Tapi mendadak saja, suara melengking yang sedikit agak sumbang itu terdengar berkata kembali dengan nada lebih menyentak.
"Sudah, sudah … jangan ribut terus. Kalian ini, mau daftar kuliah kok malah seperti di pengadilan agama!" bentak sang suara ibu tiri dengan sangat galaknya.
Namun si gadis yang sepertinya memiliki sifat yang lebih pede dan tak takut apapun, dengan tanpa merasa salah malah bertanya, "kok pengadilan agama, Buk? Apa saya salah dengar?"
"Ya enggak, kalian berdua itu malah seperti pasangan suami istri yang lagi antri ngurus cerai di pengadilan agama. Dari tadi kerjaannya berantem saja, huh …" tukas sang ibu sambil bersungut-sungut yang diakhiri dengan sebuah dengusan.
Lalu sambungnya masih tanpa nada ramah, "sini tumpuk aja berkasnya bareng, biar selesainya nanti nggak rebutan lagi siapa yang duluan. Terus, kalian tunggu disana sambil diam dan berusaha untuk tidak membuat berisik!"
---
Mendengar perintah yang diucapkan dengan nada tanpa belas kasih dan simpati itu, mendadak keduanya jadi terlihat patuh dan diam sepi bagai dua anak yang baik. Kemudian dengan begitu sopan, satu persatu menyerahkan berkas untuk ditumpuk dan dikerjakan oleh sang pagawai administrasi. Setelah itu, barulah mereka mundur untuk menunggu di tempat duduk masing-masing untuk menunggu.
Mendapati keadaan yang seperti itu, mendadak saja Indra jadi seperti terbengong karena tak mempercayai kemalangannya hari itu. Karena semenjak kedatangannya ke kampus impian pada hari itu, ia bahkan telah beberapa kali menemukan banyak hal yang aneh bagi dirinya.
Entahlah akibat dari kurangnya doa apa ataupun dari siapa, hingga si pemuda menemui nasib yang seperti itu. Karena baru sehari saja ia menginjakkan kaki di kota tersebut, dirinya sudah bertemu dengan tiga orang yang langsung saja mengomel tak karuan. Karena sepertinya, siapapun yang ia temui hari ini terasa ingin mengibarkan bendera persengketaan dalam kata dan ujaran.
Dimulai dari sang komandan sekuriti yang ugal-ugalan namun baik hati, ia sempat merasakan betapa dirinya telah saja ditempa untuk menjadi seorang pemuda yang nekad. Kemudian gadis yang ada disampingnya sekarang ini, adalah sosok yang juga telah saja membingungkan segala nalar serta logika.
Karena, bayangkan saja … belum juga Indra dapat meresapkan betapa indahnya senyum yang terukir pada wajah cantik mempesona itu, beberapa detik berikutnya ia malah sudah mendapatkan sebuah lirikan tanda permusuhan.
Kemudian yang tak kalah menjadikan hari itu terasa apes bagi dirinya, adalah sikap dari sang petugas loket di bagian kemahasiswaan. Dimana dengan tak memperlihatkan pertanda untuk sedikitpun berusaha ramah, ibu yang galak itu telah saja menutup keberanian Indra Perkasa untuk banyak bertanya mengenai hal yang ingin ia ketahui terkait calon kampusnya.
---
Tapi sepertinya, kejutan hari itu belum juga akan selesai bagi dirinya. Sebab tanpa sepengetahuan sang ibu penerima administrasi pendaftaran, si pemuda segera saja menangkap sebuah keganjilan. Karena gadis yang duduk tak jauh dari Indra itu, saat itu malah terlihat seperti sedang mengeluarkan sebuah suara tercekik dari lehernya.
Setelah beberapa saat mencoba tetap diam dan menahan rasa ingin tahunya, Indra pun telah saja jadi semakin penasaran. Karena entah sedang membuat ulah apa lagi, gadis itu terus saja mengeluarkan suara aneh seperti layaknya orang tak normal. Hingga dengan begitu saja, Indra pun jadi ingin lebih melihat dengan jelas apa yang sedang dilakukan oleh si bocah perempuan galak itu.
Lalu sesudah mengumpulkan segenap keberaniannya untuk mencoba melihat apa yang terjadi pada gadis tersebut, dengan perlahan ia sedikit memalingkan wajahnya agar tak terlalu susah untuk membuat sebuah jurus lirikan maut. Dan saat ia memutar bola mata demi mengetahui asal keberadaan suara-suara aneh itu, mendadak saja matanya telah menangkap sorot mata lain yang juga tengah menatapinya.
Bagaikan digerakkan oleh sesuatu yang tak nampak, kedua calon mahasiswa itu telah saja saling melekat dalam lirikan. Lalu bukannya membuang pandang dengan malu saat masing-masing terpergok mencuri pandang, tatapan dua pasang mata malah sepertinya jadi terpaku untuk lebih mendalami lagi apa yang berada di balik jendela hati.
Dan mendadak saja, terlihat hidung si gadis bergerak-gerak kembang kempis dengan lucunya. Kemudian tanpa diduga, sebuah cengiran nakal telah saja terukir diatas wajah sang gadis. Karena sepertinya, sosok cantik itu memang sudah tak dapat menahan lagi gelinya akan sesuatu.
Hingga mungkin karena saking tak tahan, gadis itu mencondongkan wajahnya untuk mencoba menyampaikan sesuatu pada Indra,
"ssstt … kenal juga belom, mosok dikira udah mau cerai. Emang, kapan juga kita kawinnya? Hik hik …" sambil berbisik agar tak terdengar oleh sang ibu tiri yang sedang sibuk menginput data, gadis itu langsung saja mengatakannya pada si anak lelaki berpenampilan dekil.
Sepertinya, si gadis jadi sudah tak bisa menahan gelinya sejak diumpamakan tengah menunggu sidang perceraian. Tapi yang jadi lebih aneh, adalah sikap si pemuda yang tiba-tiba saja jadi latah untuk turut memberikan senyum yang tak kalah kocaknya. Atau bahkan, sebuah cengir iseng yang dengan seketika membuat sang gadis tersenyum dengan lebih lebar lagi.
Bak menular, tawa si gadis yang merasa shock dengan ujaran dari sang 'ibu tiri', sepertinya telah menemukan teman satu frekwensi. Dimana, keduanya memang sama-sama merasa geli dengan ucapan terakhir tentang pengadilan agama. Dan disaat mereka merasa menemukan sebuah persamaan sifat dalam keisengan, langsung saja terkirimlah sinyal-sinyal kecocokan yang akan menjadi satu bibit pertemanan.
---
Namun sebelum kekompakan penafsiran mereka meledak menjadi sebuah tawa yang akan menyinggung hati sang petugas administrasi, Indra pun segera memberi isyarat dengan menempelkan jari telunjuk pada bibirnya sendiri.
Seketika, si gadis langsung saja mengangguk-angguk. Dan meskipun ia belum juga dapat menghilangkan sepenuhnya tawa tanpa suara dari bibir, iapun seperti patuh untuk sepakat tak menimbulkan kegaduhan lagi.
Mengetahui jika mereka berdua bisa menjalin sebuah pertemanan, Indra segera mengulurkan tangan untuk mencoba memperkenalkan dirinya. Walaupun masih ragu jika mungkin saja ia mendapatkan penolakan atau bahkan penghinaan karena keadaannya yang jauh berbeda dengan si gadis, tetap saja ia ingin memulainya dengan tulus dan segala kerendahan hati.
"Maaf … Maksudku tadi memanggil dengan sebutan Mbak, bukanlah karena aku merasa lebih imut." Bukannya menyebut nama, si pemuda malah langsung meminta maaf dengan sedikit grogi.
Spontan saja, si gadis langsung terkikik karena omongan yang sama sekali tidak ia sangka.
"Hi hi hi … seimut apa kamu? Tadi, aku juga bercanda, kok. Eh, namaku Vanessa. Nama kamu siapa?"
"Umm … aku Indra. Indra Perkasa," masih saja gugup, si pemuda juga memperkenalkan namanya.
Bagaimana Indra tak akan menjadi gugup setelah mereka saling menggenggam tangan untuk bersalaman. Telapak tangan yang sedemikian halus dan lembut itu, benar-benar telah seketika membuat dirinya minder. Dan tatapan mata si pemuda yang tengah melihat pada kedua tangan yang menyatu, dengan semestinya telah menemukan suatu perbedaan yang sangat mencolok.
Pada saat itu juga, Indra pun telah saja merasa harus menjadi tahu diri. Bahwa gadis yang memang benar-benar memiliki kecantikan yang luar biasa itu, pastilah berasal dari keluarga yang jauh berbeda kondisinya dengan keluarganya sendiri. Dan meskipun sama-sama merupakan penyandang beasiswa jalur prestasi, tentulah keadaan mereka tidak akan sama di hari nanti.
"Panggil saja aku dengan sebutan Nessa …" bisik gadis itu agar tak menimbulkan kegaduhan.
"Uh, nama kamu bagus. Kamu juga boleh panggil aku Indra."
"Indra juga bagus. Hi hi hi … kamu keterima di Fakultas apa?"
"Oh, aku Tehnik."
"Wah, sama dong ... aku Arsitektur. Kalau kamu?"
"Aku mesin."
"Wah, kamu keren …"
Setelah saling memperkenalkan nama, gadis itu langsung saja bercerita tanpa diminta. Vanessa berasal dari Jakarta. di Jogjakarta ini, ia tinggal di sebuah rumah indekos yang tak jauh dari kampus.
"Kamu kos juga? Di mana?" tanya Vanessa sesudah ia bicara tentang arah rumah indekosnya, yang tentu saja sama sekali tak dipahami oleh Indra.
Mendengar pertanyaan itu, langsung saja Indra bingung. Karena, ia malah sama sekali belum memikirkan untuk tinggal dimana malam itu. Namun agar tak menimbulkan pertanyaan, pemuda itupun menjawab dengan taktis dan cerdik,
"oh, sementara ini aku numpang. Nanti, pelan-pelan aku mau cari tempat kos."
"Ah, di sebelah indekos aku ada yang kosong. Kamu bisa langsung kesana saja. Tempatnya bagus, dekat juga dari Fakultas Tehnik." Dengan antusias, Vanessa langsung saja membawa berita.
"Oh, begitu? Berapa perbulannya?" meskipun tak membayangkan bisa membayarnya, Indra tetap saja bertanya untuk menghargai kebaikan Vanessa.
"Hik hik hik … nggak bisa sewa bulanan. Bayar sewanya minimal harus enam bulan. Kalau pertahun malah bisa dapat harga lebih murah," jawab si gadis yang merasa lucu dengan pertanyaan Indra.
"Oh, aku kira bisa bulanan. Emang, sewanya berapa?" karena jadi tertarik, Indra pun mencoba mencari tahu pasaran harga sewa kos di sekitar kampus.
"Setahun dua belas juta. Tapi kalau enam bulan, kamu harus bayar tujuh setengah." Seperti sangat biasa dan wajar-wajar saja, gadis itu menyebut nominal yang sekian banyak tersebut dengan nada sangat enteng.
Sementara Indra perkasa yang mendengarnya, dengan seketika saja telah menjadi layaknya orang terkena serangan jantung secara mendadak.
***