Amanda kemudian lanjut membersihkan riasannya dan mengganti baju pengantinnya dengan piyama di kamar mandi. Ia sengaja tidak mengganti pakaian di depan Sean bukan karena ia tidak ingin membiasakan hal itu setelah mereka menikah. Entah kenapa ia masih merasa takut berada di sisi pria itu terlebih sekarang mereka hanya berdua saja jadi perasaan mencekam itu semakin kentara.
Setelah keluar dari kamar mandi Amanda melihat Sean yang masih terjaga dan duduk bersandar di ranjang. "Sudah selesai?" tanya Sean.
"Sudah," jawab Amanda tanpa sadar masih berdiri mematung di depan pintu kamar mandi.
Sean lalu menepuk-nepuk sisi ranjang di sampingnya, "kemarilah, kenapa hanya berdiri di situ?"
Amanda baru tersadar bahwa ia hanya berdiri saja. Ia lalu melangkah ke ranjang dan duduk di samping Sean dengan ragu. Berada di samping pria itu hanya berdua saja di tengah malam yang sudah larut begini, rasanya ada sesosok iblis yang sedang mengintimidasinya dengan tatapan tajam sambil membawa trisula dengan ujungnya yang tajam.
"Kau tampak gugup, bukankah aku sudah bilang aku tidak akan melakukannya malam ini?" tanya Sean.
"Ah, ya, aku akan tidur sekarang," jawab Amanda kemudian cepat-cepat menarik selimut seakan selimut itu adalah perisai yang akan melindunginya.
Sean pun kemudian mengatur posisi yang nyaman di samping Amanda. Tetapi tiba-tiba ia menoleh ke arah Amanda, "kau tidak ingin memelukku?" tanyanya.
Amanda yang sudah memejamkan mata lalu membuka matanya lagi kemudian memeluk Sean dan kembali memejamkan mata. Sean membelai-belai rambut panjang Amanda, tanpa sepengetahuan perempuan itu Sean mengeluarkan seringai yang jahat.
***
Burung-burung bersiul di ranting-ranting pohon. Sinar matahari memaksa masuk melalui celah-celah jendela. Mata Amanda perlahan terbuka karena terganggu sinar yang memudarkan mimpinya selama semalaman.
Amanda menggeliat dan menoleh ke samping. Ia melihat Sean masih memejamkan mata. Kalau begitu Sean tampak tak menakutkan seperti sebelumnya. Posisinya yang meringkuk seperti janin malah membuatnya tampak seperti anak malang yang kesepian. Entah kenapa kelihatannya begitu, atau mungkin memang selalu seperti itu atau karena ini pertama kalinya ia tidur bersama Sean.
Amanda kemudian beranjak dari tempat tidurnya dan membuka jendela. Cahaya yang masuk dengan berbondong-bondong membuat Sean langsung menggeliat dan mengubah posisi membelakangi cahaya yang menusuk matanya.
Amanda duduk di ambang jendela dan memerhatikan Sean lagi. Pria itu kembali tenang dan napasnya juga teratur. Semalam tak terjadi apa-apa sesuai kata Sean. Tampaknya pria itu memang sangat kelelahan. Amanda juga merasakan hal yang sama.
Seharian menggunakan sepatu hak tinggi dan menyalami para tamu undangan sungguh sangat melelahkan. Beruntung Sean bisa mengerti. Kalau tidak mungkin saja ia baru akan bangun jam 9 pagi atau bahkan jam 12 siang nanti.
Tak berapa lama Sean membuka matanya dan tiba-tiba saja melompat. "Apa aku tidur?" tanyanya.
Amanda mengerutkan dahi "iya, kau tidur semalaman, lantas?"
"Jam berapa kita mulai tidur?" tanya Sean lagi.
"Seingatku di atas jam 11 malam," jawab Amanda merasa aneh.
"Dan sekarang jam berapa?"
"Jam 7 pagi," jawab Amanda lagi.
Sean lalu beranjak dari ranjang dan melangkah menuju ke kamar mandi sambil garuk-garuk kepala.
"Memangnya kau sedang buru-buru? Mau ke mana?" tanya Amanda.
"Ah, tidak, aku hanya tidak menyangka aku bisa tidur selama itu," jawab Sean.
"Memang biasanya kau tidur berapa jam dalam sehari?" tanya Amanda.
"Sebentar saja, mungkin hanya sekitar 4 atau 5 jam saja," jawab Sean.
"Kau serius, setauku kau bisa menghabiskan waktu seharian untuk tidur karena kau biasanya selalu sibuk di kantor," Amanda mengerutkan dahi.
"Aku tidak ingat aku pernah mengatakan itu," kata Sean.
Amanda mengerutkan dahi tampak mengingat-ingat "tapi aku ingat kau pernah mengatakannya," sanggahnya.
"Sudahlah, tak perlu pikirkan itu, lebih baik kita segera bersiap saja, aku ingin segera pindah ke rumah kita," kata Sean.
"Kenapa kau ingin cepat-cepat pindah, aku masih ingin lebih lama di sini, setidaknya tundalah sampai besok," Amanda bernada sedih.
"Menurutku akan lebih baik kalau kita bisa secepatnya pindah," pikir Sean.
Amanda tertunduk "baiklah," jawabnya lirih.
Setelah mandi mereka kemudian menuju ke meja makan untuk sarapan. Di sana sudah ada Edwin yang tampak sedang mengoleskan selai kacang pada selembar roti. Itu memang sarapan yang biasa ia nikmati.
Langkah kaki Amanda dan Sean yang menuruni tangga mengalihkan perhatian Edwin. "Kupikir kalian belum bangun," katanya sambil mengoleskan selai pada roti ke-dua.
"Kenapa kami belum bangun?" Amanda mengerutkan dahi setelah sampai di meja makan.
"Kalian kan pengantin baru, wajar jika setelah malam pertama kalian akan kesiangan, dulu ayah baru bangun jam 10 pagi," ujar Edwin sambil melirik Sean.
Sean yang sedang meneguk minuman di meja pun melihat lirikan itu dan hanya bisa meneguk minumannya yang tiba-tiba saja tersangkut di dalam tenggorokan.
"Kami belum melakukannya, ayah, kami sangat kelelahan sehingga semalam kami langsung tidur," ungkap Amanda.
Melihat keterbukaan Amanda kepada ayahnya membuat Sean sedikit terkejut tetapi ia berhasil menyembunyikan perasaannya itu. Sementara Edwin hanya mengangguk-angguk pelan tampak juga sudah terbiasa dengan keterbukaan putrinnya.
"Ehem…" Sean berdehem kemudian menatap Edwin "kami berniat pindah hari ini ke rumah kami," ungkapnya.
Edwin terkejut kemudian tampak termangu. Amanda hanya bisa menatap Sean dengan tatapan tajam karena ia tak menyangka Sean akan secepat itu berterus terang.
"Kenapa, kenapa cepat sekali?" tanya Edwin tampak berusaha menerima.
"Menurutku itu lebih baik, ayah, bukankah kami bisa langsung belajar mandiri, lagi pula rumah itu sudah siap huni sejak lama," papar Sean dengan senyuman penuh arti.
Mata Edwin meredup "apa kalian sudah pikirkan ini baik-baik?" tanyanya lirih.
"Em, ayah…" sahut Amanda sambil memegangi jemari ayahnya yang sudah keriput, "ayah jangan sedih, ya, walaupun kami segera pindah tapi kami akan sering berkunjung," lanjutnya lembut.
Edwin tersenyum tegar sambil menganggukkan kepala dan menggenggam jemari Amanda "ya, ayah hanya tidak menyangka kalian akan pindah secepat ini, terus terang saja ayah merasa kehilangan, tapi ini hanya perasaan ayah saja, jangan pikirkan itu," katanya.
"Tapi tidak papa kan kalau kami pindah sekarang, ayah tidak keberatan kan?" sahut Sean.
Amanda dan Edwin sontak menoleh ke arah Sean tampak sama-sama terkejut tetapi kemudian Edwin menganggukkan kepala "ya, tidak papa kalau itu sudah jadi keputusan kalian," jawabnya.
Sean tersenyum, "lagi pula sekarang aku suami Amanda, jadi tidak masalah bukan jika aku ingin membawanya bersamaku, aku ingin…berduaan saja dengannya, untuk menikmati masa-masa pengantin baru kami," paparnya.
"Ya, kau benar, kau suami putriku sekarang," kata Edwin.
Setelah itu kegiatan sarapan pun berlangsung dengan keheningan. Hanya suara piring yang berbenturan dengan sendok yang mengisi kesunyian itu. Entah kenapa Amanda jadi sedih terlebih melihat ekspresi Edwin yang jadi murung setelah mendengar ia dan Sean akan pindah hari itu juga.
Di sisi lain Amanda juga tidak menyangka Sean akan setega itu berterus terang dan tidak mau menunda waktu sedikit saja padahal ia juga tahu Amanda anak perempuan satu-satunya di rumah itu dan sangat dekat dengan Edwin. Ia jadi kesal, apa begini sifat asli Sean setelah berhasil memperistrinya?
Tak berapa lama Sean dan Amanda pun berkemas. Dua koper besar tiba-tiba saja sudah siaga di teras menunggu untuk diseret oleh Sean dan Amanda. Edwin pun berdiri mematung melihat koper-koper itu akhirnya dimasukkan ke bagasi.
"Ayah, kami pamit sekarang," kata Sean.
"Nak, sebelum kalian pergi, ada yang ingin ayah sampaikan," kata Edwin.
"Apa itu?" tanya Sean.
"Amanda adalah putriku satu-satunya, dialah satu-satunya wanita dalam hidupku setelah istriku tiada jadi kuharap kau benar-benar menjaganya, jangan sampai kau buat dia menangis karena selama ini aku sudah memberikan seluruh sisa hidupku untuk menyayanginya, sekarang giliranmu untuk menggantikanku," kata Edwin panjang lebar.
Sean tersenyum penuh arti, "ayah tenang saja, aku pasti akan menjada Amanda, aku akan mencintainya dengan sepenuh hatiku dan akan kupastikan ia akan bahagia bersamaku," jawabnya.
Edwin tersenyum tabah, "ya, kuharap kau bisa kuandalkan," gumamnya.
"Kalau begitu kami pergi sekarang," pungkas Sean.
Amanda kemudian memeluk ayahnya, "jaga diri ayah baik-baik, ya," katanya kemudian menaiki mobil menyusul Sean yang lebih dulu masuk ke dalam mobil.
Setelah mobil itu berjalan entah kenapa Edwin jadi resah melepas Amanda. Tetapi ia cepat-cepat menyingkirkan perasaan itu. Mungkin ia hanya belum bisa menerima bahwa kini putri kecil kesayangannya sudah dewasa dan sudah menemukan cinta sejatinya.