Christoper membuang puntung rokoknya ke jalanan saat mobilnya sudah melaju. Ia mendengar dengan jelas semua yang dikatakan Sean. Bahwa, Amanda adalah miliknya.
Walau pada mulanya ia tak ingin peduli sekeras apa pun Sean menyerukan kepemilikannya, tetapi, kata-kata itu kini malah terus terngiang-ngiang ditelinga. Seakan-akan Sean benar-benar berada di sisinya untuk mengatakan hal itu berulang kali seraya menertawai dirinya.
Christoper pun cepat-cepat pulang menemui Amanda yang sangat ia puja-puja. Ia membuka pintu dengan kasar tak peduli Matilda hampir saja terjatuh karena dorongan darinya.
"Amanda?" panggil Christoper tergesa-gesa. Namun, tak ada jawaban sama sekali. "Amanda!" panggilnya lagi dengan tidak sabar.
"Nyonya sedang keluar, Tuan," sahut Matilda.
Christoper menoleh, "ke mana dia?" tanyanya.
"Dia ke supermarket membeli beberapa keperluan," jawab Matilda.
Christoper menghela napas. Ini pertama kalinya Amanda tidak di rumah saat ia pulang dan rasanya sungguh memuakkan. Terlebih ia masih terngiang-ngiang oleh kata-kata Sean.
Christoper pun mencoba menghubungi Amanda. Saat menelepon sayup-sayup ia mendengar bunyi ponsel yang seiring dengan telponnya. Ternyata ponsel Amanda tertinggal di sofa dan hal itu semakin membuat Christoper geram. Namun, pada akhirnya Christoper harus sabar menunggu Amanda pulang.
Tak ia sangka-sangka ternyata Amanda begitu lama dan semakin membuat Christoper frustasi. Ia sangat tidak sabar ingin segera bertemu Amanda dan memutuskan untuk mencari perempuan itu meski ia harus memasuki satu per satu supermarket yang ada di kota ini.
Tetapi sebelum hal konyol itu terjadi Amanda sudah lebih dulu sampai di rumah bersama si sopir. Ia masuk membawa banyak barang buruannya di supermarket.
"Kenapa lama sekali, apa saja yang kau beli?" tanya Christoper seraya menahan rasa kesalnya sejak tadi.
"Antrian di kasir sangat panjang dan ternyata merek baju kesukaanku sedang banyak mengeluarkan produk barunya, jadi, aku tidak bisa melewatkan itu," terang Amanda sambil meringis.
"Dasar perempuan," umpat Christoper dalam hati, "aku sudah menunggumu sejak tadi," ungkapnya.
"Benarkah, maafkan aku," ucap Amanda dengan wajah menyesal.
"Kemarilah, Amanda," ajak Christoper seraya melangkah naik ke lantai dua menuju ke kamar pribadi mereka. Amanda pun mengikuti.
Ketika sampai di dalam kamar Christoper menutup pintu rapat-rapat membiarkan Amanda sibuk dengan rasa penasaran. "Ada apa?" tanya perempuan itu.
Christoper berjalan mendekat dan menghimpit perempuan itu ke dinding, "apa kau mencintaiku, Amanda?" tanyanya lirih.
"Kenapa tiba-tiba kau tanyakan itu, tentu saja aku mencintaimu," jawab Amanda, "tak ada yang lebih kucintai selain dirimu," lanjutnya seraya meletakkan telapak tangannya ke wajah Christoper.
"Sungguh, bagaimana jika sekarang aku adalah orang lain?" tanya Christoper lagi.
Amanda mengerutkan dahi, "apa maksudmu?"
"Bagaimana jika aku bukan seperti Sean yang kau kenal selama ini?" tanya Christoper.
Amanda semakin tidak mengerti dengan pertanyaan suaminya itu. Apa pria itu menyadari perubahan dalam dirinya yang selama ini Amanda telah menyadarinya? "Aku sungguh tidak mengerti apa maksudmu, Sean," katanya.
Christoper memijit-mijit dahinya, "maafkan aku, aku tidak bermaksud membuatmu bingung, aku hanya...belakangan ini aku merasa takut kehilanganmu," dalihnya.
"Untuk apa takut kehilangan diriku, aku selalu milikmu," tegas Amanda.
"Tapi..."
"Ssttt..." Amanda meletakkan jari telunjuknya di bibir Christoper, "aku milikmu, sayang, hanya kematian yang bisa memisahkan kita," tuturnya lembut.
Christoper tersenyum lega, "kau tidak akan berpaling dariku meski ada pangeran berkuda datang padamu?"
"Aku punya seorang ksatria di sini, untuk apa aku peduli pada pangeran berkuda?"
"Aku bisa pegang kata-katamu?" tanya Christoper.
"Tentu saja," jawab Amanda.
Christoper dan Amanda saling pandang cukup lama dan tiba-tiba saja kini bibir keduanya saling terpaut. Christoper menggenggam jemari Amanda dan menempelkannya ke dinding membuat perempuan itu terperangkap dan hanya bisa pasrah.
Christoper kemudian membalik tubuh Amanda dan menghadapkannya ke dinding. Ia mencumbui tengkuk Amanda seraya jari-jarinya bermain dengan retsleting gaun wanita itu.
"Kau milikku, Amanda," bisik Christoper dengan hembusan napas panasnya. Hawa panas itu mengantarkan getaran hebat yang menjalar ke seluruh tubuh Amanda.
"Ya, aku milikmu," jawab Amanda sambil menikmati setiap sentuhan Christoper yang seperti sengatan listrik.
Christoper menyatakan kepemilikannya bukan semata-mata karena ia sedang menggantikan posisi Sean, saudara kembarnya. Tetapi ia memang menyatakannya benar-benar dari dalam hati. Bagaimana pun caranya ia akan mewujudkan kata-katanya itu dan Amanda benar-benar akan menjadi miliknya seutuhnya.
***
Billy duduk di sisi ranjang Mathias memenuhi panggilan pria yang terlihat semakin tampak lebih tua dari usia sebenarnya itu. "Kau memanggilku, Mathias?"
"Mendekatlah, Billy," suruh Mathias dengan suara lemahnya.
Billy pun mendekatkan kursinya, "ya, ada apa?" tanyanya.
Mathias kemudian memberikan sebuah amplop putih pada Billy. Pria muda itu pun menerimanya sambil mengerutkan dahi, "apa ini?"
"Kalau kau ingin tahu kau boleh membukanya," ujar Mathias.
Billy pun membuka amplop itu yang isinya adalah sebuah foto dan cek dengan nominal luar biasa. Billy pun semakin tidak mengerti dengan maksud Mathias.
"Billy, aku percaya padamu, ini adalah perintah terakhirku dan juga misi penting untukmu, ketika waktunya tiba nanti kau harus menyelesaikan misi ini," kata Mathias.
"Tapi, tapi..." Billy kesulitan berkata-kata terlebih ketika matanya kembali menemukan jumlah uang yang tertulis dalam cek ditangannya.
"Aku tahu kau bisa, Billy," sanggah Mathias, "aku merasa sebentar lagi ajal akan datang padaku, jadi, aku memberimu misi ini karena kupikir hanya kau yang bisa kupercaya untuk menjalankannya," tuturnya.
"Tapi uangnya, kenapa banyak sekali?" tanya Billy. Ia bahkan tidak bisa membayangkan seberapa banyak uang yang akan ia terima nanti. Mungkin kedua tangannya juga tidak akan muat untuk menggenggamnya.
"Itu sepadan dengan apa yang akan kau lakukan," kata Mathias.
"Tapi, apa yang harus aku lakukan, aku sungguh tidak mengerti, aku bahkan belum pernah menjalankan sebuah misi, aku hanya seorang pesuruh," Billy tampak semakin kebingungan.
"Aku sudah bilang kau bisa melakukannya, Billy," tegas Mathias, "sekarang kau boleh pergi, aku harus bersiap menghadapi kematianku," pungkasnya.
Mathias sudah menyuruhnya pergi. Dan itu berarti Billy harus benar-benar pergi jika tidak ingin bermasalah. Ia pun keluar dari ruangan seraya menerka-nerka. Sebenarnya apa misi yang harus ia lakukan?
Melihat nominal dalam cek yang masih ia genggam, misi ini tampaknya sangatlah penting bagi Mathias. Tapi jika ini penting kenapa harus ia yang melakukannya. Kenapa bukan Christoper atau Elmo saja yang jauh lebih berpengalaman. Dengan kemampuan mereka pasti tak butuh waktu lama untuk menyelesaikan misi ini.
"Hei, apa itu di tanganmu?" tiba-tiba saja Elmo muncul di depan Billy.
Billy pun cepat-cepat mengantongi selembar foto dan cek yang ia terima tadi, "bukan, bukan apa-apa," jawabnya seraya sebisa mungkin tidak terlihat mencurigakan.
Elmo memandangi Billy cukup lama dengan dahinya yang berkerut. Tetapi pada akhirnya ia membiarkan Billy pergi. "Pergilah, sekarang giliranku untuk berjaga di sini," suruhnya.
Billy pun menganggukkan kepala dan cepat-cepat pergi meninggalkan Elmo yang masih saja tampak curiga padanya.