"Tidaaaaaak! Jangan kejar aku!"
"Pergi kalian! Menjauh dariku!"
Eve terus menerus berteriak seraya berlari sekencang mungkin. Ia tak sadar telah meninggalkan Jack dan teman-temannya yang sekarang merasa sangat kebingungan. Terutama Jack, ia kecewa berat. Ia baru saja ditolak seseorang yang paling ia inginkan selama ini.
Ini adalah pertama kali dalam hidup Eve mengalami kejadian semengerikan itu. Ia tak bisa mengendalikan pikirannya. Bahkan ia tak sadar telah terpisah jauh dari perkemahan.
TIIIITTT TIIIIIIIIIIIITTTT.
Bunyi klakson dan cahaya lampu mobil menghentikan langkahnya. Eve ambruk di tengah jalan hutan yang gelap.
"EVE!"
Noah berteriak kencang ketika menyadari jika seseorang yang hampir ia tabrak barusan adalah putrinya sendiri. Namun di satu sisi ia bersyukur karena menemukan Eve di sini.
'Tapi apa yang sedang dilakukannya di sini? Dimana teman-temannya?', batin Noah.
Eve pingsan. Entah karena lelah berlari atau karena guncangan jiwa akibat penglihatan aneh tadi yang mendadak membuatnya shock berat.
***
"Daaadd....!"
Eve langsung berhamburan memeluk Noah sangat erat, ketika pria tua itu masuk dengan tergopoh mendengar teriakan putrinya.
"Hey, sadarlah sayang. Tell me. What's going on?" Noah mengelus punggung Eve. Mencoba memberinya rasa tenang.
Eve masih saja tergugu dalam rasa takut. Kilatan cahaya serigala-serigala itu sangat mengerikan. Seolah-olah ingin menerkamnya hidup-hidup. Eve bingung bagaimana harus menceritakannya pada Noah. Karena ini semua hanya penglihatannya saja. Namun terasa sangat nyata.
"Apa yang terjadi denganmu di sana sayang? Apa teman-temanmu menyakitimu?"
Eve menggeleng kuat. Dia tak bisa melupakan bayangan menyeramkan itu. Bahkan dalam mimpi pun, ia bisa melihatnya kembali.
Suhu tubuh Eve terasa sangat dingin. Keringat dingin bercucuran dari pelipisnya. Sementara AC di ruangan ini cukup hangat. Noah menuntunnya agar duduk di atas ranjang.
"Ceritakan pelan-pelan, sayang. Daddy akan mendengarmu," bujuk Noah.
Pikiran Noah tak buruk. Mengingat kondisi tubuh Eve yang baik-baik saja dari ujung ke ujung. Hanya saja ia ingin memastikan semuanya.
"Biar aku sendiri, dad," cegah Eve saat Noah mengusapkan tissue ke wajah Eve yang penuh peluh bercucuran.
"Kau mungkin tidak akan percaya jika aku mengatakan apa yang semalam menimpaku," ucap Eve lagi. Terbata.
"Aku akan percaya apapun yang kau katakan, sayang."
Noah masih bersikap tenang. Yang penting baginya sekarang adalah Eve mau menceritakan semua yang telah terjadi. Jika ini semua ada hubungannya dengan apa yang tersimpan di dalam hutan forks, maka dia tak akan menunggu waktu lama untuk segera melakukan tindakan menyelamatkan sang putri.
"Aku...." Eve akhirnya mengalah. Ia menceritakan semua yang ia lihat semalam. Bagaimana kilatan cahaya di kedua mata serigala itu pada akhirnya membuatnya segera berlari kencang. Menjauh dari tempat itu. Bahkan ia melupakan Jack yang pasti merasa sangat kecewa saat ini.
"Bersiaplah. Kita akan pindah hari ini," ucap Noah setelah mendengar cerita Eve.
"Pindah lagi? Entah sudah berapa kali kita melakukannya, dad?"
Noah tak memperdulikan protes Eve atas keputusannya. Kali ini gadis itu tak bisa menerima dengan mudah meskipun Noah beralasan semua demi kebaikannya. Tidak seperti saat-saat sebelum ini. Ia pasti hanya menurut tanpa banyak memberi komentar. Semua itu karena di tempat ini Eve benar-benar merasakan kehidupan yang sesungguhnya. Ia bisa kenal dengan banyak teman dan tetangga sekitar.
"Kau masih memikirkan pria muda itu?" tanya Noah tiba-tiba, saat Eve bersungut kesal membantunya mengemas barang-barang.
Dahi Eve mengerut. Tentu saja ucapan Noah benar. Tapi itu menyinggung perasaannya. Karena ia merasa Noah telah mengekang kebebasannya selama ini.
"Dad, selama ini aku selalu menuruti keinginanmu. Tak bisakah sekarang Daddy yang menuruti keinginanku?" Eve terlihat sangat emosional.
"Lupakan apa yang sekarang ada dalam imajinasimu, Eve. Kau tidak ditakdirkan berada di tempat ini...." Noah tercekat hingga memmotong ucapannya sendiri. Dia hampir saja membocorkan rahasianya sendiri. Namun jika memang itu adalah takdir bagi Eve, mengapa ia perlu merahasiakannya terus menerus?
"Takdir? Takdir apa maksud Daddy?"
"Kita tidak punya banyak waktu. Cepat lah! Kita harus pergi sebelum petang," seru Noah. Tak peduli pada ekspresi Eve yang campur aduk.
'Tidak. Belum waktunya Eve mengetahui semuanya,' batin Noah.
Meskipun terus bersungut kesal. Eve tetap bergerak membantu sang ayah. Semarah apapun, ia tak sanggup membiarkannya mengerjakan segala sesuatu sendirian. Eve malah merasa tubuh Noah semakin hari terlihat semakin lemah dan ringkih. Seolah termakan usia.
Uban di kepala Noah juga semakin memutih. Apalagi kerutan di sekitar wajah bahkan seluruh permukaan kulit tubuhnya. Sementara dirinya tetap terlihat seperti ia masih berusia lebih muda dari sebelumnya.
"Katakan padaku, dad. Apa yang sebenarnya terjadi?" Eve memberanikan diri menanyakan perihal ucapan Noah yang masih memenuhi pikirannya.
Noah tak bergeming. Ia fokus menyetir, pandangannya tertuju pada jalanan yang lengang. Hari baru saja petang. Langit masih berwarna merah jingga. Mereka hampir sampai ke tempat tujuan.
"Dad, please... kau ingin membuatku mati penasaran?" Eve mengeluarkan jurus terakhirnya. Memperlihatkan wajah imut pada Noah.
Noah masih tak bergeming. Semakin Eve berbicara tentang mati, justru ia merasa sedih. Seolah kematian sangat dekat di depan matanya, dan ia tak bisa lagi melihat bagaimana Eve menjalani hidup. Ia tak sanggup membayangkan jika sang putri harus hidup dalam kesendirian. Apalagi ketika nanti ia akan dihadapkan pada takdir yang sudah ditetapkan menjadi miliknya.
"Kita sudah sampai," seru Noah lantas memarkir mobilnya di depan sebuah rumah yang terlihat sangat kuno.
Eve menggeleng, kemudian mengendikkan kedua bahu. Menyerah. Tak tahu bagaimana lagi cara membuat sang ayah bicara jujur. Daripada berdebat, ia lebih memilih mengikuti kemana arah langkah kaki Noah saat ini.
'Tok tok tok.'
Pria tua itu mengetuk pintu rumah dengan beberapa kali. Sementara Eve memperhatikan sekeliling. Rumah dan daerah yang dituju Noah saat ini sungguh berbeda dengan yang sebelum-sebelumnya. Ini adalah rumah yang terletak di hutan kecil pinggiran kota. Tidak seperti biasanya, Noah pasti akan memilih daerah yang sangat jauh dengan suasana hutan. Hingga seusia ini Eve tak pernah tahu apa tujuan Noah yang sebenarnya.
"Mengapa tempat tujuan kita kali ini berbeda, Dad?"
"Semua pertanyaan yang ada di dalam benakmu akan segera terjawab, sayang," tukas Noah. Menatap lamat pada Eve yang hampir tak percaya jika Noah kembali membuatnya penasaran.
Eve hampir meluncurkan pertanyaan lagi, namun sang empu rumah tiba-tiba membuka pintu untuk mereka.
"Sebentar, N-Noah? K-kau kah itu?"
Noah mengangguk seraya tersenyum semringah. "Yeah... ini aku, Robert. How's life?" serunya.
Tanpa ragu, Robert lantas merangkul Noah erat. Seperti dua kawan yang baru saja kembali dipertemukan. Namun hal tersebut terlihat aneh bagi Eve, karena jarak usia mereka yang kelihatan sangat jauh berbeda.
"Apakah ini Eve?" tanya Robert ketika melihat Eve setelah melepas rangkulan singkat Noah.
Noah mengangguk takzim. Mimik wajah yang tadi semringah mendadak berubah menjadi sendu.
"Kurasa sekarang sudah waktunya, Robert."
Eve menatap bingung pada Noah dan Robert. Ia sama sekali tak mengerti apa yang sedang terjadi saat ini.
***
Bersambung.