Adam pun membaringkan Liliana di ranjang. Tak berapa lama perempuan itu membuka matanya dengan lemah. "Sayang, apa kau sakit, kau pucat sekali?" tanyanya cemas.
"Tidak, mungkin aku hanya sedikit flu," jawab Liliana, "kenapa kau belum pergi kerja?" tanyanya.
"Kau pingsan begini mana bisa aku pergi," jawab Adam.
"Tidak papa, pergi saja, aku akan baik-baik saja," kata Liliana sambil menatap Christoper yang berdiri di belakang Adam memperingatkan agar jangan mengeluarkan sepatah kata pun.
"Apa kau yakin, jika ini flu tidak mungkin kau sepucat ini?" Adam tampak semakin cemas.
"Aku baik-baik saja, jangan khawatir," kata Liliana.
Adam kemudian menoleh pada Christoper, "nanti saat kau pulang sekolah kau harus langsung pulang, ya, jangan pergi ke mana-mana, jaga ibu di rumah, ayah tidak akan ambil lembur supaya bisa cepat pulang," katanya.
Christoper menganggukkan kepala, "baik, ayah," jawabnya patuh.
Namun saat Adam keluar dari rumah Christoper tidak pergi ke mana pun. Ia tetap di rumah dan menjaga Liliana. Ia menyiapkan air hangat dan makanan untuk Liliana. Mengerjakan PR juga di kamar Liliana. Ia hanya pergi untuk mengambilkan makanan atau ke kamar mandi.
"Terima kasih, Christoper, kau tidak memberitahukan penyakit ibu," ucap Liliana lemah.
"Kenapa aku tidak boleh bilang?" tanya Christoper.
"Nak, ayahmu sangat mencintai ibu, ibu juga sangat mencintainya, dia akan sangat terluka jika tahu ibu sakit seperti ini, dia pasti akan merasa tidak bisa membahagiakan ibu karena dia miskin, itu sebabnya ibu tidak ingin dia tahu," terang Liliana. "Saat kau dewasa nanti kau juga pasti akan mengerti," tambahnya.
Christoper hanya bisa menganggukkan kepala meski ada banyak pertanyaan di dalam kepalanya. Kenapa orang-orang dewasa harus bersikap rumit walau semuanya bisa dilakukan dengan mudah. Kenapa pula harus ada hal-hal rumit yang sulit dijelaskan di dunia ini?
Sampai akhirnya Christoper pun tertidur
di sisi Liliana yang juga beberapa menit yang lalu memejamkan mata untuk beristirahat.
Saat Christoper bangun hari sudah sore dan sebentar lagi Adam akan pulang. Ia melirik ke Liliana yang masih memejamkan matanya. Dilihatnya perempuan itu masih bernapas meski sesekali tampak tidak teratur. Christoper tak ingin menganggu Liliana yang sedang tidur. Ia pun pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
Namun saat ia kembali lagi ke kamar Liliana ia mengerutkan dahi karena dada Liliana tidak lagi kembang kempis seperti orang bernapas pada umumnya. Ia pun mendekat dan menyentuh hidung Liliana. Tidak ada udara yang keluar masuk dari sana.
"Ibu?" panggil Christoper.
Liliana bergeming dan wajahnya kini benar-benar pucat seperti orang mati.
Christoper mulai berlinangan air mata, tahu apa yang terjadi. "Ibu, bangun, sudah sore, sebentar lagi ayah pulang," kata Christoper sambil menggoyangkan tubuh Liliana.
Namun tubuh itu bahkan sudah terasa dingin dan kaku.
"Ibu, ayo bangun," Christoper meratap berharap Liliana akan membuka matanya.
Tak berapa lama terdengar suara pintu dibuka. Adam sudah sampai di rumah dan ia memanggil-manggil nama Liliana dan Christoper. Namun yang ia dengar hanya suara tangisan Christoper yang berasal dari dalam kamarnya. Ia pun cepat-cepat masuk.
"Apa yang terjadi, Christoper?" tanya Adam cemas begitu melihat Christoper menangis tersedu-sedu di samping Liliana yang terbaring memejamkan mata.
Adam membangunkan Liliana. Namun karena tak merasakan napas Liliana ia memegang denyut nadi perempuan itu. Beberapa detik kemudian wajah Adam dipenuhi duka. Air mata pun mengalir di pipinya. "Ini tidak mungkin," gumamnya kemudian terus menangisi istrinya yang hanya tinggal jasad tanpa nyawa.
***
Hujan turun mengiringi upacara pemakaman Liliana. Doa-doa dipanjatkan seiring dengan tanah yang mengubur jasadnya ke dalam perut bumi.
Christoper hanya bisa menatap nanar perempuan penuh kasih sayang yang pernah ia kenal dalam hidup. Entah kenapa air matanya tidak mau keluar padahal dia ingin menangis.
Sementara Adam tersedu-sedu meratapi kepergian istrinya yang paling ia cintai. Begitu tanah telah sepenuhnya menggunung di atas jasad Liliana, Adam pun kini memeluk batu nisan bertuliskan namanya.
"Kenapa begitu cepat kau tinggalkan aku," ratap Adam. "Aku merasa baru kemarin aku menikahi seorang perempuan cantik dengan senyuman yang paling teduh yang pernah kulihat, aku bahkan belum bisa membahagiakanmu," Adam mengeratkan pelukannya tak peduli air hujan telah membuatnya basah kuyup.
Upacara pemakaman itu akhirnya usai juga dan orang-orang pun mulai meninggalkan pusara satu demi satu. Hingga tinggallah Adam dan Christoper yang masih berlindung di balik payungnya.
Adam masih memeluk batu nisan istrinya bahkan sesekali mendaratkan kecupan di sana. Sementara Christoper sudah merasa kedinginan sejak tadi.
"Ayah...ayo pulang," ajak Christoper akhirnya berani membuka mulut.
Adam hanya bergeming dan masih saja meracau meratapi Liliana yang tinggal nama.
"Ayah..." Christoper menyentuh bahu Adam.
Adam pun menoleh perlahan dan menunjukkan sorot mata yang tajam. Christoper bahkan terkejut melihat sorot mata itu karena ia tak pernah melihat hal itu sebelumnya.
"Kau bukan anak kandungnya, mana tahu bagaimana hancurnya aku," ujar Adam penuh penekanan.
Christoper terkesiap tak berani berkata apa-apa lagi. Ia tak punya pilihan selain tetap berdiri menunggu Adam yang sudah larut.
Tetapi Adam menyadari Christoper yang tetap berdiri di tempatnya. Ia menoleh lagi, "kenapa masih di sini, kalau kau mau pulang, pulang saja sendiri!" bentaknya.
"Kalau aku pulang nanti ayah kehujanan," sanggah Christoper.
Adam kembali memperlihatkan mata tajamnya, "apa kau tidak lihat pakaianku sudah basah?" bentaknya, "pergi!" teriaknya mengusir Christoper.
Christoper tak pikir panjang. Begitu mendengar teriakan Adam kakinya secara otomatis melangkah pergi meninggalkan Adam yang kembali memeluk nisan Liliana. Sesekali ia menoleh ke belakang dan yang ia lihat masih sama. Entah kenapa melihat Adam yang seperti itu firasatnya jadi tidak baik.
***
Christoper kini sampai di rumah dan langsung mengganti pakaiannya dengan pakaian yang lebih hangat. Di luar masih hujan dan Adam masih belum kembali. Ia menunggu sampai tertidur di kursi.
Ketika hari sudah hampir gelap Adam baru kembali dengan pakaiannya yang basah kuyup dan kotor. Saat itu juga Christoper langsung terbangun. "Ayah, akhirnya pulang juga," ujarnya sambil berdiri. "Aku akan siapkan air hangat supaya ayah bisa langsung mandi," lanjutnya.
Adam hanya diam saja tak memberikan respon apa pun. Setelah air hangatnya siap ia juga mandi dengan tenang. Setelah itu ia masuk ke kamar. Christoper memerhatikan Adam yang tampak berubah menjadi aneh. Ia benar-benar larut dalam kesedihan dan kini malah jadi seperti orang ling-lung.
Adam baru saja akan membuka pintu kamarnya tetapi ia berhenti ketika matanya menemukan Christoper sedang berdiri mengamatinya. "Terakhir kali Liliana tampak sangat pucat, apa kau tahu sesuatu?" tanyanya.
Christoper menggeleng tanpa berani menatap wajah Adam. Ia masih ingin memegang janjinya pada Liliana untuk tidak mengatakan tentang penyakitnya.
Adam melangkah mendekat, "kau tahu sesuatu," gumamnya.
Christoper mundur berusaha menjaga jarak dengan Adam seraya masih menundukkan kepalanya. "Tidak, ayah," jawabnya lirih.
"Katakan!" sergah Adam dengan mata menyala-nyala.
Christoper terkesiap dan hampir saja melompat dari tempatnya. Untuk pertama kalinya ia merasa ketakutan berhadapan dengan Adam. Ia pun menangis, "maafkan aku ayah, tapi ibu melarangku untuk memberitahu ayah," isaknya.
Adam naik darah dan tiba-tiba mencengkeram bahu Christoper, "kubilang katakan, katakan!" bentaknya.
Christoper tidak punya pilihan lagi selain jujur, "i-ibu sakit kanker darah," ungkapnya dengan derai air mata. Ia lalu bersujud di depan Adam, "maafkan aku, sebenarnya aku ingin mengatakannya tapi ibu selalu melarangku," ia berusaha membela diri.
Hati Adam serasa mencelos mengetahui istrinya selama ini sekarat dan ia tidak tahu apa-apa. Ia kemudian menangis, tampak menyesal cukup lama.
"Kenapa dia lebih memilih mengatakannya padamu daripada aku," gumam Adam sambil menatap tajam pada Christoper.