"Silahkan, pakai lagi celananya."
Dokter itu pergi meninggalkan Icha yang terisak di ranjang sana, setelah beberapa perdebatan akhirnya ia bisa memeriksa Icha sesuai permintaan Jessi, meski sekarang Icha harus menangis di sana.
"Selesai, Cha?" tanyanya.
Tak ada jawaban, Icha tampak berjalan menghampirinya, ia tersenyum seraya mengusap pundak Icha.
"Tidak masalah, itu pekerjaan ku, bukan kurang ajar tapi memang harus seperti itu, bukan hanya kamu, tapi sudah sering juga yang melalukan pemeriksaan itu disini."
Icha tak menjawab, malu sekali rasanya, saat dokter itu dengan sengaja melihat keintimannya dengan mata telanjang.
Kenapa harus dokter laki-laki, apa tidak ada dokter perempuan yang bisa melakukannya juga.
Icha tidak bisa menyimpulkan perasaannya saat dokter itu menyentuh keintimannya, Icha malu dan merasa terhina.
"Sudah, silahkan kamu duduk."
Icha lantas duduk, begitu juga dengan dokternya yang duduk di hadapan Icha.
"Kamu baik-baik saja, tidak ada kerusakan apa pun di vagina kamu, dan itu artinya kamu masih memiliki kehormatan kamu sekarang."
Icha menoleh dan diam menatap dokter itu, apa maksudnya, bagaimana mungkin seperti itu, bukankah lelaki itu sudah ....
"Kamu tidak perlu pertanyakan itu lagi, kondisi kamu masih perawan, jangan khawatir, dan kamu harus tetap menjaganya."
Tak ada jawaban, Icha tidak tahu harus percaya atau tidak dengan kalimat itu, itu memang keinginannya, tapi apa semua itu benar.
"Terlepas dari apa yang aku lakukan tadi, aku Dokter, dan seharusnya kamu mengerti jika itu adalah bagian dari tugas ku, jangan berfikir buruk karena aku juga tidak berfikir buruk atas apa yang aku lihat."
"Berikan aku informasi yang benar, jangan hanya sekedar untuk menenangkan aku saja."
Dokter itu tersenyum dan mengangguk, lalu apa yang harus dikatakannya, agar sesuai dengan keinginan Icha.
"Aku harus katakan apa, aku memang tidak menemukan kerusakan apa pun, tidak ada luka sedikit pun, dan bukankah itu berarti kamu memang baik-baik saja."
"Tapi mereka ...."
"Mungkin Tuhan masih menyelamatkan kamu, jadi setelah ini, kamu harus lebih bisa menjaga diri."
Icha kembali diam, semoga saja apa yang dikatakannya itu benar, Icha masih memiliki kehormatannya sampai sekarang.
"Soal Jessi, sebaiknya kamu tidak perlu gabung dengan mereka, kamu bisa cari yang lain untuk jadi teman kamu."
"Kenapa seperti itu, siapa Jessi bagi, Dokter?"
"Jessi itu pasien pertama aku saat aku pindah ke rumah sakit ini, Jessi wanita pertama yang aku periksa saat itu, aku sempat heran saat aku katakan kalau Jessi tidak lagi perawan, Jessi justru tersenyum dan sepertinya puas."
Icha mengernyit, apa maksudnya, bagaimana mungkin seperti itu.
"Jessi telah dengan sengaja merusak dirinya sendiri, dia menyerahkan kehormatannya pada lelaki yang memang menginginkannya, dan saat itu terjadi, Jessi langsung datang kesini."
"Lalu apa?"
"Lalu dia berterimaksih, dan pergi begitu saja setelah tahu hasilnya, aku fikir dia bakal sedih dengan hasilnya, tapi tidak, Jessi sepertinya biasa saja atas hilangnya kehormatan dia."
Icha diam, mungkin benar jika Tuhan masih menyayanginya, karena sekarang Icha masih terhormat.
"Kenapa Jessi, panggil Om?"
Dokter itu tersenyum dan menggeleng, Icha mengangkat sebelah alisnya, bukan senyuman yang dibutuhkannya, tapi kalimat untuk jawabannya.
"Kenapa?"
"Entahlah, Jessi memang selalu bersikap semaunya saja, dia memang selalu mengantarkan pasien untuk aku periksa, dan mungkin karena sering bertemu jadinya Jessi merasa kalau kita sudah akrab dan dekat."
"Apa benar seperti itu?"
"Tentu saja."
Icha mengangguk perlahan, kenapa Icha berfikir kalau dokter itu juga pernah menikmati Jessi, mungkin itu yang membuat mereka akbrab.
"Sudahlah, tidak perlu memikirkan itu, jaga fikiran kamu."
Icha mengerjap dan berpaling, benar juga, untuk apa Icha memikirkan itu semua, biar saja itu menjadi urusan mereka berdua.
"Aku harus bayar berapa?"
"Tidak, tidak perlu, kamu datang bersama Jessi, tidak masalah."
"Tidak bisa seperti itu."
"Sudahlah, tidak perlu fikirkan itu, yang terpenting kamu harus bisa lebih menjaga diri, dan ingat jauhi mereka semua."
Icha mengangguk saja, memang benar, Icha akan mejauhi mereka semua, Icha tidak mau berteman dengan wanita gila seperti mereka.
"Kalau gitu aku permisi."
"Iya silahkan."
Keduanya bangkit dan keluar bersamaan, Jessi dan temannya langsung mendekat dan menatap keduanya bergantian.
"Bagaimana?" tanya Jessi.
"Baik-baik saja, tidak ada masalah dengan kehormatannya."
Jessi menatap tajam Icha, jelas sudah jika wanita itu telah salah bertingkah pada Jessi.
"Aku, minta ...."
Plakk .... Icha memejamkan matanya seraya menyentuh pipinya, belum sempat Icha menyelesaikan kalimatnya, Jessi sudah lebih dulu menamparnya.
"Lo pergi sekarang, jangan lagi tunjukan diri di depan gue, atau lo akan mati."
Jessi mendorong Icha hingga nyaris terjatuh lagi, Jessi meminta mereka untuk membawa Icha pergi, sedangkan Jessi justru menarik dokter itu memasuki ruangan.
Icha kembali ditarik pergi oleh mereka, kenapa Jessi tidak ikut juga, bukankah dia yang akan menyetir mobilnya.
"Pergi sana, jangan cari masalah lagi sama kita." ucap Felly seraya mendorong Icha.
Icha terhuyung menuruni tangga, ketika akan pergi, Icha teringat dengan tasnya, tas Icha tertinggal di ranjang pemeriksaan tadi.
Icha melangkah naik, tapi mereka manahannya.
"Mau apa lagi lo?" tanya Audy.
"Tas aku tertinggal di dalam, aku harus mengambilnya."
Mereka tampak saling lirik, Icha tidak bisa menunggu, bukankah mereka inginkan Icha cepat pergi.
Icha menabrak Audy dan berlari kembali ke ruangan itu.
"Gawat," ucap Felly.
"Kita harus hentikan wanita itu," ucap Audy.
Mereka mengangguk kompak dan segera menyusul Icha.
Tapi sayang mereka terlambat, Icha telah lebih dulu memasuki ruangan tadi.
"Habislah sudah, Jessi pasti akan ngamuk sama kita." ucap Audy.
Mereka mengangguk setuju, itu sudah pasti, karena Jessi pasti merasa terganggu oleh kedatangan Icha.
"Tapi harus bagaimana, kalau kita ikut masuk, akan lebih salah lagi."
"Kamu benar, Fel."
Audy setuju dengan apa yang dikatakan Felly, sekarang mereka hanya bisa pasrah saja dengan amarah Jessi nantinya.
Icha melihat sekitar, tidak ada Jessi dan dokter itu di sana, kemana mereka bukankah tadi Icha melihat mereka masuk lagi.
"Lupakan pasien mu itu."
Langkah Icha seketika terhenti saat mendengar suara Jessi, mereka ada dibalik tirai itu, apa yang mereka lakukan di sana.
Icha hendak membuka tirai itu, tapi urung karena Icha melihat jas dokter itu yang terjatuh di lantai.
"Ini bisa nanti saja, Jessi."
"Aku tidak akan ada waktu nanti, jadi sekarang saja, aku bayar lunas."
Icha mengernyit, apa maksudnya, apa itu pembahasan tentang biaya pemeriksaan Icha tadi.
Padahal Icha sudah akan membayarnya, tapi kenapa dokter itu menolaknya, sedangkan dari Jessi dia mau menerimanya.
"Ssss aah .... hangat sekali, Jess."