"Jack, kita akan kemana?"
Eve mengenakan penutup mata sembari terus berjalan ke dalam hutan, dituntun oleh Jack, siswa laki-laki yang satu bulan terakhir dekat dengannya. Pria itu populer dan tampan. Sejak masih di kelas delapan, Eve selalu menolak dan menghindar. Namun entah kenapa kali ini Eve akhirnya luluh dan membiarkannya selalu berada di dekatnya.
"Sabar sebentar, Eve. Aku jamin kau pasti akan menyukainya," bisik Jack. Senyuman terkembang manis di wajah tampannya.
Eve pun balas tersenyum mendengar penuturan Jack. Ini adalah pertama kali dalam hidupnya ketika bisa keluar bersama teman-temannya, bahkan bersama seseorang yang saat ini dekat dengannya. Setelah sekian belas tahun hanya terbelenggu bersama Noah.
Entah kenapa Noah selalu melarangnya dan entah mengapa juga ia hanya bisa menuruti apa yang dikatakan Noah. Sebagai remaja yang terlahir di negara barat, Eve sungguh jauh berbeda dari remaja kebanyakan. Sangat bertentangan dengan kebiasaan pada umumnya. Ketika teman-teman sebayanya dengan mudah memberontak orangtua mereka saat keinginan mereka tidak terpenuhi. Bahkan dalam usia seperti itu mereka sudah bisa bebas menentukan pilihan hidup.
Eve tak mengerti. Namun ia sangat menghormati dan mencinta sang ayah. Seolah-olah ia hanya gadis kecil yang baru berusia dua belas tahun. Ya, pikiran dan perasaannya sering berasumsi seperti itu.
"Tada... sudah sampai," ucap Jack lantas melepaskan penutup mata di wajah Eve. Mengaburkan ingatan Eve yang barusan muncul sekelebat begitu saja.
"Woww!"
Eve mengatupkan kedua tangan di depan mulut yang sontak menganga saat melihat pemandangan di depannya. Lampu-lampu lampion terpasang berselang seling di antara ranting-ranting pohon tua dan melilit batang raksasa yang pasti berusia sangat tua. Di ujung hiasan lampu-lampu tersebut, ada karangan bunga Magnolia kecil berwarna broken white yang tertata begitu cantik.
"Bagaimana? Benar kan dugaanku, jika kau pasti akan menyukainya?" Jack terlihat bertanya dengan malu. Wajahnya bersemu kemerahan.
Eve tak bisa menyembunyikan perasaannya. Ya, dia memang sangat menyukai hal ini.
"Haha. Bagaimana kau tahu jika aku menyukai bunga Magnolia?" Eve tertawa renyah. Kemudian menghirup aroma harum bunga berkelopak lebar tersebut.
Eve sangat yakin, dia tidak menceritakan kesukaannya pada siapapun. Bahkan pada Noah. Hanya saja pernah suatu kali sekolah mereka mengadakan penanaman bibit pohon di sebuah daerah gersang. Saat itu Eve memilih membawa bibit bunga Magnolia yang jauh-jauh didatangkan dari Amerika Utara.
'Apakah Jack juga memperhatikanku saat itu?' batin Eve.
"Kau adalah gadis keras kepala yang membuat semua orang saat itu berdecak kagum," lontar Jack.
Eve mengendikkan bahu tak mengerti. "Just tell me clearly, Jack," serunya dengan tawa renyah.
"Hey, kau tidak ingat saat sebagian besar orang mencemoohmu saat membawa bibit Magnolia itu? Mereka bilang bagaimana sebuah bunga bisa memberi keteduhan di tanah gersang?"
"Aha... aku ingat sekarang," tukas Eve. Mereka lantas saling tertawa satu sama lain.
Eve dan Jack tertawa bukan tanpa alasan. Saat itu, mereka masih kelas delapan. Jack sudah mulai mendekatinya, namun Eve selalu menolak dan menghindar. Bahkan terang-terangan bersikap jutek padanya. Sehingga Jack melampiaskan kekesalannya dengan mengencani Deborah, siswi paling populer di sekolah mereka.
Deborah lah yang paling julid dengan aksi Eve membawa bunga Magnolia. Sehingga jawaban cerdas Eve membungkam mulut pedasnya.
"What a mad. Kita diminta membawa bibit pohon. Kau malah membawa bibit bunga. Bagaimana bisa kau adalah salah satu siswa di St. Petrus?" seloroh Deborah sombong.
Eve tersenyum dan santai menjawab ocehannya, "let me tell you something interesting. Ini memang kelihatan cuma bibit bunga. Tapi asal kamu tahu, ini adalah bibit pohon bunga Magnolia yang terkenal itu. Kau tidak tahu ya? Kasihan sekali. Bahkan usianya jauh lebih tua dari buyutmu!"
Eve terkekeh ketika kembali mengingat momen itu. "Kau tahu, sebenarnya dadaku bergemuruh tidak karuan saat melawan Deborah. Tapi aku kesal sekali. Bagaimana bisa dia sok tahu begitu, sementara Miss Irene saja meloloskanku," serunya.
"Dia memang senaif itu. Aku bahkan langsung menyesal mengencaninya."
"Hey!" Eve menepuk bahu Jack lumayan keras.
"Oke, oke. Aku tidak akan membicarakan hal tersebut," tukas Jack yang masih memegangi perut menahan tawa.
"Sebentar," seru Jack.
Remaja tampan dengan rambut berwarna pirang itu mencari sesuatu di dalam karangan bunga Magnolia besar. Kemudian menekan sebuah tombol seperti sakelar di dekat lampion. Sehingga menimbulkan suara seperti ledakan kembang api.
Riuh. Tiba-tiba gerombolan siswa siswi datang berhamburan membawa balon-balon warna warni. Entah dimana tadi mereka bersembunyi. Jack benar-benar sudah merencakan semuanya dengan baik.
Sekali lagi Eve mengatup tangan di depan bibir. Terkejut kaget. Apalagi surprise yang akan Jack perlihatkan untuknya.
Teman-teman mereka yang tadi Jack panggil kemudian berbaris membentuk sebuah formasi. Lantas mengangkat balon-balon warna warni yang masing-masing dipegang ke depan wajah mereka.
WILL YOU BE MY GIRLFRIEND?
Eve tak pernah menyangka jika formasi teman-temannya beserta balon-balon itu akan bertuliskan kalimat yang ya... kapan saja bisa jadi akan diungkapkan oleh Jack. Namun tak terpikirkan sedikit pun jika ia akan menerima ucapan itu secepat ini.
"Will you be my girlfriend?"
Jack kembali mengulang kalimat tersebut. Pria muda itu kini sedang berdiri di hadapan Eve, hanya sekitar satu meter jarak yang memisahkan mereka. Jack memegangi sebuah buket bunga Magnolia kecil berwarna putih di tangan.
Saat ini Eve hanya bisa terdiam. Meskipun binar matanya tak bisa menyembunyikan perasaan bahagia di hatinya. Gadis cantik ini pikir Jack tak akan melakukan hal seromantis ini. Namun mengingat jika Jack belum pernah menyentuhnya hingga detik ini, Eve bisa tahu jika dia adalah pria muda yang gentle.
"You can take this flower bouqet, if you feel the same with me. But if you're not... kau bisa buang bunga ini di hadapanku," kata Jack. Jantungnya berdebar seketika. Tak menyangka ia akan melakukan tindakan norak ini pada seorang gadis. Padahal sebelumnya hanya tinggal bilang, gadis-gadis yang ingin ia kencani pasti langsung say yes.
Baginya Eve memang berbeda. Kecantikan tidak sama seperti gadis lain yang pernah ia lihat. Ia merasa seolah terserap ke dalam pesonanya. Terutama lensa abu yang membulat terang itu sungguh seperti kilauan kristal di tengah birunya lautan.
"Huffftt... could I...." Eve mendesis. Mencoba menahan perasaannya agar tetap terlihat tenang.
Sementara wajah Jack mulai terlihat pucat menunggu jawaban dari Eve yang tak kunjung melangkah mendekat.
"Okay... let me choose," gumam Eve. Ia mulai mengambil satu langkah dengan gerakan pelan.
Wajah pucat Jack perlahan kembali memerah. Ia merasa percaya diri sekarang. Eve pasti memilihnya. Mencoba meyakinkan diri.
Selangkah, dua langkah, akhirnya tiba lah Eve di hadapan Jack. Gadis berambut panjang bergelombang kemerahan ini tersenyum penuh arti menatap bunga Magnolia yang akan menentukan takdir hubungannya dengan Jack ke depan. Ia sudah mantap dengan pilihannya.
"Okay...," serunya lagi.
Kedua tangan Eve dengan gerakan pelan lantas meraih buket bunga Magnolia itu dari tangan Jack. Yes, dia menerima pernyataan cinta pria muda ini. Namun ketika ia akan mencium kelopak bunga tersebut... tiba-tiba sebuah penglihatan aneh mengaburkan pikirannya.
Gerombolan srigala tiba-tiba menyerangnya dengan membabi buta. Meraung dan melengking dengan buas di hadapan Eve. Namun ada satu srigala berbulu abu mendadak menyerang mereka semua. Kedua maniknya lantas menatap tajam ke arahnya.
BRUUKKK.
Buket bunga Magnolia itu terjatuh dari tangan Eve. Ia lantas berlari kencang menjauhi Jack yang menatap kecewa dan kebingungan.
***
Bersambung.