Chereads / AKU, KAU DAN CINTA / Chapter 15 - LEWAT MASA KRITIS

Chapter 15 - LEWAT MASA KRITIS

Tak lama dokter keluar dari ruangan tersebut bersama perawat, mereka hendak memindahkan Vania keruangan pasien.

"Vania, sudah lewat dari masa kritisnya Pak! Akan tetapi..." ujar dokter terhenti.

"Tetapi apa dok!" tanya papanya.

"Akan tetapi dia mengalami koma, kami harap kalian harus banyak berdoa agar ia segera sadar. Sekarang Vania akan dipindahkan keruangan pasien" ujar dokter itu.

"APA! Vania koma Dok? Tolong bawa Vania keruangan pasien VIP Dok!" ujar papanya.

"Untuk sekarang kita harus banyak berdoa untuk keselamatan Vania saat ini, semoga ia cepat sadarkan diri. Baiklah kalau begitu kami akan pindahkan dia keruangan VIP, Permisi!" jawab dokter itu.

Mereka masuk keruangan itu, namun papanya Eugene menunggu diluar ruangan. Ia hendak menelepon Eugene, karena sampai saat ini Eugene tidak kunjung datang.

"Halo Eugene. Kamu dimana? Kenapa daritadi kamu belum sampai?" tanya papanya.

"Disitu masih ada Kevin kan Pa? Eugene sudah sampai daritadi, Eugene lagi sembunyi Pa. Eugene teringat dengan pesan Vania, kalau Eugene tidak boleh menemuinya kalau ada Kevin Pa. Karena Kevin belum tau yang sebenarnya, Vania ingin merahasiakan kepadanya kalau Vania punya kembaran" jawab Eugene.

"Kenapa seperti itu Eugene? Jadi bagaimana kamu bertemu dengan Vania kalau Kevin tidak pulang-pulang?" tanya papanya.

"Ntahlah Pa! Eugene masih di rumah sakit Pa, kalau Kevin pulang papa kasih tau Eugene ya" pinta Eugene.

"Baiklah Eugene! Papa matikan teleponnya ya! Nanti papa telepon kalau Kevin sudah pulang" ujar papanya.

"Iya Pa!" jawab Eugene.

Setelah menelepon Eugene, ia masuk kedalam ruangan tersebut.

Kevin masih tidak mempercayainya dan merasa heran, "Kenapa Vania tidak pernah bilang kepadaku kalau dia bukan anak kandung ayahnya? Kenapa dia tidak mengingat semua kenangan masa kecil kita? Apa dia lupa ingatan? Atau dia pura-pura lupa?" ucap Kevin dalam hati.

Ia duduk di kursi dan memikirkan hal tersebut. Ayahnya Vania yang melihat Kevin seperti itu merasa aneh dan menghampirinya. Ditepuknya pundak Kevin sehingga Kevin terkejut dan lamunannya tadi buyar.

"Om! Bikin Kevin kaget! Kenapa Om? Hampir saja Kevin mau melompat" ujarnya sambil mengelus dadanya.

"Kamu itu sedang melamun daritadi, jadi Om menyadarkanmu! Tidak baik melamun seperti itu. Apa yang kamu pikirkan daritadi?" tanya ayahnya Vania.

"Tidak ada Om!" jawab Kevin.

Papanya Vania menghampiri mereka berdua, "jadi ini Kevin kekasihnya Vania?" tanya Papanya.

"Iya ini Kevin Tuan! Dia kekasihnya Vania" jawab ayahnya.

Kevin hanya tersipu malu dan tersenyum kepada papanya Vania.

"Tolong jaga Vania dengan baik ya! Jangan sakiti dia, ikutilah apa kemauannya. Karena hanya kamu yang selalu ia pikirkan, buatlah dia bahagia seakan-akan tidak merasa sedang sakit seperti ini ya Vin" ujar papanya.

Ia menitihkan air matanya. Tak tertahankan lagi, air mata ayahnya pun ikut terjatuh membasahi pipinya.

"Baik Om! Kevin janji!" jawab Kevin.

**

Hari sudah malam,

"Vin, kamu pulang saja! Biar Om yang jaga Vania. Tuan pulang saja, biar aku yang jaga Vania malam ini" ujar papanya.

"Baik Om! Besok pagi Kevin kesini lagi ya buat jagain Vania" ujar Kevin.

"Baiklah Tuan, besok malam giliran aku yang jagain Vania" ujar ayahnya.

"Hati-hati dijalan ya!" ujar papanya kepada Kevin dan Ayah.

"Iya Tuan!" jawab ayahnya.

"Baik Om!" jawab Kevin.

Mereka meninggalkan ruangan tersebut, Eugene sedang memantau ruangan tersebut. Ia melihat Kevin dan ayah Vania keluar dari ruangan tersebut. Ia bersiap-siap untuk masuk ke ruangan Vania, tak lama terdengar suara telepon masuk dari papanya.

"Eugene, dimana kamu? Kevin sudah pulang" ujar papanya.

"Aku sudah melihatnya Pa! Aku segera masuk" jawab Eugene lalu ia mematikan teleponnya dan bergegas masuk keruangan itu.

"Sungguh melelahkan daritadi aku mondar mandir diluar Pa! Menunggu Kevin tidak pulang-pulang" gerutunya.

"Tentu saja dia tidak pulang daritadi Eugene, kalau tadi Papa tidak menyuruhnya pulang dia tidak akan pulang" jawab papanya.

Eugene duduk di sofa dan merebahkan dirinya disana, ia melihat ada handphone entah milik siapa yang tertinggal di sofa tersebut. Setelah ia lihat, ternyata itu handphone milik Kevin.

"Pa! Gawat! Pasti Kevin balik lagi kesini. Handphonenya ketinggalan Pa!" ujar Eugene yang tadinya sedang duduk sontak langsung berdiri melihat handphone tersebut punya Kevin.

Saat berada di lift Kevin teringat kalau handphonenya ketinggalan, dia merogoh-rogoh kantong celananya. Ia tidak menemukan handphonenya, melihat Kevin seperti itu Ayahnya Vania bertanya kepadanya,

"Kenapa Vin?" tanyanya.

"Handphoneku ketinggalan Om!" jawab Kevin.

"Kita balik lagi ke ruangan Vania ya" ujar ayah Vania.

"Duh! Bagaimana ini Pa? Eugene harus sembunyi dulu di toilet!" ujar Eugene panik.

Tak lama mereka mendengar suara langkah kaki yang berhenti di depan pintu, Eugene segera berlari dan masuk ke toilet yang berada di kamar itu.

"Kenapa Vin?" tanya papanya.

"Handphoneku ketinggalan Om" jawab Kevin.

"Oh ini ya?" tanya papanya sambil mengambil handphone yang berada di sofa.

"Iya Om! Terima kasih ya! Kevin pamit pulang dulu ya Om!" ujar Kevin.

Kevin hendak berbalik badan kemudian ia melihat ada tas perempuan di sofa. Jelas saja Kevin sangat heran, ia berhenti sejenak dan melihat tas itu.

"Tadinya tidak ada tas itu disana, kenapa jadi ada tas itu disana? Itu tas siapa?" tanya Kevin dalam hati.

"Kenapa Vin? Tas itu ya? Rencananya Om mau memberikan tas ini kepada Vania" ujar papanya dengan santai agar Kevin tidak curiga.

"Oh begitu Om! Baiklah! Kevin pamit dulu ya!" ujar Kevin.

Sebelum Kevin meninggalkan tempat itu, Kevin menoleh kembali kearah tas tersebut. Lalu ia berjalan menuju pintu dan hendak membuka gagang pintu. Akan tetapi masih ada yang janggal dipikirannya, dan akhirnya ia membuka pintu dan meninggalkan ruangan itu.

"Eugene, Kevin sudah pergi. Keluarlah!" panggil papanya.

Keluarlah Eugene dari toilet itu,

"Untung saja ia langsung pulang, kalau tidak Eugene bisa kehabisan oksigen di dalam toilet lama-lama" ujar Eugene.

Papanya hanya tersenyum atas ucapan Eugene. Papanya dan Eugene menginap di rumah sakit malam itu, Eugene menghampiri tempat tidur Vania dielusnya kepala dan pipinya Vania.

"Van! Cepat sembuh ya! Aku merindukanmu" ujar Eugene.

Seperti bercermin, Eugene merasa bahwa dia yang sedang terbaring seperti itu. Kedua wajah dari mereka sangat mirip tanpa ada satupun perbedaan. Hanya saja tanda lahir yang membedakan mereka, dan watak mereka yang berbeda. Vania mempunyai tanda lahir dipergelangan kaki, sedangkan Eugene tidak punya. Eugene hiperaktif, kalau Vania introvert. Eugene menggenggam tangan Vania dengan pelan, tak lama ada pergerakkan jari tangan Vania perlahan. Eugene yang melihatnya segera memberitahu papanya,

"Paaa!! Jari Vania bergerak tadi. Cepat panggil dokter Pa!" serunya.

"Benarkah Eugene? Sebentar ya Papa panggil Dokter dulu" ujar papanya lalu berlari keluar untuk memanggil dokter.

Eugene masih disamping Vania dan memegang tangannya,

"Van! Kamu sudah sadar Van?" tanyanya.

Namun tidak dijawab oleh Vania, karena ia masih belum sadarkan diri dari komanya.