Chereads / Queen of Emerald / Chapter 4 - Rumah

Chapter 4 - Rumah

Rumah kayu diujung jalan adalah tempat tinggal ibu Shanum dan ayahnya dahulu, sebelum Rin meninggal dia sempat menanam sebuah pohon delima, hingga kini pohon itu tampak lebat dan berbuah. Tidak ada yang berani mendekati pohon itu rumor tentang pohon kutukan menjadi bahan pembicaraan para tetangga dan masyarakat sekitar. Pohon delima yang terlihat bergerindil di beberapa sudut tampak seperti jari-jari makhluk tak kasat mata saat malam tiba.

Cahaya lampu jalanan yang redup dan jarang.

Sedang Shanum menatap nanar dari kejauhan, dia tak pernah mendatangi rumah itu sekalipun telah memohon pada bibi Ley. Ley adalah sahabat ibunya yang telah menjaga dan membesarkannya setelah Rin meninggal. Shanum tak ingin mengambil resiko namun teka-teki tentang dirinya dan kehidupan ibunya sebelum dia lahir sangat mengusik pikirannya, semakin dia pikirkan semakin mencabik-cabik perasaannya.

Penjelasan Ale tentang makhluk Emerald masih mengambang dalam sel-sel kepalanya, keadaan percaya dan setengah tak percaya mengharuskan dia mencari jawaban yang lebih jelas, serta satu-satunya jawaban yang tersisa adalah mungkin saja berada di rumah itu.

Shanum memantapkan langkahnya kemudian tersenyum pada Ale untuk saling menguatkan.

Shanum menggenggam erat tangan Ale saat mereka memasuki pekarangan rumah yang luas, celah-celah rumah yang ditumbuhi lumut dan semak menjadikannya tampak seperti rumah penyihir dari kejauhan, serta pohon-pohon besar tak terurus seakan menghimpit rumah itu, cat putih yang dipertahankan rumah itu kini berubah menjadi hijau kecoklatan dipenuhi lumut dan berbau tanah.

Shanum tertegun menyaksikan buah-buah delima segar dihadapannya.

Ale menekan lengan Shanum dengan pelan, pertanda jangan mendekati buah delima itu, Ale tak ingin terjadi apapun pada Shanum.

Disusurinya setiap jengkal halaman rumah itu, tak ada yang begitu istimewa dan menarik perhatian Shanum selain buah delima tadi, perasaan haus dan keinginannya memakan buah delima itu semakin besar disaat kakinya mulai kelelahan mengitari halaman luas itu.

"Aku hanya ingin mencobanya satu, tidak akan terjadi apapun, pohon itu milik ibuku dan tidak mungkin menyakitiku" Shanum memohon pada Ale dan meyakinkan Ale pada sesuatu yang belum tentu benar.

"Hanya satu, berjanjilah" Ale memberi Izin meski perasaannya tidak menentu.

Satu buah segar dan manis, saat bulir-bulir delima masuk kedalam mulut Shanum, rambut dan dan matanya berubah menjadi perak. Ale terkejut bukan main. Sesuatu yang buruk akan menimpa Shanum.

"Ada apa Le" Shanum mendekati Ale yang menghindar beberapa langkah dari Shanum, tidak perubahan apapun lagi selain rambut dan mata Shanum. Ale berjalan mendekat kembali sembari menyentuh rambut Shanum.

"Rambutmu berubah menjadi perak" Ale terbata-bata.

Shanum meraih rambutnya dengan cepat, disentuhnya dari pangkal hingga ujung, jantungnya berdebar berat. napasnya terburu-buru.

"Apa yang harus kulakukan ?" Shanum mengguncang-guncang tubuh Ale yang tampak masih tertegun.

"Alasan besar kita kesini adalah mencari jawaban, setelah dari sini kita akan pikirkan cara mengembalikan warna rambut aslimu" Ale mencoba menenangkan meski dirinya sendiri pun tak tenang.

Pintu yang tertutup rapat namun tak terkunci itu memudahkan Ale dan Shanum membukanya, hanya satu dorongan lambat dari tangan Shanum yang memegang gagang pintu, rumah itu sudah terbuka lebar di hadapan mereka.

Ale menggerakkan bibirnya pelan seakan membaca sebuah doa dan mantra, beberapa saat kemudian beberapa hewan dari kaum merah keluar dari rumah itu.

"Apa yang kau baca ?" Shanum bergidik melihat pemandangan di depannya.

"Hanya mantra agar kita tak diganggu makhluk lain" Ale mengencangkan cengkraman tangannya pada lengan Shanum.

Buku-buku tua berjajar rapi dan beberapa tidak berada pada tempatnya, tergeletak bahkan bertumpuk memenuhi sudut ruangan, tidak ada foto satupun atau sketsa wajah dari kedua orang tua Shanum membuat dia menahan rasa kecewanya.

Perasaan aneh menjalari sekujur tubuh Shanum saat menyenggol sebuah buku besar dan berjamur di atas sebuah meja yang sama persis warnanya. Kepalanya berkunang-kunang pertumpahan darah jelas di hadapannya, seseorang yang tampak mengerikan memotong lengannya sendiri dan menumpahkan pada perut seorang perempuan yang mengerang kesakitan.

"Anakmu akan menjadi pengikutku bahkan memiliki darah sepertiku" Lelaki itu tertawa begitu keras

"Tak akan kubiarkan" Seorang lelaki tampak wajar dan kelelahan ikut memotong tangan nya juga untuk menghapus darah dari lelaki mengerikan itu.

"Darahku telah mengalir pada anakmu, tidak akan ada yang berubah" Lelaki itu pergi dengan mulut yang terbuka lebar.

"Kau bisa bangun Rin ?" Suara lelaki itu tertahan menyakitkan.

"Yah" Erangan kecil namun meremas telinga.

"Kita harus cepat, sebelum Rog mengambil buah suci di Emerald"

"Aku tidak bisa pergi dari sini, rasanya sebentar lagi aku akan melahirkan" Suara perempuan itu mengerang kesakitan.

Suara bayi yang memekakkan telinga mengundang para kaum untuk datang memberkati, bayi itu bukanlah bayi sembarangan, suaranya dapat meluluhkan setiap kepala kaum yang melihatnya.

"Aku akan memberkatinya dengan darahku" Goza memberi setetes darah hitamnya pada bayi mungil itu yang tampak disambut dengan baik.

"Aku pun akan memberkatinya dengan darahku" Lrey memberi darah birunya kepada bayi perempuan itu.

Pertemuan antara Rin, Goza dan Lrey membuka luka lama yang terkuak akibat perbuatan kejam kaum merah pada kaum Emerald.

"Dia datang menghujani perutku dengan darah pada lengannya yang sengaja ia tebas demi dalam darah anakku mengalir darah dan kekejamannya" Rin berkata dengan menahan air matanya yang ingin tumpah.

"Itu tidak akan terjadi, kami telah memberkati anakmu, darahnya tidak akan mengusik apapun" Goza mencoba menenangkan.

Rog telah sampai ketempat bunga suci para kaum, senyum nya mengembang sebab sebentar lagi anak penerus Emerald akan menjadi pengikutnya, desas desus kelahiran bayi Emerald dan manusia yang diberkati para kepala kaum menjadi perbincangan hangat dikalangan antar kaum. Rog mengibaskan sayap nya dengan kasar, amarah membuncah di dadanya.

"Tidak akan kubiarkan"

Rog kembali pada malam hari mendatangi Rin dan Loa yang tertidur pulas, di hunuskan pedangnya tepat pada dada Rin dan Loa, keadaan itu terlihat jelas dimata Shanum.

Shanum bergidik menahan amarahnya, urat lehernya mengencang ingin menebas kepala lelaki mengerikan itu, namun tidak ada yang dapat dia lakukan, bayangan kejadian itu hilang ditelan kegelapan.

"Shanum, kau baik baik saja ?" Ale memastikan tidak terjadi apapun pada Shanum, "Matamu memerah, kau lihat apa ?" Ale memegang wajah Shanum yang diambang kesadaran.

"Sepenggal kejadian, aku sekarang tahu penyebab orang tuaku meninggal" Shanum mengencangkan kepalan tangannya, rasa dendam memenuhi rongga dadanya.

Ale yang melihat kejadian itu bergidik ketakutan. Shanum tidak pernah semarah itu, rambut peraknya memenuhi kepalanya, sedang matanya mengkilap dengan cahaya yang sama dengan rambutnya.

"Jangan gegabah, kau tidak tahu hal apa yang ada di depan matamu" Ale memperingatkan Shanum, Sedang Shanum menahan amarahnya yang terasa mengoyak jantungnya.