Lelaki itu memiliki potongan tubuh yang kekar dan nampak tangguh. Tinggi mereka hampir sama, bahkan mungkin Indra malah lebih jangkung beberapa centimeter. Namun bila dibandingkan dengan si pemuda yang memiliki postur ramping padat, tentu saja sang sekuriti lebih menang gempal serta bobotnya. Pula, perutnya yang agak buncit juga tambah menjadikannya tampil sebagai sosok bertubuh tinggi besar.
Melihat penampilan yang sedemikian gagah serta berwibawa, langsung saja Indra mengangguk dengan penuh hormat, lalu kembali memperkenalkan dirinya pada sang sekuriti yang baru saja memasuki ruangan tersebut dari pintu belakang.
Setelah menjelaskan maksudnya yang hendak menanyakan keberadaan kantor administrasi kampus, pria itu langsung saja menyuruhnya masuk untuk duduk di sudut yang terdapat satu set kursi tamu minimalis.
"Hmmm, namamu Indra Perkasa ... Perkenalkan, nama saya Joko Samudra."
"Ah, iya Pak Joko. Senang berkenalan dengan bapak yang baik."
"Halah, nggak usah muji-muji dulu. Kita kan baru kenal, nggak mungkin kamu ngerti aku baik atau tidak. Ha ha ha …" tanpa disangka, Indra malah mendapatkan sebuah jawaban yang benar-benar diluar bayangannya.
Betapa ia tak akan terkejut sekaligus geli. Karena bila dilihat dengan sekilas, lelaki paruh baya di depannya itu nampak benar-benar menyeramkan serta cenderung kejam. Dengan memperhitungkan kepemilikan kumis tebal yang melintang diatas bibirnya saja, rasanya sudah cukup akan membuat seseorang jadi mengkeret jeri. Namun kenyataaannya, baru selesai berkenalan nama saja dia sudah ketahuan lucu dan kocaknya.
"Ah, oh … anu, Pak …" tergagap, spontan saja Indra jadi sulit untuk bicara.
"Hush … aku hanya bercanda. Baiklah … jadi, kamu mau daftar ulang kuliah melalui jalur prestasi?" demikian tanya pria kekar yang ternyata berhati baik serta juga ramah. Seolah tak ingin membuat bingung, iapun segera membuang sikap konyol yang tadi sempat diperlihatkan.
"Betul, Pak."
"Boleh saya lihat surat undangannya?" pria tersebut bertanya lagi.
"Oh, sebentar …" jawab Indra sambil membuka tas ranselnya, lalu menarik keluar sebuah map dari dalamnya. Setelah menemukan yang ia cari, diserahkannya sebuah amplop berwarna coklat pada petugas sekuriti tersebut.
Lelaki yang bernama Joko Samudra membaca dan menelitinya selama beberapa saat. Namun sesudahnya, mendadak saja Indra dikejutkan oleh suara nyaring yang keluar dari bibirnya,
"E ladalah … piye, iki? Lha kok kamu mepet banget datangnya? We lha … bisa sudah tutup kantornya. Waduh, kamu harus cepet-cepet daftar ulang sebelum mereka pada istirahat." Tanpa basa-basi, Joko Samudra langsung saja mencak-mencak entah pada siapa.
"Lah, ada apa ini, Pak?" tanya Indra dengan wajah bingung.
"Lha kok kamu malah nanya aku, ada apa. Kamu ini lho … daftar ulang kok mepet tanggal kayak gini. Lha ini juga sudah siang. Kalau kamu nggak berhasil daftar, bisa dicoret jadi calon mahasiswa, kowe …" sekarang, lelaki itu malah mencak-mencak menyalahkan Indra Perkasa.
"Oh, begitu? Ya maaf, Pak. Kalau begitu, saya minta tolong ditunjukkan saja jalannya. Saya akan kesana secepatnya, biar nggak telat." Tertular panik, Indra menjawab dengan wajah sedikit pucat. Karena, ia bahkan tidak begitu memperhatikan hal yang seperti dikatakan oleh sekuriti.
Namun, jawaban petugas yang nampaknya senior itu malah membuat Indra kembali terkejut.
"Weh, ndak bisa … jangan kesana sendiri …"
"Lah, terus?" tentu saja si pemuda memprotes.
"Kamu pikir, kampus ini hanya seluas sekolahan SMA kamu? Kampus ini luas banget, Le. Bahkan saking luasnya, jika kamu ngontel sampai gobyos ringet pun, pasti akan makan waktu paling tidak lima belas menit. Belum lagi, waktu yang habis buat kamu ngambil napas setelah sampai disana. Terus, kamu juga harus naik tangga yang banyak biar bisa sampai ke kantornya. Wahhh … bisa-bisa sudah pada bubar orangnya. Tau sendiri, kan? Pegawai itu ada aja alasannya pergi kalau pas jam makan siang. Terus, mereka nggak balik lagi. Dengan begitu, kamu nggak jadi bisa kuliah di sini …"
---
Sama sekali diluar ekspektasi seorang Indra Perkasa. Karena jika kesan pertama saat berjumpa dengan Joko Samudra telah menilainya sebagai sosok yang angker, kini ia malah jadi heran bukan kepalang saat mendengar rentetan kata dari mulut lelaki tersebut. Sebab apa yang dikeluarkan melalui bibir berkumis tebal itu, malah lebih pantas disebut sebagai layaknya ujaran mak-mak yang sedang nyap-nyap.
Mau tertawa tapi takut digampar, akhirnya Indra hanya menyahuti saja suara ribut itu dengan jawaban kalemnya, "Ya maafkan lagi, Pak Joko. Kalau saya lebih lama berada di sini dan enggak berangkat juga, pasti jam kantor sudah selesai saat saya tiba di kantor administrasi."
Mendengar kata-kata yang halus budi bahasanya itu, Joko Sanudra malah berusaha kian mendebat,
"Weee … ya ndak mungkin. Kantor tutup itu jam lima sore. Mosok Cuma nggenjot sepeda setengah kilometer aja, bisa selama itu sampainya? laki-laki apa, kamu?" kembali, sang sekuriti malah melantur lagi.
Merasa tak memiliki harapan untuk mendapatkan sebuah pencerahan, akhirnya Indra harus mengalah. Dengan sedikit tergesa, ia membenahi berkas-berkas miliknya untuk dimasukkan ke dalam ransel kembali. Setelah itu, iapun berdiri dan mengulurkan tangannya pada Joko Samudro.
"Terima kasih, Pak … saya pamit dulu."
Dan jawaban yang ia terima pun, sekali lagi telah saja langsung mengagetkan dirinya.
"Loh, mau kemana?"
"Kan mau ke kantor adminbistrasi, Pak."
"Memangnya, kamu tahu tempatnya?"
"Ya nanti saya tanya-tanya dulu di jalan."
"Lha yo ndak mungkin ada yang ditanya. Wah, nekad kamu … yuk, bareng bapak saja. Kebetulan, aku juga ada urusan ke kantor pusat. Ha ha ha …" Dengan tanpa rasa bersalah karena sudah mengerjai seorang anak muda, laki-laki gempal itu tertawa penuh arti pada Indra Perkasa.
"Wah, bapak ini malah ngerjain saya … ya sudah, terima kasih kalau boleh bareng. Mohon perkenan saya membonceng sepeda motor Pak joko." Tanpa dipikirkan panjang, pemuda itu mencetuskan isi pikirannya. Indra menebak jika dirinya akan diberi tumpangan dengan membonceng sepeda motor.
Namun, kembali ia harus menelan ludah. Karena dengan gaya yang selangit, Joko Samudra menjawab perkataannya dengan gaya yang sangat angkuh,
"Mbonceng? Wee lhaaa … hati-hati kalau bicara, anak muda. Jelek-jelek gini, aku pakainya mobil. Nggak kepanasan, nggak juga kehujanan. Huh, ngomong kok sembarangan,"
Sejenak terkesiap, pemuda itupun langsung saja paham setelah beberapa saat ruangan itu hening. Karena ternyata, selera humor Joko Samudra yang sedemikian tinggi, sepertinya memang sudah mendapatkan pelampiasannya. Dimana tadi, nampaknya ia sengaja menyasar pada dirinya sebagai mangsa empuk keisengan orang tersebut.
Hal itu, tentunya baru dapat ia simpulkan setelah mengetahui betapa rekan-rekan sekuriti yang lain jadi tertawa akibat ulah sang pria berkumis tebal.
---
Selesai menuruti perintah untuk memarkir sepeda jengkinya di teritis belakang pos sekuriti tersebut, Indra membuntuti Joko Samudra yang sedang membuka pintu kemudi sebuah kendaraan type jip model tahun 80an.
Dan benda yang tadi disebut oleh sang sekuriti berkumis dengan istilah mobil itu, sebenarnya tidaklah lebih bagus dibandingkan dengan para pasien bengkel kecil pedesaan dimana dulu ia bekerja. Karena hanya dengan melihat bentuknya saja, ia langsung tahu jika kendaraan tersebut bukanlah sebuah benda yang terawat dengan baik.
Sebenarnya ia ingin tertawa saat teringat gaya bicara sang pemilik mobil. Namun, tentu saja hal itu segera ia urungkan demi kesopanan. Dan untuk menjaga agar dirinya tetap menjadi anak baik, iapun memilih tak berkomentar saat hendak membuka pintu kiri bagian depan.
Namun saat ia masih berusaha mengendalikan handle pintu yang tak lagi berfungsi dengan baik, mendadak saja,
"hei, mau apa?"
"Lah, katanya mau diberi tumpangan."
"Lha iya …"
"Terus, kenapa saya nggak boleh masuk?"
"Ya dorong dulu. Mobil ini, kalau di start nggak mau hidup. Makanya harus didorong. Itulah gunanya aku mengajakmu bareng. Ha ha ha …" sungguh keterlaluan isengnya si bapak. Karena dalam keadaan yang sangat tegang bagi Indra, lelaki paruh baya itu masih saja sempat mengerjai.
Namun, Indra Perkasa bukanlah anak yang tak tahu berterimakasih. Justru setelah mendengar keluhan Joko Samudra, Ia malah bertanya,
"akinya sowak, Pak?"
"Enak aja … sudah ganti aki baru, tapi nggak mau di-start juga."
"Coba dicoba start, saya pengin tahu …"
"Gayamu, Le … lha wong kesininya saja ngonthel sepeda …" ngeyel, si kumis masih saja menjawab.
Namun setelah melihat kesungguhan di wajah Indra, lelaki itupun menuruti permintaan dengan memutar kunci kontak pada mobilnya. Dan seketika saja, terdengar bunyi 'cak-cek-cak-cek' tanpa nada.
Lalu Indra kembali berkata, "bawa obeng, Pak? Sukur-sukur ada palu juga …"
***