Chereads / Aku Menyesali Kehancuran Ku / Chapter 5 - Bab5. Sempurna

Chapter 5 - Bab5. Sempurna

Icha berputar-putar di hadapan cermin, malam ini Icha berhasil merubah penampilannya.

Pakaiannya sudah bagus, tentu makeupnya sudah sangat pas diwajah Icha, Icha tertawa sendiri melihat penampilannya di cermin.

"Bukankah aku sudah menjadi ratu, aku cantik dan menarik." ucapnya bangga sendiri.

Icha melirik jam di pergelangan tangannya, tentu saja itu jam yang baru dibelinya.

Icha melengkapi semua yang dibutuhkannya untuk menyempurnakan penampilannya, Icha merasa sudah menjadi anak Kota dengan penampilannya yang berubah.

"Cantik sekali kamu."

Icha menghembuskan nafas puasnya, merapikan bekas makeupnya, Icha mengambil tas cantiknya yang baru.

"Ayo kita jalan untuk mencari teman, biar gak sepi hidupnya.:

Icha kembali pergi meninggalkan rumahnya, entah kemana yang jelas Icha akan berjalan kemana pun sampai Icha mendapatkan teman.

Icha merogoh tasnya, dan mengeluarkan ponselnya.

"Luar biasa."

Ucapnya, karena ternyata Icha juga membeli ponsel baru.

Kini Icha memiliki apa yang mereka miliki, pakaian bagus .... Makeup bagus, dan juga ponsel bagus.

"Ayah, Ibu, Icha bahagia disini, jangan mengkahawatirkan Icha lagi."

Ucapnya pelan, Icha tak berniat mencari kontak yang memang bisa tersambung ke orang tuanya.

Icha benar-benar akan melupakan semuanya, Icha akan di Kota sampai Icha puas.

Dan mungkin tidak akan pernah mau kembali lagi ke Kampungnya disana, meski pun disana ada kedua orang tuanya.

Icha suka dengan Kota yang dipijaknya, dan Icha ingin selamanya tinggal disini.

"Dimana kalian teman, kenapa aku tidak menemukan kalian?"

Icha mencari siapa pun yang mungkin akan mau untuk berteman dengannya, sekarang Icha sudah tidak buruk lagi, jadi siapa pun pasti mau berteman dengan Icha.

"Tentunya mereka juga pasti termasuk orang-orang keren, sama seperti aku sekarang."

Icha menggeleng, beruntung sekali hidupnya saat ini, dan Icha sangat menyukainya.

Icha tak ingin meninggalkan kehidupannya ini demi Kampungnya, tidak juga demi orang tuanya.

Karena orang tuanya sendiri pun tidak mendukung kebahagiaan Icha selama ini, Icha akan mempertahankan kehidupan barunya tanpa orang tuanya lagi.

"Lihat saja."

Kalimat itu jadi sering terlontar dari mulut Icha, entah untuk apa maksudnya tapi sepertinya Icha menyukai kalimat tersebut.

Icha melihat ada beberapa orang yang sedang berkumpul disalah satu Cafe, Icha tersenyum dan melangkah menghampiri mereka.

"Permisi."

Mereka menoleh bersamaan kearah Icha, terdiam heran menatap kedatangannya.

"Oh tidak apa, maaf sepertinya aku mengganggu kalian."

"Tidak, memangnya ada apa?"

"Enggak sih, aku cuma lagi cari teman ngobrol saja, soalnya teman-teman ku lagi pada pulang Kampung."

"Oh .... Ya sudah gabung saja dengan kita, tidak masalah kita ok saja kok."

"Serius?"

"Iya serius, tenang saja kita cuma lagi kumpul biasa bukan lagi kerja."

Icha tersenyum dan mengangguk, Icha lantas duduk setelah dipersilahkan duduk.

Benar saja kan, penampilan yang tidak lagi buruk ini, mampu dengan mudah berbaur.

Icha senang karena mendapat sambutan yang baik dari mereka, padahal tak pernah saling mengenal sama sekali.

"Oh iya, nama lo siapa?"

Icha mengernyit mendengarnya, kata lo yang didengarnya terasa sangat mengganjal ditelinganya.

"Hallo .... Nama lo siapa?"

"Hah .... Oh nama iya nama, maaf lagi kurang fokus, gue Federica lo bisa panggil gue Icha saja atau bebas sesuka lo saja."

Icha mengulurkan tangannya, mereka merasa ada yang janggal dari nada bicara Icha.

Sepertinya itu bukan nada bicaranya sehari-hari, tapi bodoh amat itu bukan urusan mereka.

"Gue Jessy," ucapnya seraya menjabat tangan Icha, Icha mengangguk dan mengulurkan tangannya pada yang lain.

Sintia .... Audy .... Felly, jawabnya bergantian.

"Ok, salam kenal ya."

"Salam kenal juga, oh iya pesan sana biar makin enak ngobrolnya."

"Oh iya, lupa."

"Bentar ya gue panggil dulu."

Ucap Jessy seraya mencari keberadaan barista disana, Icha memejamkan matanya sesaat, hampir saja Icha bangkit untuk memesan menunya ke dalam sana.

Icha lupa kalau memesan itu bisa dengan memanggil pelayannya saja.

"Ayo pesan."

"Apa ya, masih kenyang sih, pesan minum sajalah."

"Silahkan kak, minuman apa?"

Icha melihat daftar menunya, begitu banyak pilihan tapi Icha tidak tahu yang mana yang pas dilidahnya.

"Ini ajalah, strawberry ya."

"Baik, mohon menunggu sebentar."

"Terimakasih."

Icha tersenyum, sudahlah, apa pun itu yang penting Icha sudah tahu seperti apa rasa strawberry.

"Jadi, tinggal dimana nih?"

Icha menyebetukan lokasi tinggalnya, Icha juga mengaku kalau hanya kos disana.

Sepertinya mereka tidak Begitu mempermasalahkan tentang itu, terserah saja Icha mau kost atau pun rumah pribadi.

"Lo kerja?"

Icha terdiam, kerja apa Icha sekarang, Icha tidak ada pekerjaan apa pun.

"Lagi kosong nih memang, sekalian kali ya kalau ada lowongan."

"Lagi cari kerja?"

"Iya gitulah, baru berhenti seminggu lalu, dan belum dapat ganti sanpai sekarang."

Mereka terlihat saling lempar pandangan setelah mendengar jawaban Icha.

"Lo mau kerjaan, tapi gak bagus-bagus banget sih, cuma hasilnya yang bagus banget."

"Kerja apa memangnya?"

"Sini, gue bisikin."

Icha memajukan tubuhnya mendekat ke Jessy, Icha mengeryit dan tak percaya dengan apa yang didengarnya itu.

"Biasa saja kali, ini Kota besar non, hal seperti itu sudah lumrah."

Icha tersenyum canggung mendengarnya, benarkah seperti itu keadaannya.

"Gimana mau gak, lumayan loh hasilnya bisa buat hura-hura."

"Kalian satu profesi?"

"Tentu saja, kalau tidak bagaimana kita bisa nyambung."

Icha kembali diam, benarkah itu adanya.

"Gimana, mau gak?"

"Gimana ya, yang lain gak ada gitu?"

"Kenapa lo gak berani, anak pesantren ya lo?"

"Bukan, kok anak pesantren sih."

"Ya lagian ngapain kaget dengar tawaran gue, berapa lama lo tinggal di Kota."

"Jangan-jangan baru malam ini saja."

"Enggak, enak saja sembarangan ya."

"Ya sudah biasa saja kali."

Perbincangan mereka terhenti saat minuman yang dipesan Icha telah datang, Icha langsung menikmatinya.

Segar sekali rasanya, Icha kembali melihat mereka semua.

Jujur saja Icha takut dengan apa yang ditawarkan Jessy, seburuk-buruknya Icha tapi tidak pernah merendahkan diri pada lelaki mana pun.

"Jadi gimana, mau gak?"

"Nanti sajalah, gue fikir dulu."

"Alaaahh parah banget, pekerjaan ini adalah pekerjaan paling enak di dunia."

"Kenapa?"

"Aduh kampungan banget sih."

Icha terdiam mendengarnya, benar juga Icha terlalu polos jika dihadapkan dengan mereka semua.

"Kalau lo ambil tawaran gue, lo gak perlu pusing nunggu gaji bulanan, tiap malam lo dapat, kalau perlu siang malam lo buka."

Icha tak menjawab, entahlah seperti apa pekerjaan itu, tapi Icha masih cukup sadar untuk mengerti jika pekerjaan itu kotor.

"Gak masalah santai saja, kalau memang masih mau cari yang lain silahkan, nanti lo bisa hubungi gue kalau lo setuju."

"Ok."

"Ok, mana sini ponsel lo?"

Icha memberikan ponselnya dan membiarkan Jessy mencatat kontaknya disana.