Layaknya sekolah pada umumnya, beberapa kelas terlihat tenang dalam mengikuti sesi belajar. Namun ada juga yang terdengar bersorak riuh karena absennya guru mata pelajaran yang menjadi hal favorit bagi para murid. Di dalam kelas, Nisa memegangi perutnya yang terasa perih melilit karena menahan lapar. Jus alpukat yang ia teguk habis di kantin tadi bahkan tidak seperempatnya menghilangkan rasa laparnya. Membuatnya mendesah kasar.
"Nisa, kamu dipanggil Bu sri!" ujar salah seorang teman sekelas Nisa yang baru saja tiba di kelas.
"oh iya makasih." Nisa langsung menuju ruang guru dan menemui Bu Sri.
"Ini daftar buku pelajaran yang bisa kamu bawa pulang. Silahkan ambil di bagian perpustakaan." Bu Sri memberikan selembar kertas pada Nisa.
"Baik Bu, terimakasih."
Setelah beberapa saat membaca daftar buku yang diberikan, Nisa menuju perpustakaan sesuai pesan Bu Sri. Ia menuruni anak tangga perlahan karena perpustakaan berada di lantai dua.
Perpustakaan yang terbilang cukup luas dengan rak-rak buku yang tersusun rapi itu di dekor bak toko buku ternama yang memanjakan para pengunjungnya. Setiap buku disusun berdasarkan kategorinya masing-masing agar memudahkan siapa saja yang ingin membacanya. Nisa langsung memberikan daftar buku yang harus ia ambil pada petugas perpustakaan yang tengah berjaga.
"Tunggu sebentar," ucapnya pada Nisa.
Sambil menunggu, Nisa pergi berkeliling melihat-lihat koleksi buku yang ada. Ia mengambil sebuah buku dari rak dan membukanya. Namun mendadak dahinya berkerut dalam saat membacanya.
"Ett dah. Tulisannya bahasa Inggris semua lagi. Mana gue tahu artinya!" gumamnya sendiri sambil menutup kembali buku tersebut dan meletakkannya di tempat semula. Selain bahasa Indonesia, Nisa hanya bisa berbahasa Jawa, itupun karena kedua orang tuanya yang asli orang Jawa. Boro-boro bahasa Inggris.
Tidak berapa lama menunggu, akhirnya petugas perpustakaan muncul dari balik ruangan yang ada di belakangnya. Nisa melongo saat petugas membawa tumpukan buku dan meletakkannya di atas meja. Ada lebih dari sepuluh buku yang harus ia bawa sekaligus.
"Sebanyak ini?" tanyanya tak percaya. Membayangkan sebanyak itu buku pelajaran yang harus ia pelajari, Nisa merasa kepalanya akan botak.
"Iya." Petugas itu memberikan selembar kertas pada Nisa. "Silahkan isi formulir terlebih dulu."
Dengan susah payah Nisa membawa semua buku-buku di tangannya yang terasa cukup berat. Tidak hanya itu, ia juga harus menaiki tangga untuk mencapai kelasnya. Nisa menarik napas panjang sebelum mengumpulkan semua tenaganya dan mulai menaiki anak tangga satu persatu. Di tambah lagi tumpukan buku yang menghalangi penglihatannya membuat Nisa harus berhati-hati dalam melangkah.
Anak tangga pertama, aman.
Anak tangga kedua, Nisa bisa melewatinya.
Namun saat menaiki anak tangga kelima, Nisa merasa kepalanya sedikit pusing dan pandangannya berkunang-kunang. Ia merasakan tubuhnya semakin lemas seperti melayang di udara. Dengan sekuat tenaga ia berusaha menaiki beberapa anak tangga lagi di depannya
"Bruggg." Terdengar suara buku yang jatuh dan berceceran di lantai bersamaan dengan seseorang yang tidak sadarkan diri.
***
Nisa merasakan kepalanya pusing saat mencium aroma minyak kayu putih di hidungnya. Perlahan ia membuka mata dan mengamati sekelilingnya. Ruangan dengan bau obat-obatan yang menyeruak ke rongga hidung membuat dahi Nisa berkenyit bingung. Dan lagi, ada seseorang yang berpakaian serba putih seperti seorang perawat berdiri di sampingnya sambil meletakkan botol minyak kayu putih di dalam sebuah kotak. Ia tidak sabar untuk segera bertanya.
"Ini dimana?" tanyanya sambil berusaha mendudukkan diri. Ia memegang keningnya yang ditempel plester. Rasanya sedikit perih.
"Kamu ada di ruang UKS. Tadi kamu pingsan. Sepertinya lemas karena belum makan, " jelas petugas UKS tersebut. Lalu memberikan sebuah bungkusan kepada Nisa. "Ini, dimakan dulu!" ucapnya lagi dengan senyum tipis.
Nisa baru ingat kejadian saat ia terjatuh tadi. Ia tidak habis pikir kenapa ia begitu sial hari pakai acara pingsan segala karena kelaparan. Benar-benar memalukan. Apalagi mengingat ini hari pertamanya masuk ke sekolah.
"Terimakasih," balas Nisa malu-malu. Namun matanya berbinar seketika melihat makanan lezat yang ada di hadapannya. Tanpa malu-malu lagi, ia melahap semua makanan itu tanpa sisa.
Tapi ada satu hal yang membuatnya penasaran. siapa yang sudah membawanya kesini. Seingatnya tidak ada orang di sana saat ia pingsan di tangga tadi.
"Siapa yang membawa saya kesini?" tanyanya lagi.
Perawat tersebut tersenyum tipis sambil menggeleng pelan, "Orang itu berpesan untuk tidak memberitahukannya."
Nisa mengerutkan dahi bingung. Aneh. "Lalu buku-buku saya?"
"Ada disana." Sambil menunjuk tumpukan buku yang ada di atas meja. Lalu beranjak merapikan peralatan yang baru saja dipakai untuk mengobati luka Nisa.
Setelah mengucapkan terima kasih, Nisa kembali ke kelas. Kali ini ia begitu semangat membawa buku-buku ditangannya yang tidak lagi terasa begitu berat. Tentu saja itu karena perutnya yang sudah diisi makanan lezat dan tenaganya yang sudah kembali. Tapi tetap saja otaknya berputar memikirkan siapa orang yang telah menolongnya namun tidak ingin diberitahukan identitasnya.
Membuat penasaran saja!
***
Bel istirahat berbunyi sejak sepuluh menit yang lalu. Menjadi ajang bagi para murid untuk sekedar merelaksasi pikiran dari mata pelajaran yang membuat otak terasa kaku. Begitu pula Nisa yang menghabiskan waktu istirahatnya di atap gedung sekolah sambil menyantap bekal makan siang yang dibuat oleh sang ibu. Ya, kali ini dia memilih membawa bekal makan siang karena tidak ingin kelaparan ketimbang meminta tambahan uang saku dari Mira. Nisa tidak ingin menambah beban ibunya setelah kemarin mendengar penjelasan bahwa biaya ia bersekolah dipotong dengan gaji bulanan sang ibu.
Bukan tanpa alasan ia memilih beristirahat di atap. Itu karena ia ingin menghindari teman-temannya yang bisa saja menanyakan tentang kehidupan pribadinya. Masih untung kemarin ia bisa lepas dari pertanyaan horor Rani karena Ameer yang lewat di depan kelasnya. Tapi kali ini atau mungkin esok bisa saja hal seperti kemarin kembali ditanyakan. Untuk itu Nisa bertekad untuk tidak terlalu akrab dengan murid lain hingga ia lulus sekolah. Agar ia tidak perlu berbohong atau pun di bully karena keadaannya.
"Dasar ibu, udah tau aku gak suka wortel. Masih aja dimasukin ke bekel," gerutu Nisa begitu melihat irisan wortel di antara bekal makan siangnya. Entah kenapa sejak kecil dia memang tidak begitu menyukai wortel. Dia akan menyisihkan jenis sayuran yang kaya vitamin A itu ke pinggir piringnya.
Bel kembali berbunyi. Nisa pun segera turun dari atap kalau tidak ingin mendapatkan hukuman karena telat masuk ke kelas. Sebelumnya ia merapikan dulu kotak bekalnya dan menyimpannya kembali ke dalam tas. Karena terburu-buru, ia tidak sadar ada sesuatu yang terjatuh dari tasnya. Ia pun meninggalkannya begitu saja di atap sekolah.
"Nisa, Lo break dimana tadi? Kok kita ngga ngeliat Lo di kantin?" tanya Rani saat Nisa masuk kelas.
"Hmm.. gue ke perpus tadi." Nisa berbohong. Lebih baik jika tak seorang pun tahu ia istirahat di atap karena ingin menghindari teman-temannya.
"Ohh. Kapan-kapan kita maen ke rumah Lo ya?"
Deg. Nisa menelan saliva mendengar pertanyaan Rani, sementara Diana dan Tari mengangguk antusias menunggu jawabannya. Lagi, Rani menanyakan sesuatu yang membuat Nisa harus berpikir keras bagaimana menjawabnya.
"Hmm.. boleh," jawabnya ragu.
***
Selepas pulang sekolah, Nisa membantu pekerjaan ibunya menyiapkan makan malam. Tidak banyak yang harus dimasak, karena di rumah besar itu hanya ada mereka bertiga. Nisa, sang ibu, dan majikannya. Nisa sendiri belum tahu seperti apa majikan yang selama hampir lima tahun ini memperkerjakan ibunya karena ia baru pindah mengikuti Mira tiga hari yang lalu saat harus pindah sekolah. Sebelumnya Nisa tinggal bersama bibinya, selama ibunya bekerja. Mira hanya akan pulang sebulan sekali untuk berkumpul dengannya karena jaraknya yang lumayan jauh jika harus pulang-pergi setiap hari.
Sambil membawa nampan berisi makan malam, Nisa mengetuk pintu kamar majikannya. Biasanya ibunya yang akan melakukan pekerjaan itu, tapi melihat sang ibu yang sudah terlihat lelah, Nisa menawarkan diri untuk mengantarkannya. Nisa sedikit aneh dengan majikan sang ibu yang tidak pernah keluar kamar, bahkan selama hampir tiga hari disini, ia tidak pernah sekalipun melihatnya. Yang Nisa tahu, ibunya akan mengantarkan makanan saat waktu makan tiba dan mengambil piring kotor itu kembali beberapa saat setelahnya.
Sudah ketukan kedua Nisa layangkan ke pintu berwarna cokelat mengkilat di depannya, namun tak ada jawaban dari si empunya kamar. Ia mencoba meraih gagang pintu dan memutarnya, Nisa kaget saat pintunya terbuka tanpa dikunci.
"Apa gue masuk aja ya?" gumamnya sendiri. Perlahan ia memasuki ruangan kamar yang dua kali lebih luas dari kamarnya. Segala sesuatu yang ada di dalam tertata dengan rapi membuat kagum siapapun yang memandangnya.
Nisa meletakkan nampan di atas meja dengan hati-hati karena banyak buku di sana. Ia tidak tahu buku apa, tapi dari salah satu buku yang terbuka sampulnya ia lihat sekilas tulisannya menggunakan bahasa asing. Bahasa yang Nisa sama sekali tidak mengerti artinya.
"Siapa kamu?!"
Suara seseorang mengagetkan Nisa yang hendak memutar balik badannya. Dan sialnya, tanpa sengaja ia menyentuh jus jeruk yang tadi dibawanya dan menumpahi beberapa buku yang tergeletak di sana. Mampus gue. Batinnya.
"Siapa kamu dan apa yang kamu lakukan dikamar ku?" tanya orang itu lagi yang belum menyadari apa yang baru saja terjadi. Ia berjalan mendekat dan matanya membelalak saat melihat buku yang belum selesai ia baca sudah basah oleh jus jeruk.
Tak berbeda jauh dengan Nisa, gadis itu melotot kaget saat melihat siapa seseorang yang kini berdiri di hadapannya dengan sorot mata tajam. Kenapa jadi dia? batinnya.
"Apa yang sudah kamu lakukan?" Meski terkesan datar, tapi nada dingin itu tidak bisa disembunyikan. Terlebih sorot mata tajam Ameer yang seakan menembus kepala lawan bicaranya membuat Nisa tak berkutik. Ya seseorang dari pemilik kamar itu adalah Ameer. Dan itu artinya, Ameer adalah majikan ibunya.
"Ma-maaf. Saya tidak sengaja," ucap Nisa sambil menunduk. Ia semakin merasa bersalah saat bayangan ia menuding Ameer kembali terlintas. Ia benar-benar takut sekarang. Bukan takut akan kemarahan Ameer, tapi takut kalau siapa dirinya yang sebenarnya akan segera diketahui oleh teman-temannya.
"Kalau kamu sengaja itu artinya cari mati." Nisa meneguk ludah mendengar ucapan yang tidak ia sangka akan keluar dari mulut Ameer. Mengingat betapa pendiamnya laki-laki itu di sekolah. Tapi itu belum seberapa, yang membuat ia bertambah kesal adalah ucapan Ameer selanjutnya. "Dasar tidak tahu sopan santun!"
Nisa sadar jika ia sudah melakukan kesalahan. Tapi dengan mengatakan dirinya tidak tahu sopan santun bukankah itu keterlaluan. Lagipula ia tidak berniat menyelonong masuk ke kamar Ameer dengan sengaja. Ia hanya ingin mengantarkan makan malam, hanya itu. Tapi sialnya malah ia malah melakukan sesuatu diluar kendali. Kalau saja Nisa tidak ingat siapa dirinya dan siapa Ameer, mungkin ia sudah melayangkan bogem mentah ke wajah pria sombong di depannya. Bagaimana pria judes dan sombong seperti Ameer di gilai banyak siswi di sekolahnya. Nisa sampai bergidik ngeri membayangkannya. Pokoknya sampai mati ia tidak akan tertarik dengan cowok macam Ameer. Titik!
"Ngapain masih berdiri disini?" ucapan Ameer memang terkesan sangat datar, namun nada suaranya terdengar begitu tajam dan menusuk. Nisa yang sempat melamun, tergagap mendengarnya.
"Keluar!" Ameer menunjuk pintu saat melihat Nisa masih bergeming di tempatnya.
Dengan langkah lemas Nisa berjalan ke pintu keluar dengan perasaan dongkol bersarang di dadanya. Namun ada sesuatu yang harus ia sampaikan sebelum benar-benar keluar dari kamar itu. Ia pun membalikkan badannya.
"Maaf, boleh tidak saya minta tolong untuk tidak menceritakan keadaan saya di sekolah?" layaknya seorang anak pembantu berbicara dengan majikannya, Nisa mencoba sesopan mungkin meski sebenarnya ia merasa kesal.
Ameer menghela napas. Kali ini tatapan matanya lebih tajam daripada sebelumnya. "KE-LU-ARR!!" Sebuah bentakan atau lebih tepatnya teriakan membuat Nisa terkejut setengah mati dan berhasil membuatnya ngacir dari kamar itu.
"Dasar kamvret. Kalau mau ngusir mah ngusir aja. Ngga usah pake teriak segala. Bikin budeg. Pengen gue tampol aja rasanya!" gerutu Nisa sambil menghentakkan kakinya kesal.