"Daaaaddd....!"
Eve memekik kesal ketika Noah mengambil alih ponsel yang sedang asyik ia mainkan. Habisnya sudah hampir lima kali Noah memanggil putrinya itu untuk makan malam, tapi dia tak menyahut sama sekali.
"Let see what's going on your phone. Sampai kau cuek sekali pada panggilan Daddy." Noah penasaran. Akhir-akhir ini Eve hampir tidak bisa hidup sedetik pun tanpa ponselnya.
"Nooo!" Eve hampir mencapai ponselnya. Namun Noah berhasil berkelit.
Sebuah obrolan di aplikasi pesan singkat. Ya, Noah menemukan itu. Dan dia tak sengaja membaca selintas isi pesan yang menurutnya wajar dilakukan gadis seusia Eve bersama teman lelakinya. Ya, semoga lelaki. Bukan pria.
"Kau tidak sopan padaku, Dad. This is my own privacy!" Eve bersungut setelah berhasil mendapatkan ponselnya kembali.
Noah terdiam. Hanya memandang kosong ke depan. Sementara Eve sekarang duduk di ranjangnya seraya memeriksa pesan yang baru saja datang.
"Kau mau makan dengan Daddy?"
Eve mendongak. Meski kesal, ia pun merasa bersalah telah berucap kasar pada Noah.
"Yea. But... take time for a while."
Noah berlalu. Ia tidak marah karena Eve sudah mulai mengalami pubertas dan ingin berkencan. Namun ia bersedih karena takdir putrinya tidak sesederhana gadis lain di daerah pesisir pantai ini. Bahkan di dunia.
"Dad... apa kau marah padaku? I am so sorry." Sebuah kalimat terucap dari mulut Eve ketika sekitar lima menit menikmati makan malam, Noah tak bergeming sedikitpun. Dia hanya sibuk dengan cornbread hasil buatannya tadi. Ya, Noah selalu memasak makan malam dan sarapan untuk Eve.
Padahal biasanya pria tua yang telah ubanan ini akan menggoda Eve dengan berbagai ucapan jahil. Semisal meskipun cantik, Eve hanya mandi satu kali sehari. Atau dengan serius Noah akan bertanya tentang pengalaman Eve seharian. Karena hanya pada malam hari lah Noah bisa berbicara dengan leluasa dengan sang putri. Ketika Eve sibuk sekolah dari pagi sampai sore, maka ia juga sibuk bekerja di sebuah perusahaan meubel besar di kota sampai petang.
Noah tersenyum simpul. "There is nothing to say sorry, my dear," ucapnya lantas memandang Eve yang sedang terlihat merasa bersalah.
"So... kenapa Daddy cuma diam dari tadi?"
"Daddy hanya bersedih. Sekarang kau sudah beranjak remaja. Perhatianmu bukan hanya pada Daddy saja. Tapi... sudah beralih pada yang lain." Noah tidak berbohong. Meskipun alasan itu tak membuatnya sesedih alasan sebenarnya.
"Dad...." Eve beranjak dari kursinya, lantas berhamburan memeluk Noah.
"Hey... ada apa sayang? Kenapa malah kau yang bersedih?"
Noah mengelus punggung Eve yang memeluknya penuh sayang. Eve tahu, bagaimana pun pria ini adalah satu-satunya yang ia miliki di dunia. Dia sadar dengan kenyataan itu.
"Aku janji tidak akan cuek padamu lagi, Dad. Kau tidak perlu khawatir akan hal itu." Eve sekarang telah melepaskan pelukannya dari Noah dan beralih kembali ke kursinya.
"Hey... kau tak perlu... but... are you sure? Kau bisa melakukan hal itu?" Noah tersenyum semringah. Berusaha menyembunyikan kesedihan yang tersimpan rapi di hatinya.
Eve mengangguk yakin. "Of course! I will promise you!" ucapnya seraya mengacungkan jari kelingking pada Noah.
Noah hampir tergelak. Sejak kecil Eve selalu melakukan ritual kecil menggemaskan itu ketika ingin berjanji padanya. Meskipun janjinya kadang ditepati, kadang tidak. Tergantung kondisi. Bila tak menepati, ia akan mencari beribu alasan untuk membela diri. Sedangkan bila ditepati, ia akan menyombongkan diri seharian.
Bukan itu alasan sebenarnya Noah hampir tergelak. Melainkan sifat Eve yang sangat mirip dengan mendiang istrinya, Louisa. Dan Noah dengan sabar akan selalu menerima apapun alasan Louisan melakukannya. Mungkin karena kesabarannya itu lah yang membuat wanita serigala bermata abu itu rela meninggalkan kaumnya demi dirinya.
"Huhhh... kau tidak percaya padaku, dad?" Eve meniup anak rambutnya yang mulai memanjang hingga ke atas bulu mata.
Noah tersedak. Ternyata dia ketahuan telah meragukan Eve. "No, sayang. Aku percaya padamu," tukas Noah seraya mengacak rambut di ubun-ubun Eve.
"Okay... promise!" Kini Noah yang mengajukan jari kelingkingnya pada Eve yang terlihat sebal. Dia tidak ingin putrinya merasa sedih.
Eve tersenyum semringah. Kelingking putih pucatnya lantas ditautkan dengan kelingking putih kemerahan milik Noah.
"Oh ya, bagaimana dengan surat izin keikutsertaan untuk kemah musim panas yang tempo hari kuberikan padamu, dad?"
Eve sudah mulai menikmati makan malam yang tersaji di meja. Memasukkan campuran cornbread dan stik keju penuh ke dalam mulutnya.
Noah bergumam. Hingga detik ini ia masih bingung harus mencari alasan apalagi agar Eve tak pergi kemah akhir semester.
"Dad? Kau tidak lupa kan? Aku harus mengumpulkannya besok pagi," kata Eve lagi. Bibirnya mulai manyun. Ia harap kali ini Noah menepati janji, jika ia akan memberi izin padanya untuk ikut serta kemah musim panas terakhir kali. Setelah sebelum-sebelumnya ia tak pernah sama sekali merasakannya.
Noah mencoba tersenyum sebaik mungkin. "Tentu saja Daddy ingat sayang. Setelah makan malam kuberikan padamu," kata Noah akhirnya.
Eve urung cemberut. Kini binar mata abunya terpancar dengan indah. Ia lantas mendatangai Noah sekali lagi. Memberinya pelukan rasa terimakasih yang sangat hangat.
Sejak masuk elementary school hingga sekarang berada di senior high school, baru kali ini Noah memberi izin pada Eve untuk mengikuti kemah akhir semester. Dia sudah terlanjur berjanji pada Eve dan tak ingin membuatnya bersedih seperti saat sebelumnya. Ia tak mau Eve terus mengurung diri dan mogok makan seperti yang sudah-sudah.
"Aku berjanji Louisa. Ini untuk yang pertama dan terakhir kali bagi Eve," batin Noah.
***
Perkemahan musim panas St. Petrus Senior High School bertempat di hutan Pinus di sebelah selatan hutan Forks. Eve begitu bersemangat karena ini adalah perkemahan pertama baginya. Apalagi kali ini ia sedang dekat dengan salah satu teman lelaki di sekolahnya. Kesempatan ini lebih dari sekedar menguntungkan bagi Eve.
Meski tanpa gadis belia itu tahu, Noah sengaja meminta cuti dari meubel tempatnya bekerja untuk diam-diam membuntuti Eve ke perkemahan. Noah sangat khawatir karena pihak sekolah ternyata memilih hutan Forks sebagai tempat kemah kali ini. Jika mengetahuinya terlebih dahulu, ia lebih baik melihat Eve membencinya daripada memberinya izin. Ia ingat sekali, di hutan itu lah ia bertemu Louisa untuk pertama kali.
Noah yang saat itu masih bekerja sebagai seorang penebang kayu menemukan Louisa tergeletak penuh luka di sekujur tubuh. Wanita secantik itu bisa terluka begitu parah membuat Noah membawanya ke rumah sakit tanpa sedikitpun menaruh curiga pada identitas Louisa sebenarnya.
Jika Eve berada di hutan itu, Noah khawatir sesuatu yang buruk bisa saja terjadi pada permata berharga satu-satunya yang ia miliki dalam hidup.
***
Bersambung.