Chereads / Queen of Emerald / Chapter 5 - Delima

Chapter 5 - Delima

Ini yang kedelapan kalinya Shanum bermimpi aneh tentang kehidupan lain yang menimbunnya pada keingintahuan yang lebih mendalam dan segala sesuatu yang melebihi tujuh pasti memiliki arti, itulah yang ia yakini.

Shanum membuka catatan berisi potongan potongan cerita yang tak dapat disimpulkan semakin menjadi rumit, helaan nafas panjang membuat Shanum muak dengan kisah apa yang terjadi sebelum ia dilahirkan, ia berharap ia bukanlah Reinkarnasi dari orang yang jahat.

Perempuan itu kembali mengambil pena dan menulis sepotong mimpi aneh nya semalam, mencoba menghubungkan satu sama lain dengan catatan mimpi yang pernah ia alami sebelumnya, lagi -lagi tak ada yang dapat disimpulkan, kali ini ia mempertahankan kewarasannya untuk tidak lagi mencari tau tentang mimpi gila itu.

Telepon pintar milik shanum berdering berulang kali, ia sepertinya mengacuhkan panggilan itu, semakin lama telepon itu berdering Shanum pun akhirnya mau tak mau mengangkatnya.

'' Kau gila ya, sudah jam berapa ini ? dosen sebentar lagi masuk " Suara Ale memekakkan telinga di seberang sana.

'' Iya, iya aku baru saja keluar dari kost " Shanum menjawab dengan santai.

'' Jika kau terlambat lagi, aku tak akan tanda tangan absen mu lagi" Ale mengancam.

Tut.

Shanum beranjak dari kasurnya, mengikat rambut dan mengganti pakaian yang sedari tadi malam sudah disiapkan untuk berjaga-jaga jika ia bangun terlambat hari esok, dan benar saja ia terlambat karena mimpi sial itu.

Dipan kayu dengan suara berderit saat ada yang duduk diatasnya di taman kampus membuat sedikit drama yang sering jadi bahan olok-olok para mahasiswa, namun Shanum tak pernah ambil pusing dengan kata-kata ejekan itu, tubuhnya yang langsing seketika mengambil posisi untuk berbaring diatas dipan kayu membuat suara yang lebih memekikkan telinga, beberapa pasang mata memandang heran kepada Shanum, bagaimana mungkin suara itu bisa dihasilkan sekeras itu padahal tubuhnya sama sekali tak memiliki daging.

Mata nya terpejam saat merangkai kata-kata presentasi yang akan disampaikan hari itu di audium jurusan, ia sedikit menggerakkan tubuhnya mengambil posisi nyaman, riuh hujan mulai terdengar di ujung sana, kali ini Shanum masih di posisinya yang sama tak merubah apapun. Plup. Satu tetes air hujan membasahi kulitnya yg memiliki urat hijau kebiruan, panik membuat ia terburu-buru menginjak tanaman di hadapannya.

Hujan meninggalkan aroma tanah yang khas, meruar menusuk hidung, membentuk kabut di sepanjang reruntuhan, bangunan setengah utuh di sebelah kanan, berwarna coklat pekat layaknya tanah liat yang melekat bertahun-tahun, kumal dan retak-retak seakan menyatu dengan keadaan sekitar, bangunan lancip di sebelah kiri mengundang tanya besar dikepala Mala, bentuknya lumayan seperti real estate jaman sekarang, apa pemiliknya memiliki selera yang tinggi atau waktulah yang menggerus sebagian tubuh bangunan itu menjadi bentuk seperti sekarang atau apakah didesain sedemikian rupa untuk sebuah kantor pemerintahan atau hanya sebuah keisengan. Entahlah. sedang bangunan hijau di ujung sana, penuh dengan tumbuhan menjalar, kaca-kaca yang tertutup daun dan debu penuh dengan cap-cap tangan manusia, kecil dan besar, sedang puing-puing semen dan batu berceceran sepanjang jalan, tongkat-tongkat penyangga dari tiang ke tiang masih terpancang utuh, kepala Shanum berkunang-kunang tak ada yang dapat disimpulkan, sesuatu yang mustahil, diluar akal sehatnya.

Shanum menyusuri setiap jengkal kota, setiap detik pula mulunyat tak henti-henti berdecak kagum, nyata, sungguh nyata. Goresan di dinding beberapa bangunan memberi tanda ada yang ingin disampaikan oleh orang-orang disini, entah itu manusia atau ada sesuatu yang lebih mengerikan, rasa penasarannya mengalahkan rasa takut yang menjalari setiap sendi dan ototnya, setiap jejak yang ditinggalkan kota itu semua terasa janggal.

"Kunyatakan benar dari setiap ucapan yang dilontarkan Ale kepadaku, kupikir hanya bualan dari imajinasi konyol nya yang ia bicarakan setiap hari, membuatku hampir muak mendengarnya, sebagai seorang sahabat tak dapat kupungkiri bahwa dia memiliki sedikit fantasi yang luar biasa, buku-buku tebal dengan berbagai macam judul tersusun acak di rak bukunya, dari sekian ratus buku semuanya membuatku bergidik, begitu maniaknya dia tentang dunia luar, diluar kehidupan manusia". Shanum Membatin sendiri.

Kali ini akan menghabiskan sisa waktunya dengan proyek besar itu, menuliskan kemungkinan demi kemungkinan yang akan muncul serta hipotesis-hipotesis gila, membuat laporan panjang dan presentasi yang memukau atau kemungkinan akan menjadi bahan tertawaan bagi teman-temannya yang lain, tak ada cara lain selain membicarakan hal ini kepada Ale, Shanum rasa hanya dia yang memiliki kegilaaan yang sama sepertinya.

"Wah ! lihatlah, pohon-pohon delima segar tumbuh liar disini, ranum merekah". Shanum berdecak kagum menyaksikan begitu banyak buah delima segar di hadapannya. Entah mengapa delima dan dirinya terasa terikat.

Dipetiknya beberapa buah delima, Jari-jemarinya menikmati setiap helaan angin yang semakin menghangat, udara berubah drastis dari pertama kali menginjakkan kaki di sana, semakin lama semakin hangat, dan sangat nyaman di tubuhnya, suara langkah kaki terdengar mendekat, riuh-riuh suara bercakap-cakap semakin terdengar jelas, Shanum siap menerjang, matanya waspada akan setiap pergerakan, benar saja ada yang bergerak, kemudian orang-orang itu entah dari mana datangnya,semakin dekat semakin jelas, mereka sibuk dengan kehidupan mereka sendiri, bau masakan mengudara di setiap bangunan yang ada, kesibukan pagi hari di dalam kota, lalu reruntuhan yang ia lihat entah mengapa berubah seketika, Shanum memegangi kepalanya mencoba bertahan dengan kegilaan di sekelilingnya.

Kota kecil dengan kesibukan sendiri, mata-mata hangat berwarna hijau zamrud sibuk menyapa satu sama lain, saling mengembangkan senyum, bahkan saling mendekap dengan hangat, kulit mereka putih memerah, rambut hitam pekat, postur tinggi dan sangat modern, tak ada yang sama dari tempat ini dari pertama kali ia lihat selain pohon delima di sampingnya, masih sama persis, ia rasa ada yang tak asing dari mereka, bentuk tubuh itu, postur itu,kehangatan itu, sangat mirip dengan mendiang neneknya, ia selalu mendengus saat ia tahu ia tak memiliki kesamaan apapun dengan nenek, selain rambut dan postur tingginya.

" Hey nak, apa yang sedang kau lakukan didepan delima itu ?" suara berat dari perempuan tua terdengar menyapa.

" Ah maaf, aku tak bermaksud mencuri, aku hanya sangat terkesan dengan buahnya,'' Jawabku gelagapan.

"Kau dari klan mana nak, sepertinya kau dari klan bangsawan sebab tak ada yang dapat mengambil buah ini jika ia bukan dari klan bangsawan".

Shanum sibuk menimbang jawaban apa yang pas, menggaruk-garuk kepala, memainkan kuku jari yang tak panjang sama sekali, dan menghentakkan kakinya, sebuah kebiasaan aneh yang seiring ia lakukan jika takut dengan sesuatu, ia takut apabila ia menjawab salah, apa ia akan dihukum atau dibunuh, jantungnya berdetak kencang, tangan nya dingin menggigil.

''Hahaha, tak apa jika kau tak ingin membicarakan klanmu, aku tak memaksa, aku Ralae dari klan Miros, salam kenal nak, siapa namamu ? ".

'' Shanum Coriane" Singkatku.

" Sungguh, kau keturunan Coriane ?"

" Ah tidak, maksudku iya" gagapku takut menjawab salah.

" Aku mendengar rumor tentang klan mu, kau pasti tau itu nak, tapi rumor itu sudah sangat lama, aku tau mengapa kau malu mengungkapkan klanmu, aku tak akan bertanya lagi, tapi percaya dirilah nak, itu bukan kesalahanmu, okey"

Perempuan tua itu meninggalkannya pergi, memberi Shanum sekantung delima yang dipetik nya di beberapa tempat, senyum hangatnya memberi kekuatan di sekujur tubuh Shanum, perasaan yang tak dapat dia jelaskan bahkan pada dirinya sendiri, begitupula dengan rasa bahagia yang luar biasa memenuhi sel-sel sarafnya.

Pemandangan aneh tampak begitu jelas di mata Shanum, puluhan orang tampak memakai baju yang kelihatan bagaikan orang-orang yang jatuh dari dimensi masa depan, jumlah mereka banyak tapi terlihat seperti kerumunan orang yang sibuk dengan pekerjaan, Shanum menjajarkan jumlah mereka seperti menghitung Rosario.

Ale mengernyitkan kening pertanda ada yang tak beres pada tingkah laku Shanum, tepukan pada pundak Shanum tak ayal membuat dia tersadar, dia seperti sedang mimpi sembari berjalan, kelopak mata nya terbuka namun alam sadarnya tertutup. Diguncang-guncangkannya tubuh Shanum sekeras menghentak-hentakkan pakaian basah sebelum dijemur.

"Sadarlah !" Ale berteriak tapi tertahan oleh giginya yang mengatup.

"Sedang dimana ?" Shanum seperti terbangun dari mimpi panjangnya yang merampas seluruh kesadarannya.

"Apa yang sedang dimana, kita di kampus, aku dan kau" Ale menekankan kata-katanya.

Beberapa saat terdiam, Shanum masih saja tak mempercayai dia dapat hidup pada dua dunia sekaligus.