Chereads / Queen of Emerald / Chapter 7 - Hari yang Ditunggu

Chapter 7 - Hari yang Ditunggu

Pengungsi dari berbagai klan yang sedari pagi mengantri untuk mendaftarkan anaknya ke sekolah pengembangan bakat, terlihat begitu antusias, begitupun dengan hari ini akan ada pengumuman penting perihal kandidat para putri penjaga serta pemilihan Ratu penjaga yang hanya dilakukan selama dua puluh tahun sekali, setiap klan dapat memberikan kandidat kepada nenek Tessa, tak ada yang dikucilkan ataupun yang dilebihkan, kandidat dari nenek Tessa sendiri hanyalah Elara, namun Elara menolak keras untuk menjadi Ratu penjaga, baginya bekerja di distrik teknologi lebih menarik hatinya.

Nenek Tessa tak punya pilihan lain, satu-satunya penerus klan Coriane hanya Elara seorang, dari sekian banyak bayi yang dilahirkan di Hilltop area tak ada satupun yang memiliki kemampuan Coriane.

Pandangan Elara seketika berubah sejak nenek Tessa datang ke ruang belajarnya, ia tau pasti sang nenek akan terus menerus membujuknya untuk menjadi Ratu penjaga, lagi pula Ratu penjaga adalah sebuah kehormatan dan kesucian di tanah emerald, dia mengerutkan kening pada dahinya yang datar, mendengar dentuman kata nenek Tessa yang bahwasanya Ratu penjaga diberi kemampuan kelak oleh Aruna agar keturunannya mengikuti sang Ratu.

"Kuharap kau bisa mempertimbangkannya, Lara"

''Bukankah nenek tau sendiri aku benar-benar tidak tertarik"

"Kali ini kau pakai logikamu, jika bukan dirimu siapa lagi yang akan memberi penerus bagi Coriane" Nada nenek sedikit meninggi.

Suara cekrekan pintu yang keras membuat Elara tersadar bahwa neneknya sedang tak main-main kali ini, tapi menjadi seorang ratu penjaga membuat ia tak dapat leluasa memberikan kontribusi nya untuk distrik teknologi, lagi pula ia tak seanggun gadis-gadis lain dari klan-klan berbeda yang ada di HIlltop Castle, kepercayaan dirinya runtuh dikala ia tahu pasti jika ia menjadi Ratu penjaga pasangan yang sepadan dengannya hanya Raja penjaga, padahal hanya Stuart lah yang ia inginkan.

Rombongan yang mengarak kelulusan pemuda-pemuda Hilltop Castle tepat berada di depan kediaman nenek Tessa, setelah memberkati mereka dengan wejangan-wejangan yang lebih terdengar perintah yang mencekam, Nenek Tessa memberi segumpal cahaya biru yang seketika masuk kedalam dada para murid tersebut. Elara mendongak keluar memastikan Stuart ada diantara pemimpin pada rombongan tersebut, akan tetapi tampak Ergy yang memimpin kali ini, rasa kesalnya tak dapat disembunyikan, dia sedikit membenci Ergy, bukan karena perangainya yang buruk akan tetapi karena lelaki itu adalah Raja penjaga, dia tak ingin menikahi Ergy yang tampak seperti orang asing di tanah Emerald, dia begitu dingin tak banyak bicara, Elara tak ingin terlihat kikuk jika harus berhadapan dengan lelaki dingin itu.

Shanum membuka buku-buku tebal di hadapannya, dia tak benar-benar sedang membaca buku, kehidupan asing yang ada pada mimpinya mengusik kedamaiannya beberapa waktu terakhir, perasaan cemas yang begitu dahsyat begitu mencekiknya.

Lengan Ale mengencang sesaat setelah ia melambai-lambai kepada Shanum, perempuan itu tampak tak merespon sedikitpun, perasaan kesal menjalari tubuh Ale bagaimana mungkin Shanum melihat ke arahnya namun tak merespon panggilannya.

"Sedang apa. sebentar lagi ujian akan dimulai, kau tak mungkin lupa bukan ?" Ale menepuk pundak Shanum, seraya berbisik pelan di telinga Shanum dengan nada yang terdengar ditekan.

"Ah Sial.'' Shanum terperanjat seketika, menumpuk buku-bukunya dengan sembarang, hampir saja dia melewatkan ujian yang begitu dia tunggu-tunggu selama berbulan-bulan.

"Kau tahu, kau tampak berbeda akhir-akhir ini"

"Iya sedikit" Shanum menjawab tanpa menyangkal sedikitpun.

"Kau juga tampak begitu linglung, apa ada masalah denganmu belakangan ini ?"

"Tidak" Kebohongan yang terlontar begitu saja dari balik bibir Shanum, keluar lebih cepat dari yang terakhir ia lakukan.

Kali ini Ale benar-benar kehilangan kesabarannya, Shanum tak mendengarnya dengan baik, atau dia tak ingin membicarakan apapun kepada Ale, rasa penasaran Ale pada perubahan Shanum begitu besar, dia tak mungkin bertanya langsung kepada Shanum sedang dia tahu pasti Shanum tak akan menjawabnya dengan benar.

Petang merangkak di antara gedung-gedung tua tempat Shanum berada, bayangan tubuhnya menjadi pertanda bahwa dia lebih kurus dari biasanya. Shanum berharap suatu saat dia akan menghilangkan mimpi dan kejadian aneh yang telah merusak setiap hari-harinya. Perasaan ganjal dan pikiran yang selalu mengarah tentang peperangan dan kehidupan berbeda membuat Shanum tak dapat menahan kesabarannya.

Akan ada jawaban, jika aku mencari tahu jawaban itu, Shanum menghantam ranselnya yang tak terisi, meluapkan emosi sesaat pada buku-buku pelajaran di hadapannya, melempar dan menjatuhkan kunci, terlihat seperti seorang yang memiliki gejala depresi berat. Disusunnya kembali buku-buku yang telah ia lempar, menjadi susunan acak, dan berantakan, tampak buku kecil peninggalan ibunya bertengger di celah rak bukunya. Buku hijau yang tak memiliki judul tampak sangat usang.

"Shanum Coriane" Shanum mendadak merinding saat ia temukan namanya bercetak tebal di halaman pertama buku itu.

"Segala sesuatu yang tak tampak, yang tersembunyi, yang tak diketahui, waktunya terbuka"

Shanum meletakkan perlahan buku yang ia temukan dalam rak bukunya, buku yang selalu diabaikan oleh Shanum dibukanya perlahan, tangannya bergetar saat membaca satu demi satu kata yang tertera pada buku itu, kegetiran yang menjalari tubuhnya mengguncangkan lengannya membuat buku yang berada dalam genggamannya terjatuh di atas lantai kamarnya.

"Temukan aku, aku akan menemukanmu"

Tampak seperti mantra, namun Shanum percaya itu bukan sebuah mantra, setiap kata yang tertera pada buku itu membuat Shanum harus menerka-nerka apa maksud dalam buku itu.

"Menjadi aku bukan hal yang mudah dan menjadi dirimu itupun tak mudah"

Sebuah kata-kata yang membuat siapapun akan kehilangan kewarasannya, Shanum tak sanggup menyelesaikan teka-teki ini sendirian, pikiran tentang seseorang yang dapat membantunya hanya pada Ale. Ale pasti bisa melakukan sesuatu atau setidaknya membantunya sedikit dalam pemecahan masalah buku itu.

"Le, bisa ke kostku sekarang ?" Shanum menelpon Ale sembarangan, dia bahkan tak lihat telah pukul berapa, bisa saja Ale sudah tertidur pulas.

Ale yang mendengar permintaan Shanum yang tak biasanya itu, memunculkan stigma-stigma negatif pada pikirannya, Mungkin saja terjadi sesuatu pada Shanum atau bahkan sesuatu yang lebih mengerikan lagi.

Ale bergegas melewati beberapa jejeran kost yang ada di depan kampus mereka dan melihat dari kejauhan lampu kamar Shanum masih menyala, jarak antara rumah Ale dan kost Shanum terbilang dekat, hanya dihalangi oleh jalan besar dan gang pemisah, kamar Shanum yang paling ujung memudahkan Ale untuk mengetahui Shanum sedang melakukan sesuatu. Ale tahu pasti kebiasaan sahabatnya itu, kebiasaan tidur nya yang dapat membuat Ale geleng-geleng kepala, dan begitu membingungkan. Bukan tak ada alasan, Shanum dapat tidur begitu cepat, bahkan sebelum malam dimulai dan dia akan lebih sulit dibangunkan. Keadaan yang membuat Ale harus melakukan pertengkaran kecil setiap paginya jika harus membangunkan Shanum.

Pintu kamar yang tidak tertutup sepenuhnya memudahkan Ale untuk masuk ke kamar itu, didapatinya Shanum sedang berkutik pada satu buku tua yang membingungkan Ale. Ale menyilangkan tangan pada dadanya sedang menyentak Shanum dari belakang. "Jadi apa yang terjadi ?" Shanum tersentak saat mendengar suara seseorang dibelakangnya, namun dengan cepat dia mengalihkan pandangan nya kembali pada buku hijau itu.

"Aku ingin minta bantuanmu, aku tak bisa tidur karena buku ini" Shanum menyodorkan buku itu dengan mata yang sedikit sayu menahan kantuk, Ale yang melihat itu menautkan alisnya dengan kerutan tanda tak mengerti.

"Buku apa ini ?" Ale menerima buku itu sambil menimbang-nimbang beratnya, buku yang terlihat kecil namun sangat berat.

"Aku menemukannya dibalik rak bukuku, sepertinya itu milik ibuku" Shanum menjelaskan dengan nada pasrah dan tertekan.

"Jadi apa yang bisa kubantu ?" Ale menawarkan bantuannya dengan senyuman menggoda Shanum yang sudah tak memiliki semangat.

"Aku tak mengerti isi buku itu, tolong jelaskan padaku" bahu Shanum menunduk lesu, kepasrahan yang memancar pada wajahnya terlihat alami dan menyatu pada kulit pucat nya.

"Akan aku coba" Ale mecoba membuka satu persatu halaman dan mecoba mengartikan kata yang dimaksud dalam buku itu.

Pukul dua dinihari Ale masih saja melototi buku di depannnya, fokusnya pada buku itu mengambil alih rasa kantuknya, dia bahkan merasa kelelahan sedikitpun, sedang Shanum telah tertidur pulas tepat di sampingnya.

Karpet merah yang baru saja dipasang Shanum memenuhi ruangan kecil itu, Shanum yang tak biasanya tidur sembarang tempat, kali ini dia dapat tidur pulas diatas karpet itu. Ale menulis satu persatu jawaban yang bisa saja benar pada sebuah kertas terpisah, tulisan-tulisan yang memenuhi kertas yang ditulis Ale, menguak satu persatu jawaban yang dia inginkan.

Matanya berbinar, wajahnya sumringah dan senyumnya mengembang dengan antusias Ale membangunkan Shanum yang ada di sebelahnya, mengguncang-guncangkan tubuh gadis itu, kemudian menariknya dengan paksa, "Aku menemukan jawabannya" Dia memekik namun tertahan. "Shanum bangunlah, lihatlah ini" Ale mengangkat coretan pada kertas-kertas yang berserakan dengan perasaan bangga dan haru.

Shanum tak berselera, rasa kantuknya menghilangkan kesadarannya dan keingintahuan nya tentang buku itu. Ale tak sabar lagi, dicubitnya Shanum dengan keras pada pahanya membuat Shanum meringis menahan sakit. "Ada apa Ale, aku sangat mengantuk jam berapa ini ?"

"Jam berapa katamu, aku yang seharusnya mengantuk" Ale mengerang. Shanum yang mengetahui Ale sangat kesal memaksakan matanya untuk terbuka.

Catatan-catatan yang tak dapat dipercaya oleh Shanum, terbentang di depan wajahnya, Ale menyunggingkan senyum puasnya, kemampuannya dalam menyelesaikan masalah rumit dapat diandalkan, Shanum mengernyitkan kening tanda tak setuju dengan apa yang telah ditulis oleh Ale.

"Bagaimana mungkin ?" Shanum memicingkan mata tak percaya.

"Mungkin saja dan itu kebenarannya, absolut". Ale meyakinkan.

Hembusan angin yang masuk dari celah jendela kamar Shanum yang tak tertutup rapat menjadikan suasana semakin mencekam, Ale dapat menangkap perasaan tak percaya sekaligus takut yang ada pada diri Shanum. "Kita akan mencari jawabannya sampai akhir". Ale memberi sedikit dukungan pada pundak Ale yang melemas.

"Tak masuk akal le" Shanum menyuarakan kembali ketidakpercayaannya.

"Aku juga berpikir begitu, namun arti kata-kata dalam buku ini seperti itu adanya" Ale menunjuk buku hijau di depannya kemudian memasang muka kesal sebab Shanum tak mempercayai kemampuannya.

Shanum meraih tangan Ale menciumnya berulang kali sebuah tanda terimakasih yang membuat Ale tak bisa menahan geli.

"Sebaiknya kita tidur akan banyak penjelasan rumit yang akan aku jelaskan padamu besok pagi"