Rak kayu yang telah dipernis rata begitu mengkilap, membuat siapapun yang melihatnya tak akan mengalihkan pandangan kemudian menghasilkan decak kagum yang tak henti-henti. ruangan demi ruangan dipenuhi perkakas kuno dan antik membuat kesan rumah itu terlihat tua namun tampak berkelas, segala yang tampak di atas meja tersusun rapi dan senada.
Robby sedang memandikan istrinya yang sekarat, perempuan itu tak bernyawa, daging terakhir pada tubuhnya sebentar lagi terlepas. Terry istrinya telah lama meninggal namun hasrat besar dan cintanya tak merelakan Terry pergi dari pengawasannya.
Roby bersenandung kecil mengutarakan kesenangan kecilnya pada Terry ,meski ada beberapa penyesalan yang mencabik-cabik dadanya, betapa ia menyesal tidak melakukan hal-hal kecil dengan kesenangan besar tatkala istrinya masih hidup, namun perasaan itu tertutup hari ini, perayaan hari peresmian mereka menjadi sepasang suami istri yang telah dimulai dua belas tahun silam.
"Kau tahu hari ini aku mendapat jackpot di kampus" Senyumnya mengembang begitu lebar hingga mukanya mengkerut. "Kau tak perlu tersenyum sayang" Roby mengelus lembut tengkorak istrinya yang masih utuh, kengerian yang terlihat akan membuat siapapun bergidik jika berada di tempat itu.
"Kau tahu anak nakal yang bernama Rasta, dia tak lagi mengusikku" Perubahan pada wajah Roby terlihat jelas kulit dan urat-uratnya berubah menjadi merah saat membahas tentang Rasta.
Bukan pernyataan salah Rasta mengungkap identitas dengan gamblang di kampus, namun cara Rasta yang tidak memiliki rasa hormat menjatuhkan harga diri Roby di depan mahasiswa lain, meski Rasta memiliki status yang lebih tinggi dari kaumnya, akan tetapi Roby tak jauh lebih kuat dari Rasta. Namun permintaan Terry sebelum meninggal mengingatkan dia pada janji-janji yang harus dia tepati. Banyak hal yang tidak dapat di lakukan oleh Robby, mengingat begitu banyak pula yang dilakukan Terry untuk dapat bersamanya.
Kehilangan Terry sebagai tempat berlindung dan berkeluh kesah menghilangkan rasa peduli di rongga dadanya, dia tak ingin disebut tamak ataupun perkataan yang memaknai hal serupa, namun baginya dia tak dapat bertahan hidup jika Terry tak ada lagi disisinya, meski hanya berupa tulangnya belulangnya saja. Robby memandang getir ke asrah Terry, rasa cinta nya masih tetap sama dan terus bertambah seiring berjalannya waktu, keadaan yang membuat Robby sangat tersiksa namun begitu dia masih bisa menikmatinya sebab itu karena terry bukan perempuan lain.
Robby mengangkat gelas menyilangkan lengannya pada tengkorak Terry dengan kebahagiaan yang ditularkan lewat segelas wine di genggamannya. "Mari kita menikmati hari ini sayang" Roby mengecup lembut dahi Terri yang tak memiliki daging lagi.
Roby mengingat kembali masa-masa dimana dia dapat jatuh hati pada gadis manusia yang ditemuinya di hutan, gadis yang menangis tersedu-sedu, berlari sepanjang jalan semak mencari arah pulang membuat Roby terenyuh. Diraihnya tangan gadis itu dan diantaranya pulang menuju rumahnya. Namun tak selesai, gadis itu memeluknya dengan erat dan mengecup keningnya sembari mengaitkan kalung miliknya ke leher Roby yang berwujud setengah iblis itu. Rasa dicintai dan memiliki yang begitu besar membuat Roby tak bisa menjauh dari Terri, sehari dalam sepekan mereka akan bertemu di hutan itu, membicarakan banyak hal kemudian berlari menerjang hutan dan tertawa lepas.
Kehidupan indah yang dilalui Roby dan Terry harus terenggut akibat cinta mereka yang salah, para petinggi kaum merah tak menginginkan kesalahan itu terjadi, bagi mereka kaum manusia adalah bawahan dan sepantasnya menjadi pendamping.
Roby menghentakkan gelas yang ada di tangannya pada bathtub yang berisi air mawar dan tulang belulang Terri, mengeluarkan suara keras dan berantakan membuat tangannya terluka akibat amarahnya sendiri.
"Tak perlu khawatir sayang sekarang tak akan ada lagi yang mengusik kita" roby membersihkan bekas tumpahan wine dan gelas yang pecah dengan saputangan miliknya yang meninggalkan aroma sedikit asam memenuhi ruangan luas itu. Diraihnya kembali jari-jemari Terri dan mengecupnya dengan penuh perasaan.
Lima tahun menjalani kehidupan tanpa suara dan ocehan Terri menghilangkan separuh memori Roby tentang bagaimana gadis manis itu berubah menjadi wanita dewasa yang pemarah, umpatan yang sering keluar dari mulut Terri membuat Roby kewalahan dengan amarahnya sendiri, seringkali dia ingin melampiaskan pada Terri kekesalannya dengan sekedar hardikan keras namun sinyal tubuhnya melemah saat berhadapan dengan perempuan itu, hingga saat perpisahan itu terjadi roby mengerti banyak hal mengapa Terri berubah sedemikian rupa, cacian dan umpatan dari lingkungan sekitar, bahkan Terri dan Roby tak bisa dikarunia anak akibat kutukan dari raja kaum merah, keadaan yang menyudutkan Terri di semburkan kembali pada Roby.
Penyesalan terbesar yang diderita Roby membuat setiap hari yang dilaluinya mengalami keterpurukan dan ketidakpastian.
Sebuah gaun yang dipesan untuk istrinya Terri tampak mengerikan, gaun dengan cincin-cincin yang saling bertautan terlihat seperti pakaian perang istana yang didesain khusus menyelamatkan sang selir.
"Kau akan terlihat lebih cantik dengan gaun ini sayang" Robby menyandingkan gaun yang dipegangnya dengan mempertimbangkan kecocokan tubuh istrinya pada gaun itu." Sepertinya gaun ini masih sedikit kebesaran untukmu" Roby mengangkat perlahan tulang Terri, dan meletakkannya kembali dengan hati-hati. "Aku akan membawanya kembali" Roby berlalu meninggalkan Terry.
Sebelum segalanya semakin menjengkelkan, Robby mendatangi tukang jahit yang ada di depan rumahnya, dia kelihatan tidak sabar.
"Bagaimana mungkin baju ini masih sangat kebesaran untuk istriku, aku sudah memintamu menjahitnya dengan ukuran sangat kecil dan langsing " Suara Robby membesar kemudian tertahan di tenggorokannya terdengar seperti seseorang yang sedang menahan satu pukulan pada perutnya.
"Aku telah menjahit dengan ukuran pinggang anak-anak, apakah istrimu tengkorak ha !" Penjahit itu menghardik balik, perasaan lelah dan tumpukan pekerjaan di hadapannya membuat dia mempertahankan setengah kewarasannya. Robby yang mendengar ucapan itu melempar beberapa jarum dan peniti yang berada di atas meja penjahit itu kemudian berlalu pergi, dengan amarah yang tertahan.
Robby menatap nanar ke arah istrinya, sambil berkata dengan pelan " Maafkan aku Terry, sampai detik ini aku belum mampu membahagiakanmu" air matanya tertahan di antara sekat tenggorokannya.
Terry tetap saja mempertahankan posisinya yang setengah tenggelam di Bathtub berisi air dan bunga, jika kejadian itu terjadi pada saat Terry masih hidup mungkin saja Terry akan mengerang kesakitan disebabkan tulang lehernya yang mengganjal.
Dibiarkan tulang Terry kedinginan, rasa kesal bercampur kesedihan terlihat jelas pada wajahnya. Kali ini dibukanya monitor di hadapannya sebelum terlambat dia menekan-nekan mouse yang tidak juga berfungsi, rasa kesalnya bertambah, kini memuncak dan membuncah.
"Sial ! aku hanya ingin terhubung ke jaringan" Robby melempar mouse yang ada di hadapannya tepat hampir mengenai Terry. Kemudian dia berjalan mendekat dan memohon pelan pada Terry "Maafkan aku, hari ini belum terlambat akan kucarikan gaun yang pas untukmu di internet".