"Menjalani takdir yang telah digariskan the Moon Goddes. Hanya itu satu-satunya hal yang harus kau lakukan. Kau harus membayar semua pelanggaran yang dilakukan ibumu. Seharusnya dia bisa bertahan menjadi mate dari seorang Alpha. Namun dia mengabaikan dan tidak peduli pada takdirnya sendiri. Ingat selalu Eve, jangan pernah berpikir untuk menghindar!"
"Jika kau mencoba menghindar, kau tidak punya pilihan lain selain takdir buruk yang akan menimpamu di masa depan!"
Eve merenungi kalimat panjang yang diungkapkan Robert sepanjang malam. Ia tak bisa memejamkan mata karena kantuk tak kunjung menyerang. Samar terdengar lolongan serigala di bawah sinar rembulan yang terlihat dari jendela. Eve bergidik. Memperhatikan setiap inchi tubuhnya yang entah kapan akan berubah.
***
"Kau sudah memberitahunya?" tanya Noah pada Robert yang berkunjung ke kamar tempat ia beristirahat.
Robert mengangguk sembari meremas jari-jemarinya sendiri.
"Terimakasih, Robert. Sampai kapanpun aku tak akan sanggup melakukannya."
"It's okay, Noah. Aku yakin Eve akan baik-baik saja dengan semua ini. Dia hanya perlu menenangkan diri untuk sementara waktu," tukas Robert.
Noah mengangguk dan tersenyum. Seolah semua beban dalam dirinya terangkat ke permukaan.
"Tolong jaga Eve untukku, Robert. Aku mengandalkanmu," ucapnya lantas kembali memejamkan mata.
Robert seolah paham fase apa yang sedang Noah hadapi sekarang. Namun ia memilih bungkam. Membiarkan Noah melewati fase paling menyakitkan dalam ujung kehidupan manusia itu dengan cara paling tenang. Iya, Noah telah menghembuskan nafas terakhirnya ketika mengucapkan pesan untuk Eve barusan.
"Aku akan berusaha semampuku, Noah. Kau bisa mengandalkanku," lirih Robert dalam keheningan.
***
"Eve... kau harus menolongku."
Suara kesakitan itu terus terdengar dari telinga Eve. Sehingga membuatnya menutupnya erat dengan kedua tangan. Sementara kaki telanjangnya terus melangkah tak kenal arah. Semakin lama suara parau itu terdengar semakin jelas dan semakin banyak. Seolah seseorang sedang meneriakinya dari berbagai sisi.
Eve lantas berlari dengan mata terpejam dan telinga tertutup. Rumput basah yang tadi ia jejak perlahan berubah menjadi tanah basah berlumpur. Langkahnya terseok-seok, membuat Eve terpaksa membuka mata. Ia pun beruntung, karena suara desau parau itu telah menghilang dari gendang telinganya.
Namun yang ia hadapi di depan ternyata lebih mengerikan. Eve kini sedang berada di tengah hutan pinus yang basah. Sendirian dalam ngerinya malam.
BAMMM.
BAMMM.
BAMMM.
Entah dari mana asalnya, puluhan bahkan ratusan serigala berkeliling mengitari dirinya. Eve terjebak. Hanya ia sendiri yang berwujud manusia. Sementara erangan dan lolongan serigala-serigala itu terus memekakkan telinganya. Bahkan jantungnya hampir terlonjak keluar karena terus berdegup kencang menahan rasa takut. Apakah ia akan mati di tangan serigala-serigala itu?
Bahkan satu kata pun tak mampu terucap dari bibirnya. Kelu.
Perlahan, dengan gerakan cepat serigala-serigala itu memacu langkah seolah hendak menerkam tubuhnya. Namun yang terjadi ternyata di luar dugaan. Mereka malah saling menerkam, menyerang satu sama lain. Eve merasa lega sekaligus kebingungan. Eve harus melangkah pergi, namun jangan sampai membuat mereka menyadari kepergiannya.
"Eve... kau harus menolongku."
Suara parau penuh rasa sakit itu kembali terdengar. Eve terperangah. Hampir tak percaya. Bagaimana bisa ia mendengar suara memilukan itu lagi, di tengah situasi seperti ini.
"TIDAAAAAAAKKKK!"
"Eve? Kau tidak apa-apa? Sadar lah!"
Melissa mengguncang-guncang tubuh yang berkeringat dingin. Terutama keningnya, penuh oleh keringat. Namun matanya masih terpejam. Melissa menduga jika Eve mengalami mimpi buruk. Sehingga membuat gadis belia itu berteriak sekencang ini di pagi buta.
"Eve? Ev...."
Melissa memotong kalimatnya sendiri. Karena Eve telah sadar dari mimpi buruknya. Terbangun dengan perasaan tak menentu.
"Eve? Kau baik-baik saja?" tanya Melissa lembut.
Eve bangun perlahan. Kemudian mengambil posisi duduk dengan selimut masih menutupi setengah tubuhnya. Ia lantas mengusap wajahnya yang basah karena keringat. Suara memilukan di dalam mimpinya tadi masih terngiang. Namun ia harus segera menyadarkan diri. Ia tak ingin Melissa khawatir padanya.
"I-iya, Melissa. Jangan khawatir, aku baik-baik saja." Eve mencoba tersenyum dengan natural. Walaupun bagi Melissa senyumannya tentu saja gagal.
"Baiklah, bersiaplah. Kami tunggu di meja makan," ucap Melissa lantas menepuk bahu Eve dan keluar dari ruangan tersebut.
"Bagaimana kita akan menjelaskannya pada Eve?" tanya Melissa saat bertemu Robert yang telah lebih dulu berada di meja makan.
"Tidak ada yang perlu disembunyikan. Eve sudah dewasa. Bahkan seharusnya lebih dewasa dari kita," tukas Robert yang menyiapkan roti panggang di masing-masing piring.
Melissa menghela nafas yang terasa berat. Lantas mengambil kursi di samping Robert. Bagaimanapun juga apa yang dikatakan suaminya memang benar. Cepat atau lambat Eve akan menghadapi semuanya. Dia harus menjadi werewolf girl yang kuat. Karena suatu saat nanti ia pasti akan berjuang sendiri.
Berselang kemudian Eve keluar. Robert dan Melissa tahu jika ia sedang berusaha bersikap baik-baik saja.
"Aku tak sanggup, honey. Aku tak akan sanggup menyaksikan kesedihan Eve," desis Melissa.
Robert tak mengatakan sepatah kata pun. Ia hanya mengelus punggung tangan istrinya itu dengan lembut. Agar ia bisa bersikap tenang dalam situasi ini.
"Daddy belum keluar?" tanya Eve lantas melihat ke arah ruangan tempat Noah beristirahat. Ia baru menyadari jika keberadaan Noah ternyata tak di sana.
"Apakah ia masih sakit? Aku ingin melihatnya."
"Tidak, Eve. Daddy-mu baik-baik saja. Hanya saja dia ingin istriharat saja sekarang," imbuh Robert.
Eve lantas mengurungkan niatnya menuju kamar Noah. Terpengaruh oleh kalimat Robert, ia akhirnya memutuskan untuk bergabung bersama Robert dan Melissa.
'Maafkan aku, Eve. Setidaknya kau harus mengisi sedikit tenaga sebelum kesedihan menggigit tubuhmu hingga membuatnya tak berdaya,' batin Robert. Lagipula ia sama sekali tak mengatakan kebohongan. Noah memang sedang beristirahat, namun untuk selamanya.
Sehabis sarapan, Robert dan Melissa sepakat untuk membiarkan Eve melihat keadaan Noah. Mereka tak mungkin menyembunyikan fakta tentang kematian ayahnya.
"D-dad?" lirih Eve.
Pagi-pagi sekali, Robert dan Melissa telah menyiapkan pakaian terbaik untuk Noah dan telah membaringkannya di atas peti. Sebentar lagi beberapa petugas akan datang untuk mengkremasi tubuhnya.
"NOOOOOO!"
Eve berteriak histeris. Air mata tumpah dari kedua sudut matanya. Dia tak bisa melakukan apapun selain memeluk tubuh dingin dan kaku Noah.
"Kenapa kau meninggalkanku di saat aku butuh padamu, Dad?" sesungguk Eve.
"Kau tahu... aku ketakutan. Sangat ketakutan. Seharusnya kau memberitahuku sebelum akhir hidupmu lebih dekat. Mengapa sekarang? Lantas apa yang harus kulakukan dalam kesendirian dan ketakutanku?"
"Daaaaaddd! Kau harus bangun! Bangunlah Daddy! Tidaaaaakk jangan tinggalkan aku...."
Eve tak bisa menahan diri. Ia hampir saja mengamuk dalam kalut kesedihan karena kehilangan satu-satunya harta berharga yang ia miliki. Namun beruntung Melissa berhasil menenangkannya. Gadis itu lantas tersedu dalam sesengguk yang tak terputus dalam pelukan Melissa.
"Aku dan Robert akan menjagamu, Eve. Kau akan baik-baik saja bersama kami," ucap Melissa bergetar. Ia mengusap lembut kepala Eve yang tersembunyi di dalam pelukannya.
Namun Eve bahkan tak bisa mendengar dengan baik apa yang Melissa katakan. Pikiran dan tatapannya kosong. Entah bagaimana ia akan menjalani hidup setelah ini. Perasaan sedih yang ia rasakan sekarang, jauh lebih buruk daripada mimpi buruk yang semalam mengganggu tidurnya.
***
Bersambung.