas. Sebenarnya bukan karena tendangan itu yang membuat Nisa terkejut, tapi saat melihat orang yang melakukannya. Lagi-lagi ia merasa keberuntungan tidak sedang berpihak padanya.
"Elo?" Tak kalah terkejutnya dengan Nisa, orang itu melotot kaget saat melihat cewek yang menendang kepalanya sekaligus menipunya pagi ini berada tepat di hadapannya.
Nisa menelan ludah saat orang yang ada di depannya menatapnya seolah ingin menerkam. Cowok yang tadi pagi tidak sengaja terkena tendangan kaleng saat ia melampiaskan kekesalannya. Tidak disangka malah mengikutinya sampai ke kelas.
"Ngapain Lo disini? udah gue bilang bukan gue yang nendang!" ujarnya berbohong. Nisa mulai menyadari teman-temannya yang menatap mereka dengan tatapan penuh selidik. Membuatnya risih karena menjadi pusat perhatian.
"Ckk. Masih aja ngeles." decaknya kesal. "Mending sekarang Lo minggir dari kursi gue."
"Kursi Lo?" Nisa melotot tidak percaya. Karena sejak awal dia masuk sekolah, kursi itu dia yang menempati. "Ngarang!"
"Lo..." Belum sempat cowok itu melanjutkan ucapannya, Ibu Sri masuk ke dalam kelas. Membuat para murid mengalihkan pandangannya ke depan.
"Waktunya ngumpulin tugas!" ucap Ibu Sri begitu ia duduk. Semua murid mulai maju satu persatu untuk mengumpulkan buku tugas di meja guru, kecuali Nisa dan cowok yang sedari tadi berdebat dengannya.
"Nisa, Dean, mana tugas kalian?"
Nisa menggigit bibirnya. Bagaimana ia bisa begitu ceroboh lupa memasukkan buku tugas yang padahal semalaman ia kerjakan.
"Ketinggalan di rumah, Bu." jawabnya lesu.
"Kamu Dean?" Bu Sri beralih menatap Dean.
"Saya kan baru hari ini masuk, Bu. Jadi mana saya tahu ada tugas," jawabnya santai. Dean baru saja masuk sekolah setelah dua Minggu lamanya di skorsing.
Bu Sri menghela napas. "Kamu bisa tanya sama teman-teman kamu yang lain, kan. Kalau begitu tugas piket hari ini kalian berdua yang mengerjakan!"
Meski ingin menolaknya, tapi hukuman tetaplah hukuman yang suka tidak suka harus dikerjakan. Sebenarnya bukan karena hukuman itu yang membuat Nisa kesal, tapi kenapa harus dihukum bersamaan dengan orang tidak tahu diri seperti Dean. Kalau saja ia menerima hukuman membersihkan kelas seorang diri mungkin rasanya lebih baik daripada dihukum berdua tapi hanya dia seorang yang melakukan semua pekerjaan. Ya, sejak sekolah bubar, Dean hanya duduk santai tanpa melakukan apapun. Sementara Nisa mulai mengambil sapu dan membersihkan kelas.
"Mau kemana, Lo?" tanya Nisa saat Dean beranjak dari kursinya. Masih ada tugas mengepel lantai yang belum dikerjakan, dan Dean malah mau meninggalkannya begitu saja. Oh, tidak bisa!
"Bukan urusan, Lo!"
"Jelas jadi urusan gue. Kita dihukum buat bersihin kelas. Jadi Lo ngga boleh pulang sebelum kelar!"
"Ckk. Ngatur?"
"Bu Sri nyuruh kita ngerjain bareng. Bukan cuma gue!"
"Kalo gitu Lo aja yang ngerjain. Gue mau balik."
"Balik? Enak banget!" Nisa buru-buru mengambil ember dan kain pel yang tadi sudah ia siapkan di depan pintu dan membawanya ke hadapan Dean.
"Lo boleh pulang kalo udah selesai ngepel!" Nisa meletakkan paksa gagang pel di tangan Dean dan melanjutkan menyapu.
Dean menatap gagang pel tanpa ekspresi. Selama bersekolah disini tidak pernah ada guru atau temannya yang berani membentak apalagi menyuruhnya selain Bu Sri. Itupun karena wanita itu memiliki hubungan saudara. Ya, Bu Sri adalah adik kandung dari ibunya. Dan cewek aneh yang baru ia temui pagi ini sudah berani menyuruhnya, bahkan melempar kepalanya dengan kaleng bekas. Rupanya ia memiliki nyali yang cukup besar.
"Lo nyuruh gue?"
"Bukan. Itu tugas Lo!" Nisa menjawab tanpa mengalihkan pandangannya. Ia ingin segera menyelesaikan hukumannya dan pulang ke rumah. Hari pertama datang bulan membuat perutnya terasa seperti diremas-remas. Belum lagi, ia juga lupa membawa pembalut.
"Sekarang jadi tugas Lo, karena gue mau balik!"
"Coba aja Lo berani balik. Bakal gue siram!" pekik Nisa saat Dean menjatuhkan gagang pel yang ia berikan dan beranjak dari tempatnya.
Tanpa memperdulikan ancamannya, Dean terus berjalan melewati dirinya sambil bersiul, seolah merasa tidak bersalah.
Byurrrrr. Seember air sukses mendarat membasahi Dean dari ujung kepala hingga kaki. Dia tidak habis pikir Nisa benar-benar akan menyiramnya sesuai ancaman.
"Lo udah gak waras?" Matanya menatap tajam ke arah Nisa.
Sementara Nisa masih syok dengan apa yang baru saja diperbuatnya. Ia tidak mengerti kenapa dirinya begitu sensitif hingga berani melakukan hal itu. Moodnya benar-benar dibuat berantakan mengingat ini hari pertamanya datang bulan.
"So-sorry, gue ngga sengaja," ucapnya lemas.
Dean berjalan mendekat ke arah Nisa. Sorot mata, kepalan tangan, serta rahangnya yang mengeras menunjukkan bahwa ia benar-benar emosi. Ia tidak akan mentolerir orang yang sudah menjatuhkan harga dirinya meski ia seorang gadis sekalipun. Dengan tangannya yang mengepal, ia berniat melayangkan pukulan ke arah Nisa sebelum seseorang datang dan menahannya di udara.
Mata keduanya kini beralih ke pemilik tangan yang tengah menahan Dean dari pukulannya. Sosok yang tiba-tiba saja datang entah darimana. Wajah datarnya sama sekali tidak bisa di prediksi apa yang sebenarnya sedang ia pikirkan.
"Ameer," gumam Nisa pelan. Setengah dari dirinya seolah tidak percaya Ameer sedang menolongnya.
"Lo ngga usah ikut campur!" sentak Dean sembari menarik tangannya kasar.
"Kalau keributannya diluar, aku tidak peduli. Tapi ini di sekolah," ucapnya dengan nada datar.
Nisa kembali bergumam pelan, "udah gue duga."
Dean kembali menatap tajam Nisa. "Lo bisa selamat kali ini." Menunjuk tepat di wajah Nisa. "Tapi jangan harap Lo bisa hidup tenang selama sekolah disini," sambungnya kemudian. Dan berlalu pergi dengan pakaiannya yang basah kuyup.
Nisa memandang Ameer yang masih berdiri disana dengan wajah datarnya, berniat mengucapkan terima kasih. Bagaimana pun ia selamat dari amarah Dean kali ini berkatnya. Entah kalau ke depannya.
"Maka...." Belum selesai Nisa melanjutkan ucapannya, Ameer sudah membalikkan badan dan meninggalkan Nisa yang masih menggantungkan kata-katanya. Ia pergi tanpa mengatakan apapun lagi. Akhirnya Nisa hanya bisa menghela napas panjang.