Chereads / Renjana Di Penghujung Cakrawala / Chapter 4 - BAB 4 – Menyongsong Masa Depan

Chapter 4 - BAB 4 – Menyongsong Masa Depan

Dan akhirnya, Indra pun jadi juga pergi ke kota dimana ia menjemput masa depan gemilangnya. Dengan hasrat serta tekad dan kemauan yang kuat, ia telah meyakinkan diri agar berani menghadapi setiap kesulitan yang akan datang kepadanya. Dan meskipun harus berangkat tanpa seorang pun yang mengantar, ternyata tiada nampak terlihat gurat sedih dalam raut wajahnya.

Dengan menumpang sebuah kendaraan butut bak terbuka milik seorang kenalan yang menjadi pelanggan setia di bengkel tempatnya nyambi bekerja, pemuda itu berangkat dengan dipenuhi doa serta restu yang tulus dari sang ibunda. Hingga walaupun harus duduk di bak belakang, tak terkira sudah betapa suka-citanya Indra. Karena dengan mendapat pertolongan dari orang baik tersebut, tentunya ia sudah melakukan langkah penghematan dengan tak perlu boros membayar ongkos transportasi sepeserpun.

Satu tas berukuran sedang yang berisi pakaian terbaiknya serta sejumlah uang dan sebuah sepeda jengki pemberian Pak Kosim, adalah harta benda yang ia bawa untuk bekal menuntut ilmu di sebuah perguruan tinggi negeri terbaik.

Terkait sepeda jengki dibawa serta olehnya, ternyata juga memiliki sebuah cerita tersendiri yang tak kalah unik. Sebab, benda tersebut dengan sangat sangat dipaksakan telah saja diberikan padanya untuk digunakan sebagai sarana transportasi di kota.

Pak Kosim sendiri, adalah merupakan sesosok orangtua yang dipandang aneh oleh penduduk sekitar. Lelaki yang hidup sendiri dalam usia senja, adalah seorang gagu yang tak pernah bicara kepada siapapun. Bahkan kepada Indra yang rajin menyambanginya, orang itupun belum pernah terdengar sedikitpun berucap.

Jadi sedikit mengherankan; sebab kata ibunya yang lahir dan besar di desa tersebut, Pak Kosim itu dulunya adalah seorang gagah yang terkenal menjadi jawara disaat mudanya. Namun entah apa yang menyebabkannya, kini ia sudah berubah menjadi orang yang tak dapat bicara pada siapapun.

"Ah, uh, eh, oh …"

Hanya suku kata itulah yang selalu terdengar setiap ia ingin menyampaikan sesuatu. Dan sepertinya, manusia yang perduli serta bisa menjadi dekat dengan lelaki tersebut, hanyalah Indra Perkasa saja adanya.

Penduduk desa telah terlanjur takut pada lelaki tua yang dulunya terkenal selalu berkecimpung di dunia kegelapan serta penuh kekerasan. Sehingga bahkan sampai dalam usia lajutnya, predikat tersebut telah saja membuat semua nyali menciut bila berhadapan dengannya.

Namun anehnya, Indra tidaklah menganggap seperti itu. Karena entah kenapa, ia justru terlihat dekat dan nyaman saja menemani hari tua Pak Kosim. Meski harus dicibir oleh beberapa bibir nyinyir, pemuda itu tertap bersikukuh untuk menjalin sebuah pertalian hubungan yang unik. Hingga setelah sekian tahun selama kedatangannya hijrah ke desa, tak pernah sekalipun dalam sehari ia lupa untuk sekedar mampir dan melakukan sesuatu bagi si orang tua kesepian.

Mungkin, hal itulah yang menjadikan perlakuan Pak Kosim menjadi berbeda terhadap si pemuda. Bila dengan orang lain ia lebih banyak memasang ekspresi tak ramah, dengan Indra ia malah memperlihatkan sorot mata lembut dan penuh rasa sayang. Hingga tanpa ada seorang pun yang mengetahui, lelaki tua tersebut banyak mengajarkan pada si pemuda tentang bagaimana ia harus mengolah tubuhnya agar lincah dan kuat.

Hal itu terjadi begitu saja tanpa disertai ucapan atau ungkapan apapun. Karena pada suatu hari, lelaki tua tersebut hanya perlu memamerkan bagaimana kerasnya pukulan serta tendangan yang ia lakukan saat menghajar sebuah boneka mekanis dari kayu yang dibuatnya sendiri.

Tentu saja, seorang remaja yang masih berada dalam puncak rasa ingin tahunya, dengan segera telah menjadi tertarik untuk mencoba meniru. Dan dengan meniru gerakan serta petunjuk tanpa kata itulah, selama tiga tahun Indra tak menyadari bila tubuhnya sudah menjadi lebih kuat serta ulet dan lincah jika dibandingkan dengan manusia biasa.

Setelah tiga tahun kebersamaan berlalu, tibalah saatnya Indra menceritakan rencananya untuk pergi menuntut ilmu ke luar kota. Dan pada saat itulah, si pemuda melihat sebuah tangis haru yang begitu sedih karena hendak ditinggalkan. Mungkin saja, itu karena Indra sudah dianggap sebagai cucu Pak Kosim yang hendak pergi merantau. Sehingga, tentu saja telah membuat lelaki tua itu terasa berat untuk melepasnya.

Namun untuk menunjukkan dukungannya pada apa yang diinginkan oleh si pemuda, dengan serta merta si orang tua malah mengajak Indra untuk memasuki sebuah kamar. Dan disanalah, dipaksanya Indra untuk menerima pemberian sebuah sepeda jengki kuno yang masih tampil berkilau saking terawatnya.

***

"Sudah sampai … inilah Jogjakarta, Le … kamu turun disini, karena kami tidak akan melintas di depan kampus tempat kuliahmu," dengan lugu dan apa adanya, sopir tua kendaraan bak terbuka itu berkata pada Indra.

"Wah, sudah sampai? Terimakasih untuk tumpangannya, Pak." Demikian sahut Indra sembari membereskan barang-barangnya yang tak seberapa.

"Sama-sama, Le. Sudah tahu jalan yang menuju kampus kamu?"

"Belum, Pak. Tapi itu gampang, aku bisa nanya sama Pak Polisi yang jaga disana, beliau-beliau pasti akan menunjukkan arah yang benar." Demikian jawab si pemuda lagi dengan wajah yang tak terlihat gentar sedikitpun, sembari menunjukkan tangan ke arah sebuah pos Polisi.

"Wah, pintar kamu … ya sudah, sampai disini dulu perjumpaan kita. Semoga kamu berhasil dalam menuntut ilmu. Rajin-rajinlah belajar, yang ulet dan pantang menyerah … kelak dikemudian hari, bapak ingin melihatmu jadi orang gedean. Harapannya kita seperti itu kan, Le?" demikian pak tua pengemudi mobil bak terbuka itu memeberi nasehat dan doanya.

" Semoga saja, Pak. Terimakasih untuk tumpangannya, dan terlebih lagi untuk doa tulus bagi saya …"

"Sama-sama, Le … hati-hatilah di kota orang. Baik-baiklah membawa diri."

***

Setelah sekian banyak kali bertanya, satu jam kemudian Indra sudah tiba di sebuah persimpangan jalan yang memiliki bundaran taman dan air mancur ditengah-tengahnya. Dan tepat di sisi kiri tempatnya berdiri sambil memegangi sepede jengkinya, ia menemukan sebuah tulisan raksasa yang menunjukkan papan nama kampus bakal tempat dirinya belajar.

'Waduh … kampusnya begitu besar. Pintu masuknya saja bisa buat balapan mobil seperti itu. Lah, udah nemu letak kampusnya tapi nggak tahu harus kemana' demikian batin si anak muda yang tak menyangka sama sekali jika kampusnya akan sedemikian megah dan luas seperti itu.

Tapi tidaklah percuma, bila dikatakan Indra Perkasa pantas untuk menjadi salah satu mahasiswa pilihan yang diundang ke tempat tersebut. Karena dengan cerdik laksana ular, ia langsung saja menemukan sebuah cara yang sangat efisien untuk menemukan tujuan dan menjalankan misi hari itu.

Setelah menghapus keringatnya dengan selembar handuk kecil yang dibawanya, Indra pun meneruskan langkah untuk menuju sebuah bangunan kecil yang merupakan pos keamanan internal kampus.

Yups, kantor sekuriti … itulah tujuannya. Karena ia yakin, disanalah akan didapatkan apapun informasi yang ia butuhkan. Dan bersama orang-orang baik yang terdidik untuk melayani masyarakat, ia pasti akan mendapat bantuan yang diperlukan.

---

"Selamat siang, Bapak-bapak …" demikian sapa si pemuda pada petugas sekuriti yang berjaga di dalam pos keamanan kampus.

"Selamat siang, Dek. Ada perlu apa?" jawab seorang sekuriti muda yang berperawakan tinggi dan tegap.

"Perkenalkan, nama saya Indra Perkasa. Saya calon mahasiswa disini. Bolehkah saya menanyakan beberapa hal pada bapak-bapak di sini?" jawab si pemuda dengan sangat sopan namun penuh percaya diri.

"Oh, tentu saja boleh. Mau tanya apa?" tukas seorang petugas lain yang lebih tua dan berkumis tebal.

Mendengar orang yang tampak angker tersebut menjawab, Indra pun segera memalingkan wajahnya untuk memberikan perhatiannya pada lelaki tengah baya yang saat itu telah bergabung dalam pembicaraan.

***