Chereads / Renjana Di Penghujung Cakrawala / Chapter 3 - BAB 3 – Bekal Merantau

Chapter 3 - BAB 3 – Bekal Merantau

"Bukan aku tidak tertarik, Bu. Sejujurnya saja, aku malah sangat tertarik dan juga sangat mengapresiasi terkait adanya Universitas yang seperti itu. Makanya aku tadi jadi sedikit diam untuk mikir. Karena, bangsa ini memanglah tidak pantas jika menjadi bodoh gara-gara banyak yang miskin."

"Hu um … itu kamu ngerti. Dan Ibu pasti juga akan mendukungmu untuk menjadi pintar dan sekaligus meraih gelar sarjana. Lalu, kenapa kamu nggak ikut kuliah di situ saja?" tanya sang ibu menyelidik.

Spontan, Indra jadi kembali terdiam saat sang ibu terus mengejarnya dengan pertanyaan itu. Karena masih saja ia merasa berat, jika harus memberikan kabar yang tentunya akan membuat ibunya menjadi susah karena kepikiran.

Melihat sang anak hanya diam saja, Widuri langsung saja menegur,

"lho … kok jadi diam? Lupa apa kata ibu sejak kamu kecil? Komunikasi, adalah yang utama agar tak terjadi salah paham. Jadi, ungkapkan apapun isi hati dan pikiranmu. Tentu saja hal itu harus disertai dengan kejujuran pada diri sendiri. Karena walaupun kamu bisa membohongi ibu, pastilah tidak akan bisa membohongi hatimu sendiri. Iya, kan?"

"Iya, Bu …" jawab si anak sambil tetap menunduk.

"Nah, jadi … katakanlah isi hatimu pada ibu. Pernahkan ibu marah, saat kamu mengatakan apapun dengan jujur?"

"Tidak pernah, Bu …" jawab kembali Indra dengan masih saja terlihat galau.

"Baiklah … kalau kamu sudah tahu itu, ungkapkan saja apa adanya. Dan, kita akan membicarakan hal itu sampai tuntas dengan sekaligus menemukan solusinya." Dengan tetap lembut tapi tegas, sang ibu memerintahkan pada anak sulungnya.

---

Mendengar ketegasan kata-kata sang ibu, untuk sesaat Indra jadi terdiam. Sepertinya, si pemuda sedang menimbang apa yang harus ia katakan. Namun mengingat jika pembicaraan telah mengarah pada inti permasalahan, iapun memutuskan untuk membuka diri dengan mengatakan hal yang sebenarnya.

Tanpa suara, Indra merogoh saku bajunya. Kemudian, dikeluarkannya surat panggilan kuliah yang tadi ia terima dan menyerahkan pada sang ibu tanpa mengucap apapun. Melihat itu, Widuri mengerutkan kening dengan heran. Namun karena tak mau membuat anaknya menjadi ragu kembali, diterimanya amplop tersebut untuk ia buka dan membaca isinya.

Beberapa saat, ia mencermati tulisan diatas kertas tersebut. Lalu seperti tidak percaya, ia mengulangi lagi membaca dan memikirkannya dengan lebih dalam lagi. Dan begitu selesai memahami isi surat, tanpa berpikir panjang diucapkanlah kata dengan wajah berbinar senang,

"wah … selamat, Ndra. Kamu diterima di salah satu Perguruan Tinggi Favorit. Anak ibu memang pandai dan tak pernah mengecewakan. Sarjana Tehnik, itulah masa depan gemilangmu." Demikianlah kata sang ibu sambil terus berdiri dan memeluk anaknya dengan penuh sayang.

Tentu saja, Indra jadi bengong saat mendengar itu. Karena ia bahkan sama sekali tak memahami sikap sang ibu, yang dengan enteng memandang persoalan berat dalam hidupnya kali ini.

Tentu saja demikian, bukankah kuliah akan membutuhkan banyak biaya?

Atau jangan-jangan … ibunya ternyata malah memiliki simpanan uang yang sangat banyak, hingga tak terdengar sedikitpun rasa gentar dalam nada bicaranya.

Tak mau lebih galau dan pusing lagi terkait semua jawaban dari misteri sang ibu, Indra segera saja bertanya tanpa mau menanggapi ucapan selamat dan peluk kebanggaan dari ibunya.

"Memangnya, ibu sudah punya modal untuk mengirimku kuliah?" dengan kalem, si anak bertanya.

"Oh, tentu saja sudah. Dan janganlah kamu kuatir. Karena ibu sudah memiliki modal yang sangat banyak dan tak akan pernah habis, Nak …" dengan lembut, Widuri menjawab.

Namun, Indra bukanlah seorang yang bodoh dan bukan tak tahu apa-apa terkait kondisi orangtuanya, hingga mau menelan begitu saja kata-kata dari sang ibu. karena itu, ia kembali bertanya pada wanita tersebut,

"apa modal ibu?" tanpa mau mengecilkan arti, Indra bertanya.

Melihat keraguan serta rasa kecewa yang menggayut melalui tatap mata si pemuda, sang ibu langsung saja tersenyum lebar. Widuri sangatlah menyayangi anak-anaknya, dan kali ini pun ia tak akan mau mengecewakan harapan sang anak yang sudah terlanjur melambungkan cita-cita.

"Indra … tahukah dirimu, apa modal ibu selama ini semenjak ditinggal pergi ayahmu?" demikian ia bertanya.

Dan tutur kata sang ibu yang begitu halus dan merdu, dengan seketika telah saja berhasil menenangkan kegundahan si anak. Karena itulah, Indra pun segera menimpalinya.

"Tentu saja tidak tahu, karena ibu belum pernah mengatakannya. Katakan kepadaku, Ibu … agar aku mengerti dan bisa meneladani itu." Dengan hati yang sudah kembali ringan, Indra sudah dapat kembali berbicara apa adanya.

"Pastilah aku pernah mengatakannya, hanya saja mungkin tidak secara langsung."

"Oh, begitukah? Bagaimana kalau ibu mengatakan sekali lagi, agar aku menjadi mengerti …" tak lelah bertanya, Indra terus mencari-cari jawaban.

"Dengarkanlah, Nak … modal yang ibu miliki dalam menjalani hidup ini, adalah anak-anak ibu sendiri. Kamu dan Putri, adalah sebuah modal besar yang diberikan Tuhan untuk menopang hidup kita selamanya," tanpa terasa, sang ibu telah saja meneteskan airmata harunya saat mengucapkan kata tersebut.

"Oh, Ibu … begitukah?" tak bisa juga menahan haru, Indra bertanya dengan begitu tersentak hatinya.

"Memang demikianlah adanya. Karena itu, janganlah takut tak memiliki modal untuk kuliah. Karena dirimu sendiri dengan semua niat baik yang dimiliki, adalah merupakan satu hal besar yang dapat dijadikan modal hingga akhir hidupmu nanti …"

"Maksud ibu, apakah aku bisa mengandalkan diri sendiri untuk menempuh masa kuliahku nantinya?"

"Memang demikianlah nyatanya … percayalah jika kamu akan bisa menyelesaikan kuliah nanti dengan semua yang kau miliki dalam tubuhmu. Dan yang kau butuhkan, hanyalah sekedar modal awal saja untuk memulai semua itu. Kalau kau membicarakan masalah uang, ibu punya sedikit tabungan untuk kau bawa nanti."

"Lalu, bagaimana dengan Ibu dan Putri kalau aku jadi pergi kuliah di luar kota?"

"Jangan kuatirkan itu, Nak … jemputlah saja impianmu. Karena ibu dan adikmu, pastilah akan baik-baik saja disini. "

"Tapi …"

"Hei … bukankah kau hanya akan kuliah di kota yang berjarak tak sampai seratusan kilometer dari sini? Tidak ke Amerika, ataupun Eropa. Hi hi hi … ibarat kata, berjalan kaki pun ibu masih sanggup jika hanya menempuh jarak itu …"

"Ah, ibu …"

"Pergilah, jemput impian dan citamu. Doa ibu akan selalu bersama dirimu …" dengan tegas namun dalam tutur kata yang sedemikian lembut, sang ibu memberikan restunya.

Sesederhana itulah jika berbicara tentang apapun dengan sang ibu. Karena tanpa berbelit dan menyertakan kekhawatiran yang belum pasti, ibunya mendorong agar Indra berangkat merantau dengan pikiran yang selalu optimis. Ibarat kata, ia hanya perlu modal awal untuk memulai. Setelahnya, semua pasti akan berjalan dengan baik, asalkan ada niat baik dan kesungguhan.

Sedikit pesan yang diberikan oleh sang ibu kepada Indra, hanyalah berupa beberapa kata singkat yang membesarkan hati,

"Berangkatlah, dan berjuanglah tanpa pernah menyerah. Jika pun kau gagal, rumah ini akan selalu menerima dirimu untuk pulang kapan saja dengan pintu yang terbuka lebar …"

***