Christoper mendekati Adam yang sejak tadi tertunduk meratapi kesedihannya. Jemari kecilnya berusaha meraih bahu Adam tetapi tiba-tiba, "kenapa?!!" teriak Adam dengan mata menyala-nyala membuat Christoper ketakutan.
Sejak hari itu Adam tidak lagi seperti seorang ayah bagi Christoper. Setiap hari hanya ada pandangan penuh kebencian yang terpancar dari mata pria itu. Meski berapa kali pun Adam bersikap baik dengan menyiapkan makan dan air mandi Adam tetap saja tak mengindahkan hal itu.
Tak berapa lama Adam dipecat dari pekerjaannya sementara Christoper baru saja diberi peringatan dari sekolah bahwa ia harus segera membayar uang sekolahnya yang sudah menunggak 3 bulan.
Saat pulang ke rumah Christoper tidak tahu harus bagaimana saat berhadapan dengan Adam. Entah bagaimana uang sekolahnya bisa tidak dibayarkan padahal sebelumnya tidak pernah begitu.
Christoper dibuat bertanya-tanya dengan Adam yang duduk di pojokan ruang tamu seperti orang kehilangan akal. Sebuah botol minuman dari kaca tampak tergeletak di sampingnya. Isinya sudah habis, entah minuman apa itu.
Ia memberanikan diri memberikan surat peringatan dari sekolahnya pada Adam. "Ayah, kau harus membaca ini," ujarnya dengan nada takut.
Adam menerima selembar kertas itu kemudian membacanya.
"Bu guru bilang, uang sekolahku sudah 3 bulan tidak dibayar dan jika sampai minggu depan tidak juga dibayar aku tidak bisa pergi ke sekolah lagi," tutur Christoper.
"Kalau begitu tidak usah pergi ke sekolah!" bentak Adam sambil membuang surat peringatan di tangannya.
Christoper terkejut hingga ia melangkah mundur, "tapi, kenapa aku tidak usah sekolah, bukankah sekolah itu penting?" protesnya.
Adam naik darah dan matanya menyala, "kau tidak tahu sulitnya mencari uang, dasar bodoh!" umpatnya, "aku sudah dipecat dari pekerjaanku jadi bagaimana aku bisa membayar uang sekolahmu, kalau kau tetap ingin pergi ke sekolah, cari saja sendiri uangnya!" sergah Adam kemudian meninggalkan Christoper dengan langkah gontai.
***
Esok hari Christoper berusaha menemui gurunya tetapi ia malah diam berdiri sambil memandangi sang guru di mejanya. Entah kenapa ia jadi takut untuk mendekat padahal guru dengan rambut pendek dan muka yang ramah itu juga tak pernah marah di kelas.
Sang guru yang sedang makan siang kemudian menyadari kehadiran Christoper yang entah sejak kapan berdiri di ambang pintu. "Apa ada yang ingin kau bicarakan dengan saya, Christoper?" tanyanya.
Christoper bergeming seolah mengunci rapat-rapat bibirnya.
"Kemarilah," suruh sang guru.
Christoper kemudian masuk ke dalam ruangan dan mendekat ke meja.
"Kau sudah makan siang?" tanya sang guru.
Christoper menggeleng, "belum, saya tidak diberi uang saku," ungkapnya.
"Kenapa?" tanya sang guru.
"Ayah saya tidak punya uang," jawab Christoper.
Mendengar hal itu sang guru pun mulai menebak maksud kedatangan muridnya itu.
"Kalau begitu, ada perlu apa kau ke mari?" tanya sang guru lagi.
Christoper diam sejenak tetapi kemudian ia menatap sang guru dengan berani, "ayah saya bilang, dia tidak bisa membayar uang sekolah lagi karena sekarang dia tidak punya pekerjaan, em...apa tidak ada cara agar saya bisa tetap sekolah?" tanyanya.
Sang guru menatap Christoper dengan iba kemudian menghela napas, "saya tidak bisa banyak membantu tapi saya akan coba bicarakan ini dengan kepala sekolah, semoga saja kau tetap bisa belajar di sini," ujarnya.
Christoper tampak berkaca-kaca, "terima kasih, Bu, karena sudah mau membantu saya," ucapnya kemudian berniat pergi. Tetapi langkahnya dihentikan oleh sang guru yang tiba-tiba menarik bahunya. Christoper pun berbalik kembali menatap gurunya. "Ada apa, Bu?" tanyanya.
Sang guru mengeluarkan selembar uang dari dalam dompetnya, "ini, belilah makan siang, perutmu tidak boleh kosong saat kau belajar," katanya.
Christoper tersenyum, "terima kasih," ucapnya kemudian benar-benar pergi.
Saat Christoper di kantin dan bersiap menyantap makanan yang ia beli tiba-tiba beberapa anak mengelilinginya. Suasana pun berubah menjadi tidak menyenangkan. Anak-anak itu dari kalangan orang kaya dan sering kali mengejek anak-anak yang miskin seperti dirinya.
"Hei, kau, aku tidak tahu kau bisa membeli makanan enak di sini, apa kau baru saja mencuri?" olok salah seorang dari mereka.
Christoper bergeming dan tetap menyantap makanannya tanpa menghiraukan anak-anak menyebalkan itu.
"Kudengar kau tidak bisa membayar uang sekolah, ya?" ejek anak itu lagi.
"Orang tuanya pasti sengaja tidak membayar uang sekolah karena dia anak pungut," timpal anak lain.
Mendengar kata-kata itu Christoper mulai gusar.
"Hahaha, mana ada orang yang bisa menyayangi anak yang tidak jelas asal-usulnya sepertimu, dasar anak pungut!" tambah olokan lainnya.
Christoper sudah tidak bisa menahan amarahnya lagi. Ia pun berdiri dan menatap anak itu satu per satu. Anak-anak itu pun tampak tak takut dengan tatapan Christoper yang berbahaya.
Tanpa ba-bu-bu Christoper mengangkat meja makan dan menghantamkan meja itu ke salah satu anak yang berdiri tepat di depan meja. Kemudian ia melemparkan mangkuk berisi makanan yang masih panas ke anak yang berdiri di sampingnya.
Keduanya kesakitan dan tersungkur di lantai. Kemudian Christoper melirik anak yang berdiri di sisi yang lain. Anak itu melangkah mundur ketakutan melihat wajah Christoper yang lebih menyeramkan dari wajah hantu. Anak itu bahkan sampai menangis.
Si penjaga kantin kemudian segera melerai pertikaian itu dan salah seorang anak yang berada di sana melaporkan Christoper kepada seorang guru yang kebetulan berada di sekitar kantin.
Semua orang terkejut dengan apa yang dilakukan Christoper termasuk juga sang guru yang ia mintai bantuan. Anak yang ia hantam dengan meja tadi akhirnya dibawa ke rumah sakit karena ia terus mengeluh kesakitan.
Tetapi saat ia berada di ruang kepala sekolah ia sama sekali tidak menunjukkan wajah bersalah atau bahkan menyesal, tidak sedikit pun.
"Mereka yang mulai, mereka terus mengejek tentang kemiskinanku dan juga aku yang diadopsi orang tuaku, memangnya ada yang salah dengan kedua hal itu?" Christoper berusaha membela diri di depan kepala sekolah.
Sang guru yang berdiri di belakang Christoper tampak memahami apa yang Christoper rasakan tetapi ia tidak bisa berbuat banyak.
"Christoper, kau sudah 3 bulan tidak membayar uang sekolah dan aku sedang berusaha membantumu mendapatkan beasiswa, tetapi kau malah membuat onar di sekolah ini, apa kau tidak sadar bahwa tindakanmu sudah melampaui batas?" omel kepala sekolah.
"Pak, mungkin dia sebenarnya tidak bermaksud begitu, tetapi karena keadaan..." bela sang guru.
"Diam kau!" potong kepala sekolah kemudian kembali menatap Christoper. "Dengar, temanmu masuk rumah sakit, jika terjadi sesuatu padanya, aku tidak tahu lagi apa yang harus aku lakukan untukmu," tegasnya.
Christoper kemudian dipersilakan meninggalkan ruangan. Ia pun pergi meninggalkan ruangan kepala sekolah. Saat pergi ia masih bisa mendengar gurunya yang baik hati itu masih berusaha membantunya tetapi kepala sekolah tampak tak peduli.
"Pak, tolong, jangan begitu pada Christoper, dia termasuk anak yang cerdas..."
"Bisa-bisanya kau masih membelanya, apa kau tidak tahu apa yang baru saja dia lakukan, aku bahkan sangat tidak menyangka anak seusianya bisa melakukan hal semacam itu, menimpakan sebuah meja kepada teman sekolahnya sendiri!"
"Mungkin saja dia memang tersudut dan tidak bisa mengendalikan dirinya, dia sedang dalam situasi sulit sekarang,"
"Apa pun katamu, jika terjadi sesuatu yang serius pada anak itu, aku akan langsung mengeluarkan Christoper dari sekolah ini!!"
Christoper terus berjalan menuju ke kelasnya. Saat sampai semua anak menatapnya dengan takut. Mereka tampak menjaga jarak dengan Christoper yang ternyata memiliki sisi menyeramkan.
Sementara Christoper tak menghiraukan hal itu karena memang hal itu sudah biasa terjadi sejak ia masih berada di panti asuhan.
***
Saat pulang ke rumah lagi-lagi Christoper melihat Adam bersama botol yang sama dengan keadaan yang sama. Ia pun teringat pada sebuah pelajaran di sekolah yang pernah mmeyebutkan bahwa alkohol itu memabukkan dan tidak baik jika diminum. Ia berpikir mungkin itulah alkohol.
Saat Adam terlelap Christoper mengambil botol minuman Adam yang sudah kosong dan membaca setiap tulisan yang tertera di sana. Ia melihat minuman itu mengandung alkohol.
***
Esok hari Christoper tahu bahwa anak yang kemarin ia timpa dengan meja mengalami luka serius di bagian organ dalam sehingga harus dirawat secara intensif di rumah sakit.
Kepala sekolah tahu Christoper tidak akan bisa memberikan ganti rugi untuk mengganti fasilitas sekolah yang sudah ia rusak atau bahkan mengganti biasa pengobatan anak kemarin. Orang tuanya juga tidak datang ke sekolah karena Christoper tidak mengatakan apa-apa pada Adam.
Christoper seakan sudah menebak ini akan terjadi. Bahwa ia memang tidak akan lagi belajar di sekolah itu. Tepat jam 10 pagi ia menerima surat resmi dari kepala sekolah yang menyatakan ia sudah dikeluarkan dari sekolah. Sang guru menatapnya dengan iba ketika Christoper menerima surat itu. Tetapi apa lagi yang bisa anak itu lakukan. Umurnya bahkan masih 10 tahun. Akhirnya ia hanya bisa pergi meninggalkan sekolah itu tanpa mengatakan apa pun.
***
Christoper kini duduk diam di tepi jendela kamarnya dengan tatapan kosong. Apa lagi yang akan ia lakukan. Sekolah tidak mau lagi menerimanya. Adam juga tidak lagi peduli padanya. Setiap hari pria itu hanya bersahabat dengan minuman.
Tiba-tiba saja Christoper merindukan Sean. Entah bagaimana kabarnya sekarang. Diadopsi oleh orang yang sangat kaya, apakah Sean juga menjadi menyebalkan seperti anak-anak yang mengolok-oloknya di sekolah? Atau dia tetap menjadi Sean yang selalu menyenangkan dan disukai semua orang.
Sedang melamunkan Sean tiba-tiba Adam membuka pintu kamar dan menghampirinya. "Ikut aku."