Setelah pengecekan oleh Dokter, belum ada hasil yang baik untuk Vania. Ia masih koma dan belum sadarkan diri, tentu saja Eugene yang tadinya sangat penuh harapan tiba-tiba memurungkan kembali raut wajahnya itu.
3 minggu berlalu, tetapi Vania masih saja tidak sadarkan diri. Mereka bergantian menjaga Vania di rumah sakit seperti Kevin, Ayah Vania, Papa Vania, dan Eugene. Sampai akhirnya pada saat minggu ketiga, ketika Kevin yang berjaga disana pada saat malam hari. Vania akhirnya sadarkan diri, ia membuka matanya perlahan dan menggerakan jari-jari tangannya. Kevin saat itu sedang tertidur di samping kasur Vania dengan posisi duduk dan kepala menyandar di kasur tersebut sambil memegang tangan Vania.
Pada saat Vania menggerakkan jari-jari tangannya Kevin terbangun dan terkejut melihat Vania tengah terbangun dari komanya selama 3 minggu,
"Van! Kamu sudah sadar Van?" tanya Kevin sembari mengelus rambut Vania dalam posisi tegak setengah bungkuk menghadap Vania.
Vania hanya mengangguk sedikit perlahan, Kevin bergegas memencet tombol untuk memanggil perawat yang berjaga, tak lama perawat beserta dokter yang berjaga di rumah sakit datang untuk mengecek Vania.
"Vania sudah pulih, namun ia masih belum bisa bergerak dengan bebas masih harus dipantau dan dituntun jika ia ingin bergerak" ujar Dokter.
"Kalau gitu saya tinggal dulu, jika terjadi sesuatu kembali menekan tombolnya ya" sambung Dokter itu.
"Iya Dok! Terima kasih ya!" jawab Kevin.
Dokter beserta perawat tersebut meninggalkan ruangan Vania. Tak lama Vania menguatkan diri untuk berbicara kepada Kevin,
"Kevin, aku mau keluar dan berbincang denganmu sekarang" dengan suara terbata-bata dan sangat kecil serta perlahan.
"Tapi kamu baru sadarkan diri Van! Aku tanya dokter dulu" jawab Kevin kemudian ia memencet tombol untuk memanggil perawat.
Tak lama perawat itu datang ia mengetok pintu kamar kemudian masuk ke kamar tersebut,
"Ada apa?" tanya perawat itu.
"Dia mau keluar, apakah boleh Sus?" tanya Kevin.
"Hmmm.. Boleh tapi harus memakai kursi roda dan infusnya jangan dilepas. Mau saya bantu?" tanya perawat itu.
"Boleh Sus!" jawab Kevin.
Mereka membantu Vania untuk duduk di kursi roda, setelah itu Kevin mendorong kursi roda yang diduduki Vania itu ketempat yang Vania mau. Vania meminta untuk dibawa ke taman yang berada dirumah sakit itu. Hari baru menunjukkan pukul 9 malam, masih ada pasien yang duduk dikursi taman tersebut. Walau tidak begitu banyak pasien diluar, tetap saja masih sangat ramai disana pada saat itu orang-orang masih berlalu lalang.
"Vin, bisakah kau menggendongku duduk dikursi ini?" tanya Vania.
"Tentu bisa Van!" jawab Kevin lalu ia menggendong Vania agar dapat duduk dikursi taman tersebut dan Kevin duduk disamping Vania.
"Kenapa kamu mau kesini Van?" tanya Kevin.
Vania menyenderkan kepalanya kepundak Kevin,
"Aku ingin seperti ini denganmu didetik-detik terakhir hidupku" jawab Vania.
"Jangan sembarangan ngomong Van! Aku tidak suka!" ujar Kevin.
"Aku ingin mengatakan sesuatu kepadamu Vin! Jika aku pergi meninggalkanmu saat ini juga, aku harap kamu akan mendapatkan pengganti diriku. Akan ada seseorang yang mengerti dirimu dan mengenalmu sudah sangat lama muncul kembali kedalam hidupmu. Ia akan membuat dirimu kembali seperti sediakala. Aku harap kamu dapat menerimanya dan mengikhlaskan kepergianku, aku tidak bisa bersama-sama denganmu lebih lama lagi Vin! Aku mohon sekali jangan terlarut dalam kesedihan! Aku cinta kepadamu Vin!" ujar Vania.
"Aku juga cinta kepadamu Van!" jawab Kevin sambil menggemgam tangan Vania.
Tak lama perlahan Vania menutup matanya untuk selamanya dan menghembuskan nafas terakhirnya. Saat itu posisi kepalanya Vania masih menyender dipundak Kevin, tangan Kevin masih merangkul Vania. Akan tetapi Kevin merasa seperti sudah tidak ada pergerakkan atau nafas yang berhembus lagi dari Vania. "Van! Van!" tidak ada jawaban dari Vania, lalu ia melepaskan rangkulan dan mengangkat kepala Vania. "Van!! Kamu kenapa?" ujar Kevin panik. Lalu ia menaruh jari telunjuk didepan hidung Vania tetapi tidak ada nafas yang keluar dari hidung Vania, ia memegang denyut nadi Vania dan tidak ada lagi denyut nadi Vania. Sekujur badan Kevin membeku, keringat dingin, jantung berdebar-debar sangat kencang, mata Kevin mulai bergelinang air mata.
"VAANNNNIIIIAAA!!" teriaknya.
"Vann!! Kamu gak mungkin tinggalin aku kan!! Kamu bohongkan Van!! VANIA BANGUN!!" teriak Kevin sambil menggoyang-goyangkan tubuh Vania lalu memeluknya.
Perawat yang lewat disana segera menghampiri Kevin,
"Kenapa Kak?" tanya perawat itu.
Kevin tidak dapat berkata apapun lalu perawat itu memegang denyut nadi dan menaruh jari telunjuknya didepan hidung Vania. Suster tersebut hanya berdiam diri dan segera memanggil perawat yang lain disana untuk membawa Vania ke suatu ruangan sebelum dibawa pulang jasadnya ke rumah duka.
**
"Halo? Benar ini Ayah dari Vania?" tanya perawat itu.
"Iya Sus, kenapa ya?" tanya Ayahnya Vania.
"Maaf Pak! Anak bapak sudah kembali kepada Yang Maha Kuasa" ujar perawat itu.
Tentu saja mendengar perkataan tersebut sekujur tubuh ayahnya membeku dan tidak dapat berkata-kata lagi. Telepon genggam ayahnya terjatuh, seperti yang dialami Kevin. Jantung ayahnya berdetak terlalu kencang, dan air mata bergelinang sangat deras. Segera ia mengambil mantel dan telepon selularnya bergegas untuk kerumah sakit tersebut. Di perjalanan menuju rumah sakit, ayahnya Vania menelepon Papanya Vania.
"Tuan! Vania..." ujar ayahnya terhenti.
"Kenapa Vania Tuan?" tanya Papanya dengan nada yang sangat panik.
"Vania sudah berpulang kepada Yang Maha Kuasa Tuhan!" ujar ayahnya sambil menangis.
Lagi-lagi apa yang dialami oleh Kevin dan Ayahnya juga terjadi ditubuh Papanya Vania. Papanya menutup telepon Ayah Vania dan bergegas kerumah sakit.
"EUGENEE!!!" teriak papanya.
Saat itu Eugene belum tidur dan firasatnya sedang tidak enak, mendengar teriakan Papanya ia segera turun dari atas dan menghampiri papanya.
"Pa, ada apa?" tanya Eugene dengan nada yang sangat panik.
"Vania Eugene!! Vania!!" papanya menangis sejadi-jadinya.
Tanpa mendengar lanjutan dari kata-kata papanya ia sudah mengetahuinya dan menangis sejadi-jadinya juga.
"Pa, ayo kita kerumah sakit sekarang Pa! Ayo!" ajak Vania sambil menarik tangan Papanya.
Ayahnya Vania sampai terlebih dahulu dirumah sakit itu, ia menuju kamar khusus untuk orang yang baru saja meninggal. Terlihatlah Kevin duduk dikursi yang berjajar didepan pintu kamar tersebut, ayahnya menghampirinya.
"Vin, mana Vania Vin!" tanya ayahnya.
Kevin hanya murung, diam, tidak mengeluarkan satu katapun sejak kejadian itu, dan pandangannya hanya lurus dan kosong. Ayahnya menoleh keruangan didepan Kevin duduk itu, lalu ia masuk ke dalam ruangan. Dibukanya kain penutup tersebut, ayahnya membelai pipi Vania lalu ia menitihkan air matanya.
"Van, pipimu dingin sekali Nak! Kamu kedinginan? Kamu tidur seperti ini saja sangat cantik, anak Ayah tersayang!" ujarnya ayahnya.
"Ayah selimutin lagi ya Nak! Biar kamu tidak kedinginan Nak!"
Ditariklah kain penutup yang tadinya dibuka sampai kebagian perut, lalu ia menutupnya sampai kebagian leher Vania, ayahnya menangis sejadi-jadinya. Anak satu-satunya dan orang satu-satunya yang ia sayangi sudah pergi meninggalkannya.