Melihat reaksi bos yang terlihat tidak tertarik, Rara dan Nadira pun merasa ada aroma-aroma penolakan.
Sebagai asisten manager yang profesional dan sangat bersahabat dengan karyawan-karyawannya, Nadira segera membujuk pak bos agar menerima pengajuan donat jamur yang baru itu.
"Ya ... mungkin terbilang singkat sih, ya, Bos. Tapi, kalo tokonya rame, banyak yang beli 'kan kita juga untung." Wajah persuasif Nadira mulai bekerja.
Dengan cekatan, Nadira memegang tangan kiri bosnya. Berharap bahasa tubuhnya yang sangat mengajak kerjasama, diterima dengan baik oleh sang bos tercinta.
"Apalagi nih, ya, Bos, kemarin Rara berhasil jual donatnya tiga kali lipat dari harga biasa!" ucap Nadira semangat dan penuh penekanan pada akhir kalimat.
Rara yang baru menjual donat itu kepada satu pelanggan pun ketar-ketir. Belum tentu juga semua pelanggan sama seperti pelanggan kemarin yang rela membayar lebih untuk donat unik itu.
Bos menarik tangannya dari Nadira, melipatnya di antara dada dan perut.
Dengan tegas dan berwibawa, bos bertanya, "Sudah berapa donat yang terjual? Ada berapa pelanggan yang beli kemarin?"
Deg!
Benar saja, Rara sudah menduga pertanyaan itu rilis dari mulut bosnya itu. Dengan kode alis yang naik, Nadira bertanya kepada Rara.
Dengan penuh kepasrahan, Rara pun menjawab, "Em–empat donat satu pelanggan, Bos." Rara menunduk sambil memainkan jarinya.
Begitu mendengar Rara membuka suara, pandangan bos langsung tertuju pada Nadira.
"Maaf anak muda, untuk sekarang ini, donat kalian berdua belum bisa berada di jajaran donat lama kita."
Bos pun langsung beranjak dari tempatnya menuju pintu keluar sambil memakan donat jamur tadi.
Nadira dan Rara saling bertatapan lemas. Bagaimana donat seenak ini bisa ditolak oleh bos mereka? Padahal, Nadira melihat peluang yang besar.
Belum sempat keluar, tiba-tiba bos berbalik arah menuju Rara. Nadira dan Rara pun kembali tersenyum, mungkin saja bosnya itu berubah pikiran.
Namun, ternyata salah. Bos mengambil donat itu lagi, bahkan tak tanggung-tanggung dengan wadahnya sekaligus. Senyuman Nadira terhapus, dia memiringkan bibirnya menghembuskan napas.
"Enak. Makasih," ucap bos dengan manis ketika mangkuk yang berisikan donat itu sudah berada di tangannya.
Tak berlama-lama lagi, bos langsung keluar dan meninggalkan keduanya.
"Mbak!" panggil Rara lemas.
"Udah, lanjut kerja aja. Suruh Ayman supaya bikin donatnya jadi tahan lama," ucap Nadira datar, mendekati kursi kerjanya.
"Kalo perlu pake boraks sekalian." Nadira mendengus kesal, lalu kembali mengoperasikan laptop di mejanya.
Rara hanya cemberut dan terdiam. Dia takut Ayman akan kecewa dengan hasilnya. Beberapa resep baru yang diracik Ayman dulu sudah sering ditolak. Dan akibatnya, Ayman menjadi tak semangat bekerja.
Mungkin, dia merasa tidak berguna layaknya beban keluarga yang kerjanya cuma rebahan sambil ngupil di sofa ruang keluarga. Dia merasa ide-idenya tidak semenarik yang dia bayangkan.
Setelah lama memikirkan reaksi Ayman nantinya, Rara pun ditegur Nadira membuatnya terkejut. "Ra!"
"Kerja sana, siapa yang jaga kasir?!" hardik Nadira.
"Eh, iya, Mbak. Maaf, permisi." Rara menunduk dan segera pergi meninggalkan ruangan Nadira.
Begitu keluar, Rara melirik ruang bosnya. Dia masih berharap kalau bosnya mau menerima resep baru dari Ayman. Namun, karena tak punya waktu banyak, Rara segera berlari menuruni tangga untuk melanjutkan pekerjaannya yang sempat ditinggal.
Sesampainya di kasir, Rara melihat Hilmi sedang repot melayani pelanggan-pelanggannya.
Dengan segera, Rara berlari ke arahnya sambil memegang kepala karena panik. Dia pikir hari ini akan sepi, tapi ternyata begitu ditinggalkan malah jadi sangat ramai.
"Aduh, Kak Hilmi maaf, ya. Sini, sini, biar Rara aja." Rara merasa bersalah dan segera mengambil alih pekerjaannya.
Karena pelanggan yang makan di tempat lumayan sepi, Hilmi membantu Rara untuk melayani para pelanggan yang ingin membeli donat untuk dibawa pulang ke rumah mereka.
Setelah beberapa lama, satu per satu pembeli sudah teratasi. Kini, tinggal beberapa pembeli yang mereka hadapi.
"Kak, tolong ambil kantong kresek di gudang, ya. Kantongnya tinggal satu," pinta Rara dengan sopan.
"Siap, Komandan! Sebentar." Dengan semangat empat lima, Hilmi pergi ke gudang.
Sementara itu, Rara masih sibuk menghitung total pembelian salah satu pelanggan.
"Totalnya jadi dua puluh ribu ya, Pak." Rara memberikan sebungkus donat kepada seorang laki-laki tua.
"Terima kasih," lanjut Rara mengulas senyum.
"Mbak, ada donat yang kemarin, nggak?"
Rara sedikit terkejut, pembeli yang kemarin memborong donat jamurnya datang lagi.
"Wah maaf, Mbak, donat jamur yang kemarin sudah habis. Dan sekedar informasi, donat itu belum rilis di toko kami. ya, Mbak." Rara merapatkan kedua tangannya sebagai bentuk permohonan maaf.
"Wah ... gimana, ya. Tapi, kalo pesen dulu bisa, Mbak?" Pembeli itu bertanya lagi. Sepertinya, dia sangat suka dengan donat itu.
Rara yang mempunyai prinsip kepuasan pelanggan nomor satu, ingin sekali menjawab 'bisa'. Tapi, dia takut kalau bos tidak mengijinkannya.
"Untuk hal itu, kami konfirmasi dulu ke atasan kami, ya. Boleh kirim nama pengguna sosial medianya? Agar nantinya bisa kami infokan jika disetujui."
"Boleh, Mbak. Ini, ya."
Ketika sudah mendapat info kontak si pembeli, Rara mencatatnya di gawai miliknya.
"Baik, sudah. Apakah ingin memesan donat yang lain?" tanya Rara ramah.
"Hm ... enggak deh, Mbak. Saya cuma mau donat itu soalnya. Terimakasih, Mbak." Pelanggan itu pun pergi.
Terlihat jelas bahwa Rara bisa merasakan kekecewaan pada hati pelanggan yang dia sayangi itu.
*
Hari sudah hampir malam, toko donat juga sudah ditutup. Rara memasuki ruangan dapur. Di sana ada Tata dan Ayman yang sedang bersih-bersih.
Dengan perasaan sedikit ragu, Rara memantapkan tekadnya untuk mengatakan sesuatu pada Ayman.
"Kak Ay," panggil Rara.
"Ay? Ayang? Kamu panggil aku, Ra?" tanya Tata dengan pedenya.
Rara pun menahan tawanya yang akhirnya lepas dengan tertawa kecil.
"Ish! Bukan, maksudnya tuh, Kak Ayman," jelas Rara.
"Oh ...." Tata lanjut membersihkan meja dapur di dekatnya.
"Kenapa, Ra?" Ayman menghampiri Rara sambil mengelap tangannya yang kotor dengan kain lap.
"Rara mau bilang, kemarin Rara sama mbak Nadira udah ngajuin donatnya ke bos."
Mendengar kabar dari Rara yang kelihatannya baik, Ayman pun langsung tersenyum semangat.
"Terus, terus? Gimana, Ra? Diterima?" tanya Ayman penuh harap.
Benar saja! Ayman sangat berharap resepnya itu diterima. Setelah sekian lama dia bersusah payah menemukan resep baru dan mencobanya berulang kali, tentu saja akan sangat pahit jika dia harus menerima penolakan.
Sebenarnya, Rara sangat ragu untuk mengatakan padanya. Namun, demi kebaikan, kejujuran, serta peningkatan kualitas karyawan bernama Ayman, Rara pun harus berkata yang sejujurnya.
"Hm, anu ...." Rara masih tampak ragu.
Tata menghampiri mereka berdua karena ikut penasaran.
"Gimana? Diterima?" tanya Tata.
Rara menggelengkan kepalanya. "Enggak."