Di sebuah rumah bilik disalah satu perkampungan, ada satu keluarga yang memiliki seorang putri cantik, ia diberi nama Federica Anantha, akrab dipanggil dengan sebutan Icha.
Icha anak tunggal dari pasangan Galih dan Dea, Icha berusia 22 tahun. Setiap hari rumah selalu saja bising dengan percekcokan diantara penghuni rumah tersebut.
Hal itu membuat para tetangga juga jadi risih mendengarnya, sejak 6 bulan terakhir Icha jadi sangat kasar terhadap orang tuanya sendiri.
Beralasan karena tidak diizinkan pergi ke Kota, Icha jadi berani membantah setiap perkataan orang tuanya.
Icha tak peduli dengan perasaan kedua orang tuanya, bagi Icha kedua orang tuanya pun tidak mampu mengerti dengan perasaannya.
Icha sudah sering berbicara baik-baik tentang keinginannya itu, tapi mereka tidak pernah mau mengerti.
Tidak pernah mau menerima, tidak pernah mau mencoba untuk percaya pada Icha, meski hanya sedikit saja.
Mereka selalu berfikir kalau Kota itu jahat, Kota tidak bisa memberikan kehidupan yang baik, hanya orang yang memang cerdas yang bisa hidup di perkotaan.
Sedangkan dalam fikir Icha, Kota adalah tempat yang terbaik untuk dirinya, di Kota Icha bisa melakukan apa pun tanpa ada kesulitan seperti di Kampungnya.
Tinggal di Kampung selama 22 tahun cukup membuat Icha merasa di penjara, Icha kesulitan ini dan itu, bahkan untuK bergaul pun Icha kesulitan.
"Cukup Icha, untuk apa kamu masih membahas ini terus, bukankah sudah sangat jelas kalau Ayah dan Ibu tidak akan pernah setuju kamu pergi ke Kota."
"Tapi kenapa, apa alasannya, kalian tidak pernah mencoba untuk mempercayai ku, apa sebodoh itu aku dimata kalian?"
"Diam kamu!" bentak Gilang, Icha sudah terlalu sering membentak orang tuanya.
Gilang merasa telah kehilangan wibawa dihadapan putrinya sendiri, sejak 6 bulan terakhir ini.
"Semakin kesini, kamu malah semakin kurang ajar saja Icha, kami ini orang tua kamu."
"Icha seperti ini juga karena kalian juga, kenapa kalian tidak pernah bisa percaya padaku, setidaknya untuk kali imi saja, biarkan Icha pergi dari Kampung ini."
"Tidak .... Sekali kami bilang tidak, maka akan tetap tidak."
"Kalian memang orang tua yang egois, tidak pernah rela melihat anaknya bahagia, kalian lebih senang melihat ku sengsara hidup di Kampung seperti ini."
Icha menghentakan kakinya dan berlalu meninggalkan kedua orang tuanya, Dea tak berkata apa pun juga, entah harus bagaimana caranya agar Icha bisa mengerti dengan alasan yang diberikan mereka tentang larangan itu.
"Menyebalkan, aku benci keadaan ini, aku benci rumah ini, dan aku benci kalian berdua."
Jerit Icha seraya melempar apa yang ada di kamarnya, Icha membuat kamarnya menjadi sangat berantakan karena kekesalannya pada orang tuanya.
"Aku tidak akan lagi berbicara dengan kalian, apa pun alasannya aku tidak akan sudi lagi berbicara dengan kalian."
Dea mulai terisak mendengar ungkapan kemarahan dari Icha, kenapa putrinya jadi seperti itu.
Icha adalah anak baik, nurut pada apa yang dikatakan orang tuanya, baik itu perintah atau pun larangan.
Tapi kenapa sekarang jadi seperti ini, kasar dan selalu saja membantah, Icha tak lagi mengingat etika dan sopan santun terhadap orang tuanya sendiri.
"Kenapa Icha jadi seperti itu, Yah?"
"Sabar Bu, mungkin Icha belum paham dengan maksud kita."
"Apa harus sekasar itu berbicara dan bersikap terhadap kita?"
Gilang merangkul istrinya itu, mengusap kepalanya sayang.
"Bagaimana pun juga, kita tetap orang tuanya Icha, kenapa Icha tega berlaku seperti ini pada kita?"
"Nanti kita bicarakan lagi, Bu."
"Icha tidak lagi bisa diajak bicara, kita tidak lagi mengenal Icha, Yah."
"Suuttt, jangan bicara seperti itu, Icha adalah anak kita, baik buruknya Icha adalah gambaran dari kita berdua."
"Tapi Ibu tidak pernah mendidik Icha untuk jadi seperti sekarang, dan bukankah Icha adalah anak yang baik sebelum ada keinginan ini."
Galing mengangguk, memang benar sebelum ada keinginan Icha untuk ke Kota, Icha adalah anak yang berbakti pada mereka berdua.
"Apa kesalahan Ibu padanya?"
"Tidak ada, Icha hanya tidak bisa paham dengan keadaan sekarang, Icha masih ditekan oleh keinginannya untuk. ke Kota, Bu."
Dea tak lagi berkata, sangat tidak bisa Dea mengerti dengan segala perubahan yang ditunjukan Icha.
Icha memang telah menjadi orang asing dalam fikir Dea, putrinya tidak seperti itu, dan Dea masih sangat mengingat sosok putrinya yang penurut.
"Sudah Bu, tidak usah menangis, nanti akan Ayah coba untuk bicara lagi dengan Icha, kita tidak boleh lelah untuk terus memberi pengertian pada Icha."
Dea tak merespon apa pun, Dea hanya ingin menangis saja saat ini, Icha sudah sangat mengecewakan Dea dengan segala tingkah dan ucapannya.
"Sekarang Ibu mau apa, bukannya Ibu mau bantu-bantu di rumah sebelah?"
"Iya."
"Ya sudah lebih baik sekarang Ibu bersiap saja, biarkan Icha tenang terlebih dahulu, nanti kita akan coba bicara lagi padanya."
Dea melepas rangukan Galih, mengusap kedua pipinya yang telah basah oleh air matanya.
Galih tersenyum dan mengecup pipi Dea sekilas, Galih tidak pernah suka melihat istrinya itu menangis karena terluka.
Galih selalu berusaha membahagiakan Dea selama ini, ditengah kesulitan hidup yang kerap kali menghimpit Galih, Galih tak pernah putus asa untuk selalu membahagiakan Dea.
Tapi akhir-akhir ini, Galih jadi sering sedih karena Dea yang menangis.
Galih juga marah pada Icha, karena Icha adalah penyebab dari pada tangisnya Dea.
"Ayah mau ke Kebun?"
"Iya, kan masih harus kasih pupuk sama jagungnya."
"Nanti Ibu antar makan siang kesana."
"Kalau memang repot, tidak perlu Ibu antar makan, Ayah bisa pulang terlebih dahulu."
Dea mengangguk paham, Galih memang setiap hari menghabiskan waktunya di Kebun.
Ada beberapa jenis tanaman yang harus Galih rawat disana, saat musim panen tiba, semua yang Galih rawat dengan penuh perjuangan itu akan menghasilkan pundi rupiah.
Dan hasil itu adalah yang selalu mampu menghidupi keluarga Galih, termasuk juga Icha sendiri.
"Ya sudah, Ayah pergi dulu ya, Ibu rapikan dulu penampilannya, nanti malu kelihat orang kalau Ibu habis nangis."
Dea mengangguk, tentu saja Dea mengerti dengan itu.
"Ayah hati-hati."
"Iya."
Dea mencium tangan suaminya, dan mendapat balasan kecupan di keningnya.
Galih lantas pamit dan pergi meninggalkan Dea disana, Dea juga bergegas merapikan diri untuk segera pergi ke rumah sebelah.
Tetangga mereka ada yang hendak hajatan, dan sekarang sedang sibuk mempersiapkan semuanya.
Dea berniat membantu disana, untuk memperingan dan mungkin bisa mempercepat proses pengerjaannya.
Dea akan melupakan sejenak masalah di rumahnya dengan putrinya, Dea akan mendapat sedikit candaan di rumah tetangga nanti ketika membantu disana.