Perbincangan demi perbincangan telah Icha lewati bersama dengan mereka, Icha merasa senang mengenal mereka meski jujur Icha banyak tak mengerti dengan bahasa mereka, terutama tentang pekerjaan mereka.
"Senang-senang yuk," ucap Jessy
"Memang waktunya," sahut Felly.
Icha melirik mereka bergantian, Icha sadar jika sekarang sudah larut malam, dan mereka masih berniat senang-senang.
"Lo masih mau gabung?" tanya Felly.
Icha diam, mata Icha sudah mulai mengantuk, Icha tidak pernah terjaga sampai larut malam seperti itu.
"Balik saja, lo sepertinya gak cocok sama kita, lo terlalu banyak melamun."
Icha mengangkat sebelah alisnya, apa benar seperti itu, tapi Icha memang masih berusaha menyesuaikan diri saat ini.
"Ayo ah, lama keburu dapat panggilan."
Mereka mengangguk setuju dengan ucapan Jessy, mereka lantas bangkit dan meninggalkan Icha di sana.
Kalau Icha tidak ikut mereka, mungkin Icha akan kehilangan kesempatan untuk bisa berteman dengan mereka, dan sepertinya Icha malas untuk mencari yang lain.
"Tunggu," ucap Icha.
Mereka menoleh bersamaan, melihat Icha yang berjalan menghampiri, membuat mereka tertawa bersamaan.
Tentu saja mereka tahu jika Icha bukan seperti mereka, Icha gadis baik-baik dan sepertinya mereka yakin jika Icha baru tinggal di kota.
"Aku ikut," ucap Icha.
"Yakin?" tanya Felly.
"Yakin, siapa tahu saja aku bisa ikut happy seperti kalian."
"Tenang saja, lo akan happy bareng kita, kebahagiaan yang tak pernah lo dapatkan, akan lo dapatkan malam ini." ucap Jessy.
Icha tersenyum dan mengangguk, mereka lantas memasuki mobil, Icha gabung di mobil Jessy.
Mereka meninggalkan cafe bersama dengan Icha, sepanjang perjalanan mereka tak henti menggoda Icha untuk mau jadi seperti mereka.
Icha hanya tersenyum saja tanpa menolak atau mengiyakan, Icha terlalu takut untuk melakukan semua itu, tujuannya ke kota adalah untuk kesuksesan bukan untuk kehancuran.
"Lo anak baru kan di kota, lo gak akan bisa hidup disini kalau bukan modal nekad."
Icha mengangkat kedua alisnya, jadi mereka tahu kalau Icha orang baru di kota, tapi Icha tidak boleh asal bicara sekarang.
"Lo gabung sama gue dan yang lain, gue jamin lo akan bisa hidup di kota."
Kalimat Jessy memang terdengar menantang, tapi apa benar Icha harus jadi wanita seperti itu.
Di kampung Icha selalu berusaha menjaga diri, dan begitu juga dengan orang tuanya yang selalu berusaha menjaga Icha.
Rasanya sangat tidak mungkin jika sekarang Icha justru merusak semuanya, Icha tidak boleh gegabah dalam melangkah, jika masih ada yang baik kenapa harus memilih yang tidak baik.
Mobil itu berhenti, mereka keluar bersamaan, Icha melihat sekitar tempat apa itu kenapa gelap sekali.
"Ayo masuk," ajak Felly.
Icha mengangguk dan mengikuti mereka semua, Icha berjalan dengan ragu memasuki tempat tersebut.
Bising dan sesak sekali, kerlap kerlip lampu membuat penglihatan Icha semakin tidak jelas.
"Tempat apa ini?" tanya Icha setengah berteriak.
Musik yang begitu keras pasti akan membuat suaranya tenggelam dan tak mampu terdengar, tapi meski berteriak pun ternyata tak merubah pendengaran mereka.
Tak ada yang menjawab atas pertanyaan Icha, mereka justru ikut bersorak bersama dan menghampiri temannya di sana.
Icha berjalan mengikuti mereka dengan susah payah, ada banyak yang menghalangi langkahnya, dan itu sangat menyulitkannya untuk bergerak.
"Hallo, manis."
Seseorang menyapa Icha dan mencolek dagunya, dengan cepat Icha menepisnya dan kembali melangkah.
Icha melihat Jessy dan yang lainnya duduk di sofa sana, tapi apa yang dilakukan mereka, kenapa jadi ada lelaki bersama mereka.
Icha melihat sekitar, dan memilih duduk di tempat berbeda, Icha memperhatikan mereka dari jauh.
Menjijikan sekali mereka, tingkahnya sangat tidak memiliki harga diri, mau saja di peluk cium oleh lelaki yang menghampirinya.
Audy melirik Icha disana dan langsung mendorong lelaki yang hendak menciumnya, lelaki itu tampak protes tak terima dengan penolakan Audy.
Audy tampak pengarahkan pandangan lelaki itu pada Icha, mulutnya bergerak mengatakan sesuatu hingga membuat lelaki itu tersenyum.
Ia lantas bangkit dan berlalu meninggalkan Audy, ia berjalan mendekati Icha yang duduk sendirian.
"Kamu Icha?" tanyanya.
Icha memejamkan matanya sesaat, nafas lelaki itu sarat dengan aroma minuman keras, Icha mual dibuatnya.
"Menjauh," ucap Icha.
Lelaki itu justru tertawa dan merangkul Icha, tapi Icha mendorongnya sekuat tenaga, lelaki itu limbung hingga menabrak orang di belakangnya.
"Sorry, ada yang salah alamat," ucapnya.
Keduanya justru tersenyum melihat Icha, jujur jantung Icha mendadak bergemuruh hebat, ketakutan mulai menekannya saat ini.
"Jangan tegang, santai saja," ucap lelaki itu.
Satu yang tadi ditabraknya terlihat memesan minuman, Icha berusaha pergi dari lelaki itu tapi tidak bisa.
Lelaki itu memeluk Icha dari belakang saat Icha hendak pergi, beberapa saat kemudian satu lelaki tadi menghampiri dengan membawa dua gelas minuman.
"Berbahagialah," ucapnya menyodorkan gelas pada Icha.
Icha menepis gelas tersebut hingga terjatuh, apa maksudnya semua ini, kemana mereka yang tadi bersama Icha.
Dua lelaki itu tertawa bersamaan, isi gelas satu lagi diminumnya tanpa ditelan, ia mencengkram kedua pipi Icha dan memaksa untuk membuka mulutnya.
Icha berontak, tapi tubuhnya ditahan kuat oleh lelaki di belakangnya, mulut Icha terbuka dan lelaki itu dengan sengaja memasukan minuman yang sejak tadi ditahan di mulutnya ke dalam mulut Icha.
Lelaki itu juga menahan kepala Icha agar terus menengadah dan memaksa Icha untuk menelannya, cengkraman itu terasa semakin menyakiti Icha sampai akhirnya Icha menelan minuman tersebut.
Icha langsung mual, jijik sekali Icha harus menelan minuman yang bersal dari mulut lelaki itu.
"Sekarang mau baik-baik, atau dengan cara yang sama." bisik lelaki yang menahannya di belakang itu.
Icha menggeleng, dan memejamkan matanya, ingin muntah tapi tidak bisa, rasanya sangat menjijikan.
Lelaki di depan Icha pergi dan meminta beberapa botol minumannya, sedangkan Icha dibawa paksa oleh lelaki yang sejak tadi memeluknya.
Icha berusaha berontak tapi tetap tidak menghasilkan apa pun, mereka yang bersama Icha tadi tak lagi terlihat, mungkin mereka sengaja meninggalkan Icha sendirian di tempat itu.
Icha ditarik memasuki satu kamar, tubuhnya di dorong dengan kasar hingga terjatuh ke lantai, musik yang terdengar keras itu tak lagi ada sekarang.
"Apa-apaan ini, kenapa membawa ku kesini?"
"Heh, lo datang kesini ya untuk ke ruangan ini, jangan bodoh makanya kalau melangkah."
Icha menendang lelaki itu saat hendak menariknya, tapi Icha tidak akan mampu menghadapi lelaki yang jelas sedang dalam pengaruh minuman keras.
"Tolong ...." jerit Icha.
Lelaki itu justru tertawa mendengarnya, dengan sigap ia meraih tangan Icha dan menyeretnya mendekati tempat tidur.
Icha tak bisa apa-apa, berontak hanya membuatnya lelah.