Chereads / Another Sean / Chapter 22 - Lost Memories

Chapter 22 - Lost Memories

Christoper kembali menemui Mathias yang kini berada di rumah sakit. Ia duduk di samping orang yang kini sudah pantas di panggil 'pak tua' itu.

"Bagaimana kabarmu, Mathias?" tanya Christoper.

"Aku semakin akrab dengan kematian," jawab Mathias dengan santainya.

Mendengar hal itu Christoper pun terkekeh, "apa ini lelucon barumu, kau berteman dengan kematian, begitu?"

Mathias tertawa lemah, "tampaknya ini bukan sekedar lelucon, Christoper," jawabnya, "aku merasakannya, seperti sebuah monster, dia sedang menggerogoti tulang dan darahku sedikit demi sedikit," lanjutnya.

Christoper tertegun menatap Mathias, "kau tidak mati semudah itu, kau Mathias, orang paling diburu sebelum aku," sanggahnya.

"Kuanggap itu doa yang baik untukku, Christoper," kata Mathias. "Di mana Billy, aku ingin bicara dengannya?" tanyanya.

Mendengar nama bocah ingusan itu disebut Christoper tampak menunjukkan ketidaksukaannya pada Billy, "terus terang saja, Mathias, aku sedikit risih melihat kedekatanmu dengan Billy belakangan ini," ungkapnya.

"Ya, aku memang ada sedikit urusan dengannya," jawab Mathias.

"Memangnya ada kepentingan apa seorang pesuruh denganmu?" tanya Christoper frustasi.

"Itu bukan urusanmu," jawab Mathias dingin.

Christoper merasa kesal dengan sikap Mathias yang merahasiakan sesuatu darinya dan tampaknya hal itu sangat berharga. "Baiklah," pungkasnya kemudian melenggang begitu saja meninggalkan Mathias.

Saat keluar ruangan Christoper langsung disambut oleh Billy yang baru saja datang, "masuklah, dia menunggumu," suruhnya dengan tatapan penuh kebencian kemudian berlalu begitu saja.

Mata Billy mengikuti Christoper yang berjalan menyusuri koridor kemudian menghilang di balik tembok. Ia kemudian masuk ke dalam ruangan Mathias untuk memenuhi panggilan pak tua itu.

***

Sementara itu di tempat lain, lebih tepatnya di markas tempat Sean disekap. Pria itu kini tampak dipukuli dengan dua anak buah Sean. Keduanya sama-sama berbadan besar dan tentu saja hal itu membuat Sean tak bisa berkutik meskipun ikatannya dilepaskan.

Sean tak punya bakat bertarung secara fisik. Sejak kecil ia dididik untuk menjadi pemimpin sebuah kerjaan bisnis beserta kejayaannya. Melawan dua antek Christoper yang postur tubuhnya lebih unggul dibanding dirinya tentu bukan perkara mudah.

Antek-antek Christoper sebenarnya tak boleh menyentuh Sean sama sekali karena Christoper ingin Sean benar-benar sekarat dan meminta ampun di kakinya. Dua antek bermuka congkak itu hanya ingin menunjukkan bahwa mereka adalah seorang yang bringas dan tak bisa diremehkan.

Saat dengan senangnya memukuli Sean, pria yang sudah kelelahan karena hampir setiap hari menerima baku hantam dari mereka pun limbung meski sebelumnya ia sangat bersusah payah untuk berdiri. Ia jatuh dan kepalanya terbentur ujung kursi hingga membuatnya tak sadarkan diri.

***

Kala itu Sean tampak melambai-lambaikan tangannya sebagai ucapan selamat tinggal pada seorang anak yang sama persis dengannya. Dia tahu itu adalah Christoper, saudara kembarnya.

Mereka terpisah setelah Oktavius dan Evelyn mengadopsinya seorang diri. Sean berjanji akan datang dan mencari Christoper supaya mereka bisa bersama-sama lagi.

Tetapi saat ia mengatakan janjinya pada Oktavius dan Evelyn, keduanya hanya terdiam seolah tak menginginkan hal yang sama.

Saat Sedang menelepon Christoper selalu saja ada sepasang mata yang mengawasi. Entah itu seorang pelayan atau bahkan mata Oktavius dan Evelyn sendiri. Mata mereka seolah ingin Sean segera menyudahi perbincangannya dengan Christoper.

Makin lama hari-hari Sean hanya ditemani dengan sepi. Ia hanya bertemu teman sebayanya di sekolah. Selain itu ia hanya berdiam diri dalam rumah meratapi perpisahannya dengan Christoper.

Para pelayan tentu saja berusaha menghiburnya tetapi yang Sean inginkan adalah kehadiran Christoper di sisinya. Melihat anak kesayangannya semakin murung, suatu hari Evelyn memberitahukan bahwa ia akan mengajak Sean berlibur.

Sean tak bertanya ia akan dibawa ke mana. Ia hanya menundukkan kepala dengan patuh. Ia berpikir ke mana pun Oktavius dan Evelyn akan membawanya ia harus mematuhinya, setidaknya hal itu bisa ia lakukan sebagai ucapan terima kasih karena telah mengadopsinya.

Sungguh malang nasib yang menimpa keluarga tanpa hubungan darah itu. Saat perjalanan menuju ke bandara mobil yang mereka tumpangi mengalami kecelakaan.

Si sopir tewas di tempat. Evelyn dan Oktavius luka ringan. Sean tak sadarkan diri dengan bersimbah darah.

Mereka pun segera dibawa ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan. Namun, sayang sekali, Sean harus mengalami amnesia. Saat ia bangun ia bahkan tak mengenali siapa dirinya dan hanya ada Evelyn dan Oktavius di depan matanya yang memperkenalkan diri sebagai orang tuanya.

***

Christoper tiba di markas tempat ia mengurung Sean. Matanya terbelalak ketika melihat dua anak buahnya sedang menendangi Sean yang sudah terkapar di lantai.

"Kurang ajar! Beraninya kalian sentuh dia!" sergahnya seraya membanting sebuah kursi kayu di dekatnya.

Kursi kayu yang cukup keras itu langsung menimpa keduanya hingga jatuh tersungkur. Seketika keduanya pun menjadi ketakutan dan memelas memohon ampun pada Christoper. "Maafkan kami, Christoper, maafkan kami," rengek keduanya.

"Berapa kali harus kukatakan hanya aku yang boleh menyentuhnya!" teriak Christoper dengan mata yang berkobar hebat. Ia kemudian menarik kerah baju salah satu anak buahnya hingga tubuh orang itu sedikit terangkat, "kau pikir siapa dirimu, jangan lumuri dia dengan kotoran ditanganmu ini, paham!" bentaknya bersungut-sungut.

Orang itu menganggukkan kepala dengan patuh, "paham, ya, ya, aku paham," jawabnya lirih.

Christoper kemudian melepas keras baju orang itu dengan kasar hingga kembali terjatuh ke lantai. Ia lalu mendekati Sean yang mulai meracau tak jelas.

"Christoper...Christoper..." Sean menyebut-nyebut nama saudara kembarnya dalam keadaan tak sadarkan diri.

Christoper mendekat untuk mendengarnya lebih jelas.

"Di mana kau, Christoper, di mana?" racau Sean.

Christoper pun berdiri mengambil segelas air dan mengguyurkan air itu diwajah Sean.

Sean pun langsung terbangun dan melompat. Matanya terbuka lebar dengan napas terengah-engah. Ia baru menyadari bahwa yang tadi ia lihat adalah beberapa potongan ingatannya yang menghilang.

Mata Sean kemudian bertemu dengan wajah Christoper yang menatapnya penasaran. "Apa yang terjadi padamu?" tanyanya.

Mata Sean meredup. Kini rasa bersalah itu menggelayuti hatinya. Bahwa, ia telah ingkar janji hingga sekian lamanya dan mengakibatkan dendam menguasai hati Christoper. "Aku sudah ingat," jawabnya lirih.

"Apa?" Christoper tak begitu jelas mendengar ucapan Sean.

"Aku mengingatmu, aku ingat panti asuhan tempat kita dibesarkan, aku ingat semuanya," ulang Sean dengan suara lebih keras, "aku juga ingat janjiku padamu," imbuhnya berdesis.

Christoper mendengkus, "bagus, bagus, aku tak perlu bersusah payah membuatmu ingat lagi," ujarnya, "jadi, bagaimana rasanya?" tanyanya.

Sean tertegun sejenak, "maafkan aku, Christoper, aku juga tak menginginkan hal ini, sekarang tidak bisakah kau anggap ini sebagai takdir?" pintanya.

Christoper terkekeh, "maaf katamu? takdir?" ia terkekeh lagi kemudian membanting gelas ke lantai hingga hancur berkeping-keping. "Kau lihat pecahan gelas itu, seperti itulah aku sekarang!" sergahnya.

"Tapi, ini memang takdir, Christoper, siapa yang tahu aku akan mengalami kecelakaan dan lupa ingatan," sanggah Sean.

"Dasar pria lembek!" umpat Christoper, "dengan sikapmu yang seperti ini justru semakin membuatku marah padamu, lihat saja, aku benar-benar akan merebut segala yang kau miliki!" tambahnya penuh tekad.

"Bukankah kau sudah mendapatkannya, Christoper, apa lagi yang kau inginkan?" Sean tampak meratap.

"Belum," jawab Christoper lirih dengan senyuman kejam, "Amanda," lanjutnya.

Mendengar nama kekasihnya Sean pun naik darah dan langsung menarik kerah baju Christoper, "sudah kubilang jangan libatkan dia, dia tak tahu apa pun!" pintanya.

Christoper tertawa penuh kemenangan, "kau akan lihat, Sean, kau benar-benar akan kehilangan segalanya, Amanda bahkan sudah membicarakan tentang anak padaku," ungkapnya kemudian melepas paksa cengkeraman Sean. "Ikat dia!" suruhnya pada dua antek yang masih memojokkan diri.

"Tidak, Christoper, dengarkan aku, kau tidak akan pernah mendapatkannya, dia milikku, Christoper, sampai ke palung hatinya hanya ada namaku, dan kau hanya tubuh yang menggantikanku!" Sean berteriak-teriak di tengah kedua antek Christoper yang berusaha mengikatnya.

Sementara itu Christoper dengan santainya berjalan meninggalkan Sean sambil sesekali bermain-main dengan asap rokok yang ia hembuskan dari paru-parunya.

"Christoper!!!" teriakan Sean terhenti ketika Christoper menutup pintu mobil dan benar-benar pergi.