Pada akhirnya makan malam romantis itu tetap berjalan sesuai rencana meski Christoper harus sambil menahan rasa kesal. Ia tetap melahap makanan mewah yang terbilang jarang masuk dalam perutnya.
Bukan karena tidak mampu. Sebenarnya ia cukup kaya walau itu hasil dari pekerjaan haramnya. Terlebih sekarang ia menggantikan Mathias yang notabenenya seorang bos gengster. Ia hanya kurang menyukai kehidupan glamour yang hanya sebatas gengsi-gengsian saja. Daripada makan makanan mewah di restoran ia lebih suka masakan Amanda yang terkesan biasa saja tetapi dibuat dengan cinta.
Selain makan makanan mewah ia juga berdansa dengan Amanda. Walau perempuan itu memandangnya sebagai Sean, tak apa, lagi pula ia masih bisa menikmati mata yang memuja itu. Ia mendekap Amanda seraya menikmati alunan musik yang lembut.
Cahaya lampu-lampu kota yang seperti taburan bintang di langit menjadi saksi bisu atas jejak yang ditinggalkan Christoper. Jejak atas cintanya yang begitu maha daya dan menggebu-gebu dalam dada.
Amanda pun merasakannya. Terasa jelas di bibirnya sebuah pengakuan tersirat yang amat posesif. Membuatnya bagai wanita paling berharga.
"Ini malam paling indah selama kita menikah, terima kasih," ucap Amanda seraya mendekap Christoper di tengah alunan musik yang lembut.
Christoper pun mengeratkan pelukannya pada Amanda. "Aku akan membuat malam-malammu menjadi indah selama kau menjadi milikku," ucapnya lirih.
Amanda mendongak merasa aneh dengan kata-kata Christoper, "kau berkata seperti aku hanya sementara menjadi milikmu saja?" ia lalu kembali mengeratkan pelukannya, "aku sudah milikmu dan selamanya akan tetap begitu," lanjutnya.
Christoper terkekeh, "entah kenapa, kadang-kadang aku merasa aku seperti akan terlepas dari genggamanku," tuturnya dengan wajah cemas.
"Aku tidak akan pergi ke mana pun, selama kau hidup aku akan terus di sisimu," tegas Amanda.
Christoper menangkup wajah Amanda, "apa pun yang terjadi?"
Amanda mengangguk yakin, "apa pun yang terjadi."
"Kau janji?"
"Tentu saja!"
Christoper tersenyum, "aku merasa lega setelah mendengar itu, semoga kita bisa terus bersama."
Dalam hati Christoper juga berharap demikian. Setiap hari ia selalu dihantui rasa takut akan kehilangan Amanda yang amat ia cintai.
Terlebih Sean telah mendapatkan ingatannya kembali. Walau ia tahu pria itu pasti merasa bersalah dan mungkin ia merasa pantas mendapat semua ini tetapi tetap saja ia pasti ingin lepas dan bagaimana caranya ia ingin kembali pada kehidupannya yang semula.
Sean bukanlah pria yang bodoh. Sejak kecil ia memang memiliki otak yang cerdas terlebih setelah diadopsi Oktavius dan Evelyn, pendidikan yang ia terima selama ini pasti lebih dari cukup jika hanya untuk membebaskan diri dari cengkeramannya.
Untuk itu, Christoper harus memikirkan cara yang baru agar Amanda tetap menjadi miliknya dan harus berpihak padanya jika di saat yang tak terduga rahasianya akan terbongkar.
Sekarang tak penting lagi dengan balas dendam. Christoper memang masih dendam dan tentu saja ingin membalasnya terutama pada Oktavius dan Evelyn yang seolah melihatnya seperti tumpukan sampah.
Namun, Christoper lebih ingin fokus pada Amanda. Akan sangat rugi jika ia hanya bisa balas dendam. Setidaknya Amanda adalah pilihan yang tepat untuk mengganti semua yang tidak ia dapatkan.
***
"Aku sangat cemas karena kau tak juga membaik, makanya aku langsung batalkan pertemuan dengan kolega di Jepang dan menyelesaikan semua urusan di Beijing secepatnya," tutur Oktavius begitu sampai di rumah. Ia langsung masuk ke kamar menemui istrinya yang sedang sakit.
Evelyn menatap pria super sibuk itu dengan kesal bahkan membuang muka. "Kau selalu saja sibuk, bahkan kau lebih sibuk dari sebelumnya sampai aku sakit kau tidak ada untukku," gerutunya.
Oktavius menghela napas, "kupikir kau mengerti bagaimana keadaan kita sekarang, aku menjalankan dua perusahaan sekaligus dan itu pasti menyita waktuku, aku minta maaf jika itu menjadi pemisah antara kita, tapi...mau bagaimana lagi, ini demi putra kita," tuturnya.
"Kau bicara seakan kau pernah berusaha untuk lebih baik, bukankah sejak dulu kita memang terpisah?" Evelyn menatap suaminya penuh rasa kecewa.
"Apa maksudmu? Setiap hari aku bekerja dengan keras dan berusaha memenuhi tanggung jawabku sebagai suami dan ayah, semua kulakukan untukmu, untuk Sean, untuk keluarga kita, tidak cukupkah itu untukmu, apa semua yang kita miliki ini tidak ada artinya untukmu?" Oktavius mendengkus kesal.
"Ya, kau memang pandai mencari uang, apa pun bisa kita beli tapi kau seperti lupa pada tugasmu selain mencari uang," Evelyn tak kalah kesal.
Oktavius menatap istrinya seakan tak percaya dengan apa yang perempuan itu katakan, "apa lagi yang kau inginkan? kau pikir mudah menjalankan perusahaan yang sudah ada bahkan sebelum aku lahir ini? semua sudah kuberikan padamu dan inikah yang harus kudengar?"
"Aku dan Sean tak hanya butuh uang, Oktavius, kami membutuhkanmu di sini, kami butuh dirimu seutuhnya," Evelyn menyeka air yang keluar dari sudut matanya, "kau bahkan tidak berusaha membebaskan Sean," lanjutnya.
Oktavius menatap nanar istrinya yang kini menangis, "Evelyn, apa yang harus kulakukan, kau lihat sendiri bagaimana cara anak itu bertindak tidak waras, nyawa Sean bisa dalam bahaya," kata Oktavius.
"Kau tahu kau lebih kaya dari anak brandalan itu, kau bisa kan menyewa detektif atau polisi atau siapa pun dengan harga yang mahal untuk membebaskan Sean, kenapa kau tidak lakukan itu?" protes Evelyn semakin tersedu-sedu.
"Itu tidak mudah, Evelyn, Christoper bukan orang bodoh meski kita lebih berpendidikan bahkan lebih kaya darinya, dia tidak waras, dia dipenuhi dengan dendam, dia hanya ingin menyiksa orang-orang yang dia benci, itu yang dia inginkan," jelas Oktavius.
"Lalu kau akan membiarkannya bertindak sesuka hati, sampai kapan kau akan biarkan ini, kau juga tidak memikirkan Amanda?" tanya Evelyn.
"Saat ini aku sedang mencari seseorang yang cukup berpengalaman untuk mengatasi Christoper dan untuk Amanda..." Oktavius memalingkan muka, "sejujurnya aku sudah tak peduli dengan perempuan itu, dia juga pasti sudah menjadi bekas Christoper, aku hanya ingin putraku bebas," lanjutnya.
Evelyn membekap mulutnya mendengar jawaban Oktavius, "aku sangat tidak percaya dengan yang kau katakan, seandainya Amanda dinodai anak itu tentu saja itu bukan salahnya karena dia tidak tahu apa pun, dia bahkan tidak tahu Sean memiliki saudara kembar karena kita menyembunyikannya setelah Sean mengalami amnesia," katanya, "memangnya kau bisa bayangkan bagaimana dia harus menjalani pernikahan palsu dengan anak gila itu?"
Oktavius menaikkan sebelah alisnya, "selama dia tidak tahu siapa yang ada di hadapannya dia pasti baik-baik saja, dia pasti sedang senang-senangnya dengan kehidupan pengantin baru meski dia tidak tahu bahwa yang ada di depannya bukanlah Sean," jawabnya dengan santai.
"Kau sungguh tidak berperasaan!" rutuk Evelyn kemudian berbaring dan menutupi dirinya dengan selimut.
"Apalagi salahku, semua yang kukatakan memang ada benarnya bukan?"
"Pergilah, kau benar-benar pria yang tidak bisa menghargai perasaan wanita," usir Evelyn.
Oktavius mengerutkan dahi dan mengedikkan bahu. Selama ini istrinya selalu membicarakan tentang perasaan wanita yang ia bahkan tidak memilikinya. Memang di mana letak kesalahan pada kata-katanya?
Tetapi, karena perempuan paruh baya yang sudah bertahun-tahun hidup dengannya itu sedang sakit ia pun menghela napas, berusaha mengalah. Ia mendekat dan menyentuh bahu Evelyn yang tertutup selimut. "Kau sudah minum obat?" tanyanya.
"Kubilang pergi, aku sedang tidak ingin bicara denganmu!" usir Evelyn lagi.
Oktavius pun memukul udara dan pergi dengan kesal meninggalkan Evelyn yang tetap menutupi tubuhnya dengan selimut. "Baiklah, aku pergi."