Setelah perpisahan itu Sean menepati kata-katanya untuk menghubungi Christoper. Kini mereka hanya terhubung melalui telepon karena Oktavius dan Evelyn adalah orang yang sibuk dan tidak mudah meluangkan waktu hanya untuk mengunjungi Christoper di panti asuhan.
Sean pun tak bisa memaksa karena ia harus cukup tahu diri. Meski kini ia memanggil kedua orang itu sebagai Papa dan Mama tetapi ia merasa tidak sepantasnya ia meminta ini dan itu karena dua orang kaya itu sudah dengan baik mengadopsinya sebagai anak sekaligus pewaris dari kekayaan keluarga Oktavius.
Pada mulanya Sean menelepon setiap hari. Lambat laun ia hanya menelepon setiap minggu. Lalu hanya beberapa minggu sekali. Itu semua karena setiap kali Sean menelepon ia selalu diawasi dari jauh oleh Evelyn atau setidaknya salah seorang pelayan yang bekerja di sana. Ia merasa sepertinya orang tua angkatnya tidak suka bila ia menghubungi Christoper. Itu sebabnya ia sudah. Jarang menghubungi Christoper, karena ia harus melakukannya secara diam-diam.
***
Suatu hari Christoper melihat berita di televisi bahwa keluarga Oktavius mengalami kecelakaan saat akan menuju ke bandara. Mendengar hal itu Christoper pun merasa begitu cemas dan menonton berita tanpa berkedip.
Di laporkan bahwa Tuan dan Nyonya Oktavius hanya mengalami cedera ringan, sopirnya tewas di tempat dan Sean terluka parah. Setelah mengetahui hal itu Christoper memaksa Ibu Sarah untuk menengok Sean di rumah sakit.
Tetapi ia harus menelan pil kecewa karena ternyata Sean kini berada sangat jauh darinya. Butuh waktu berjam-jam untuk bisa sampai ke tempat tinggal Sean sekarang. Di tambah lagi mereka tidak tahu di mana letak rumah sakit tempat Sean dirawat karena sebelum berita menyampaikan di mana Sean dirawat.
Sejak saat itu tak pernah ada lagi dering telepon dari Sean. Ia juga sudah tidak bisa lagi menghubungi Sean. Ia benar-benar sudah terpisah dengan Sean. Hingga suatu hari sebuah media mengabarkan isu bahwa Sean, putra tunggal Tuan dan Nyonya Oktavius mengalami amnesia.
Ia pernah mendengar nama penyakit itu dari beberapa film yang pernah ia saksikan di televisi. Itu artinya Sean sudah melupakannya dan tak ada lagi kenangan di antara mereka yabg tersisa di dalam kepala Sean. Christoper benar-benar terpisah dan terputus hubungan dengan saudaranya kembarnya.
Sejak ia tahu Sean mengalami amnesia ia tak lagi pernah berdiri di depan telepon hanya untuk menunggu kabar dari Sean. Hari-harinya dilalui dengan rasa sepi.
Hingga suatu hari datang sepasang suami istri yang tampaknya dari kalangan biasa. Mereka adalah Adam dan Liliana. Melihat Sean yang murung di antara anak-anak yang tersenyum hal itu malah membuat sepasang suami istri itu memilihnya untuk diadopsi.
Christoper hampir saja tidak percaya bahwa akhirnya ia memiliki orang tua. Meski mereka bukan dari kalangan orang terpandang seperti Oktavius dan Evelyn tapi Adam dan Liliana tak tampak lebih buruk. Justru lebih baik. Terlebih Liliana yang tersenyum begitu teduh pada Christoper. Saat itu baru ia tahu rasanya melihat senyuman seorang ibu.
Christoper dibawa ke rumah Adam dan Liliana yang berjarak satu jam dari panti asuhan. "Nah, Christoper, ini rumahmu sekarang," ucap Liliana dengan senyumnya yang selalu teduh.
Christoper mengedarkan matanya mengelilingi rumah sederhana itu. Bangunannya tidak besar tapi cukup untuk mereka bertiga. Di dalamnya ada dua kamar tidur, satu kamar mandi, satu dapur, sebuah ruang tamu yang menyatu dengan ruang keluarga dan satu ruang kecil di bagian belakang yang digunakan untuk cuci jemur.
"Terima kasih, kalian sudah mau mengadopsiku, kukira aku tidak akan memiliki siapa pun di dunia ini setelah berpisah dengan saudaraku," kata Christoper.
"Kenapa kalian berpisah?" tanya Liliana.
Christoper tercenung mendengar pertanyaan itu. Kemudian ia cepat-cepat menggeleng, "ah, tak perlu membahas hal itu, sekarang aku sungguh senang bisa memiliki orang tua," katanya. Percuma menceritakan tentang Sean pada Adam dan Liliana. Toh, Sean sudah melupakannya. Kini ia punya hidupnya sendiri.
***
Meski di tengah keluarga yang sederhana tetapi Adam dan Liliana menyelimuti Christoper dengan kasih sayang. Liliana tak pernah membiarkan Christoper melewatkan sarapannya karena baginya itu penting sebagai persiapan belajar di sekolah.
Ia juga selalu menyiapkan bekal yang enak untuk Christoper. Walau terkadang hanya dua lembar roti gandum dengan selai tetapi saat sampai di lidah Christoper rasanya sungguh nikmat karena roti itu disiapkan dengan cinta.
Adam juga bersikap baik pada Christoper. Ia mengajarkan banyak hal yang sebelumnya tidak diketahui oleh Christoper, mengajaknya memainkan permainan anak laki-laki dan selalu membantunya mengerjakan PR saat sudah pulang kerja.
Baru kali ini Christoper benar-benar merasakan hidupnya dipenuhi dengan warna dan bertabur hangatnya sinar mentari. Rasa kehilangannya lambat laun terobati dengan kasih sayang yang diberikan Adam dan Liliana.
Namun hal itu tak berlangsung lama. Suatu hari Christoper melihat Liliana malam-malam berlari ke kamar mandi seperti akan memuntahkan sesuatu. Christoper pun dengan polosnya membuntuti Liliana dan memerhatikan perempuan itu dari balik pintu. Ia melihat Liliana memuntahkan darah yang sangat banyak dan hal itu membuat Christoper sangat terkejut hingga nyaris saja menjerit.
Saat pintu dibuka Liliana sangat terkejut melihat Christoper berdiri di sana. "Christoper, apa kau melihat apa yang ibu lakukan di dalam?" tanyanya.
Christoper mengangguk pelan disusul wajahnya yang diliputi rasa khawatir. "Ibu kenapa?" tanyanya.
Liliana tersenyum lemah, "jangan beritahu ayah, ya, ini rahasia di antara kita, kau bisa jaga rahasia, kan?" pintanya.
Christoper bergeming tidak tahu harus bagaimana. Ia hanya bisa menahan tangisnya.
"Kau anak yang baik, kau pasti bisa kan memenuhi permintaan ibu?" bujuk Liliana.
Christoper akhirnya menganggukkan kepala seraya air bening menetes dari pelupuk matanya. "Tapi ibu kenapa?" tanyanya lagi.
"Umur ibu sudah tidak lama lagi, Nak," kata Liliana sambil menangkup wajah Christoper, "ibu mengidap kanker darah dan dokter bilang penyakit ini sudah sangat parah," ungkapnya.
"Kalau begitu ayo kita ke dokter, dia pasti bisa menyembuhkan ibu," ajak Christoper.
Liliana menggeleng, "tidak, kita tidak punya uang yang cukup untuk pergi ke dokter, lagi pula ibu merasa ibu tidak ada harapan lagi," katanya.
Christoper akhirnya menangis juga, "ibu jangan bilang seperti itu, ibu pasti sembuh," sanggahnya.
"Christoper, kau harus tahu, memilikimu adalah hal terbesar yang pernah ibu punya, karena dengan adanya kau ibu bisa tahu betapa indahnya menjadi seorang ibu," ungkap Liliana seraya berlinang air mata kemudian memeluk Christoper.
Tiba-tiba saja Adam keluar dari kamar dan melihat Liliana dan Christoper yang sedang berpelukan di depan kamar mandi. "Ada apa ini, kenapa kalian berpelukan di depan kamar mandi sambil menangis begitu?" tanya Adam.
"Ah, tidak, tadi Sean mimpi buruk dan langsung keluar dari kamar, kebetulan aku juga sedang ke kamar mandi jadi aku memeluknya di sini," dalih Liliana.
"Kenapa kau ikut menangis?" tanya Adam tampak tak percaya.
"Em, Christoper bermimpi hanyut di sungai, aku jadi ikut sedih dan takut kehilangannya," jawab Liliana.
Adam menghela napas kemudian mendekat dan memeluk keduanya, "sudahlah, itu hanya mimpi, tidak akan ada yang pergi dari sini, kita akan terus bersama-sama dan tidak akan ada yang memisahkan kita," begitu kata Adam kemudian menatap Christoper, "Nak, kau tidur saja bersama kami jika kau takut, lagi pula kita belum pernah tidur bertiga kan?" ajaknya.
Mereka pun tidur bersama-sama dalam satu kasur yang sebenarnya tak cukup besar untuk mereka bertiga namun hal itu tetap mereka lakukan karena meski harus berhimpitan setidaknya mereka tidak harus bersentuhan dengan udara dingin di malam hari.
***
Suatu pagi saat Christoper akan pergi ke sekolah dan Adam akan pergi bekerja tiba-tiba saja terdengar suara seperti benda jatuh dari dapur. Saat Adam mengecek rupanya itu Liliana yang jatuh pingsan dengan wajah yang sangat pucat
.