Setelah meredamkan emosi Oktavius kembali menghampiri Evelyn sambil membawakan makan malam untuknya. Ia membawakan sup yang masih panas dan teh jahe yang sangat disukai Evelyn saat sedang sakit.
Evelyn kala itu sedang membaca buku di ranjangnya. Ia melirik Oktavius yang muncul dari balik pintu sejenak kemudian kembali menatap bukunya, berusaha tak peduli pada pria itu meski sedikit bagian dari hatinya luluh begitu mengetahui Oktavius membawakan makanan dan minuman untuknya.
"Sayang, makanlah dulu, aku bawakan makanan dan minuman yang kau sukai saat sakit," ujar Oktavius sambil meletakkan makanan dan minuman itu di nakas.
Evelyn menurunkan bukunya meski masih dengan mulut membisu. Oktavius pun tersenyum lega melihat ketertarikan Evelyn. Perempuan itu memang tak pernah bisa benar-benar marah padanya.
Oktavius lalu menyuapkan sup daging yang berbau lezat itu pada istrinya. Perempuan itu melahap suapan pertama dan tampak sangat menikmati rasa sup buatan koki pilihan yang Oktavius pekerjakan khusus di rumahnya.
Pria paruh baya itu semakin tersenyum lebar ketika tanpa terasa sup di tangannya tinggal setengah. Tampaknya Evelyn sudah tidak marah lagi padanya. Hingga...
"Aku akan mengatakan yang sebenarnya pada Amanda," kata Evelyn.
Oktavius tampak terkejut, "jangan!" serunya.
"Kenapa?" Evelyn mengernyit.
"Ah, sudah kubilang aku sedang mencari seseorang yang cukup berpengalaman untuk menghadapi Christoper, jika dia tahu sebelum aku mempersiapkan perisai bisa-bisa dia malah jadi pengacau," jelas Oktavius.
"Tapi kasihan dia, bagaimana kalau nanti dia hamil, akan seperti apa status anak yang dikandungnya?" Evelyn tampak memaksa.
"Aku yakin dia tidak akan secepat itu mengandung meski mereka mungkin melakukannya berkali-kali," kata Oktavius.
"Bagaimana kau bisa yakin?" tanya Evelyn.
"Christoper seorang pria brandalan, dia pasti sering mengonsumsi barang haram yang dia jual-belikan, aku yakin hal itu pasti akan mempersulit dirinya untuk memiliki keturunan," jelas Oktavius.
Evelyn lagi-lagi mengernyit tampak tak yakin, "kau katakan itu karena kau tidak peduli pada Amanda," simpulnya.
"Ayolah, Evelyn, ini demi putra kita, demi Sean, aku sedang berusaha, jadi dukunglah aku," keluh Oktavius.
"Kau memang tidak peduli padanya," kata Evelyn, "dia sudah seperti putriku sendiri," katanya lagi sambil menyeka air di sudut matanya. "Kau pikir mudah memiliki menantu seperti dia? Dia tak hanya cantik tapi juga berpendidikan dan berasal dari keluarga terhormat, dia sangat lembut dan penuh perhatian, aku tidak bisa membayangkan bagaimana hancurnya Sean saat tahu perempuan yang sangat dia cintai sedang melayani pria lain dengan senyumannya yang indah," Evelyn kini menangis tersedu-sedu.
Oktavius berdecak, "ck...terserah apa yang kau rasakan pada perempuan muda itu, yang penting aku ingin putraku selamat dan kuharap kau tidak gegabah," tegasnya kemudian berdiri, "jika memang dia nanti hamil anak Christoper berikan saja dia, aku tidak mau punya menantu bekas brandalan seperti dia, di luar sana ada banyak gadis yang lebih cantik, berpendidikan dan berasal dari keluarga terhormat, aku akan carikan untuk Sean tapi tidak untuk bekas orang lain!" lanjutnya kemudian meninggalkan Evelyn yang masih terisak di dalam kamar.
Setelah keluar dari kamar besar itu, ponsel Oktavius pun berdering. Ia langsung merogoh saku celananya dan melihat sebuah nomor yang tertera di layar kemudian cepat-cepat menjawabnya. "Halo, bagaimana?"
Ekspresi Oktavius tampak berubah. Gurat-gurat di wajahnya semakin kentara setelah menerima telepon itu. "Belum ketemu juga, dasar bodoh!" umpatnya pada seseorang di telepon.
"Apa yang kau lakukan selama ini, begitu saja tidak bisa," gerutu Oktavius sambil mondar-mandir dan memijit-mijit dahinya.
"Jangan hamburkan uangku dengan kebodohanmu itu!" tegas Oktavius kemudian menutup telepon. Hampir saja ia membanting ponselnya tetapi alih-alih membuang rasa kesalnya ia menendang udara dan karena tidak hati-hati ia hampir saja terjungkal.
Beruntung tidak ada yang melihat kelakuan konyolnya terutama para pelayan dan istrinya yang dramatis itu. Jika mereka melihat mungkin saja ia akan ditertawakan.
***
Sementara itu Christoper dan Amanda kini kian mesra dengan adegan romantis di atas ranjang. Percintaan yang panas itu kini meninggalkan jejak-jejak merah di tubuh Amanda dan bekas cakaran-cakaran kecil di punggung dan dada bidang Christoper.
Sejenak Amanda memandangi tubuh atletis dengan warna bak coklat caramel itu. Baru ia sadari betapa gagah suaminya.
Dulu beberpa kali Amanda juga sudah melihat roti sobek yang ada di balik pakaian pria itu. Tetapi tidak seindah sekarang. Dulu warna kulit itu lebih terang dan tidak se-atletis saat ini bahkan cenderung lebih berisi.
Tapi sekarang bentuk tubuh itu bagaikan tubuh dewa-dewa Yunani. Sangat berbentuk dan seksi.
"Kau sudah yakin ingin punya anak?" tanya Amanda.
"Ya, aku yakin aku ingin, meski sebenarnya aku tidak yakin bisa mendapatkannya," tutur Christoper berterus terang.
"Kenapa kau berpikir seperti itu?" tanya Amanda.
"Entahlah, kadang aku berpikir aku tidak bisa memiliki keturunan," ungkap Christoper.
"Kenapa, bukankah kau sehat?" Amanda mengerutkan dahi.
Christoper mengedikkan bahu, "semoga saja begitu."
"Kau pasti bisa, aku akan berikan keturunan untukmu," kata Amanda membuat Christoper tersenyum padanya. "Kau mau berapa?" tanyanya.
"Apanya?" Christoper mengernyit.
"Anak," jelas Amanda.
Christoper terkekeh, "jika memang bisa, satu saja sudah lebih dari cukup untukku," jawabnya.
Amanda tertawa geli.
"Kenapa?" tanya Christoper.
"Bukankah dulu kau ingin 11 anak?" goda Amanda.
Christoper mengerutkan dahi, "benarkah, apa aku pernah mengucapkan itu?"
"Ya, kau ungkapkan itu saat kita di butik," jawab Amanda, "apa kau melupakannya?" tanyanya.
Christoper tertawa geli untuk menutupi kenyataan bahwa yang mengucapkan hal itu bukanlah dirinya. "Saat itu aku hanya bercanda," katanya sambil mengumpat dalam hati, "dasar Sean tak punya otak, bisa-bisanya pria itu meminta sebelas orang anak, memangnya hamil itu hal yang mudah, dasar bodoh!"
"Kalau kau hanya ingin satu anak kau ingin anak perempuan atau laki-laki?" tanya Amanda lagi.
Christoper tampak berpikir, "kupikir aku ingin anak perempuan saja," ungkapnya berterus terang.
"Aku kira kau ingin anak laki-laki," pikir Amanda.
"Kenapa kau berpikir seperti itu?" tanya Christoper.
Amanda mengedikkan bahu, "biasanya pria lebih menginginkan anak laki-laki," pikirnya lagi.
"Kurasa tidak semua pria menginginkan hal yang sama," kata Christoper.
"Jadi, kenapa kau ingin anak perempuan?" tanya Amanda.
"Aku ingin ada yang merawatku saat tua nanti, selain itu aku ingin ada seseorang yang ingin kulindungi dengan segenap jiwaku," tutur Christoper.
"Memangnya kau tidak ingin melindungiku?" goda Amanda.
Christoper tersenyum, "apa aku harus menjawabnya?"
Amanda tersenyum sipu, "kalau begitu, mari kita miliki anak perempuan," katanya.
Christoper terkekeh, "memangnya kau bisa menentukannya?"
Amanda ikut terkekeh, "aku pernah mendengar ada teknologi yang bisa memudahkan orang tua untuk menentukan ingin punya anak laki-laki atau perempuan," terangnya.
"Benarkah, ada teknologi semacam itu?" Christoper mendelik.
"Entahlah, tapi tampaknya patut kita coba," kata Amanda.
"Kalau begitu mari kita coba sekarang," Christoper bangkit seraya memainkan alisnya.
Amanda menggigit bibirnya seraya pipinya bersemu merah, "lagi?"
"Lagi."