Ayahnya Eugene hanya diam terpaku melihat Eugene. Tangisan Eugene semakin kencang dan semakin mendesak agar ayahnya menceritakan sejujur-jujurnya kepadanya.
"Ayo pa! Ceritakan semuanya sekarang!" desak Eugene.
"Kamu salah paham Eugene! Tentu saja Papa selalu memikirkan saudara kembarmu itu! Tentu saja Papa mencarinya kemana-mana. Pada hari itu saat kamu lahir, ibumu menghembuskan nafas terakhirnya. Lalu saudara kembarmu diculik oleh salah satu orang suruhan musuh Papa agar Papa menandatangani surat yang membuat Papa kehilangan perusahaan Papa. Tentu saja Papa menyetujuinya, agar Papa bisa mengambil kembali kembaranmu. Tapi nyatanya, Papa tertipu oleh orang itu. Kembaranmu tidak bersamanya, kembaranmu dibuang ntah kemana oleh orang suruhannya. Papa sangat terpukul juga Eugene! Papa kehilangan Mamamu saat melahirkan kalian, dan Papa juga kehilangan anak Papa satunya lagi. Papa bukan tidak peduli dan tidak mencari, Papa sudah berusaha sebisa mungkin. Sampai pada akhirnya Papa memutuskan pindah keluar Negeri. Sekarang Papa ingin bertanya kepadamu, apakah kamu bertemu dengan kembaranmu? Jawab Papa Eugene!" tanyanya sambil memegang kedua pundak Eugene.
Eugene hanya menganggukkan kepalanya dan menangis sejadi-jadinya, ayahnya mencoba untuk menenangkannya dengan cara memeluknya.
"Dia sedang sakit Pa, hidupnya tidak akan bertahan lama Pa" sambung Eugene.
Sontak membuat ayahnya terkejut dan melepaskan pelukannya.
"Apa katamu Eugene? Dia sakit apa? Papa ingin bertemu dengannya!"
"Dia mengidap tumor otak dan sudah stadium akhir Pa. Aku harus menceritakan sebenarnya terlebih dahulu kepadanya Pa! Tidak bisa mendadak seperti ini. Eugene takut kondisinya akan lebih parah lagi" jelas Eugene.
"Baik Eugene, Papa sangat ingin bertemu dengannya kalau bisa secepatnya Eugene. Papa ingin segara membawa dia untuk berobat apapun itu agar ia bisa sembuh Eugene! Papa minta tolong kepadamu Eugene" pinta ayahnya.
Eugene menganggukkan kepalanya, "Baik Pa!" jawab Eugene.
**
Pada malam itu juga Vania merasa seperti ada yang menjanggal dalam hidupnya. Ia sedang berpikir sambil menggigit tangannya, kenapa ada orang yang bisa sangat mirip terhadapnya. Pikiran itu membuatnya menjadi tanda tanya besar, apakah dia adalah anak kandung ayahnya? Apakah dia memang punya kembaran yang terpisah? Atau jangan-jangan dia bukan anak kandung dari ayahnya itu? Tentu saja sangat menjanggal sekali, dan seperti telah direncanakan Tuhan mereka untuk bertemu di rumah sakit itu. Ayahnya telah pulang saat itu, ia sangat heran kenapa Vania tidak menyambutnya pulang. Vania hanya melamun dan tidak menyadari bahwa ayahnya telah pulang. Tentu saja ayahnya melihat Vania seperti itu diam-diam menyampirinya dan menepuk pundaknya.
"Vannn!" sontak langsung saja Vania terkejut dan hampir saja mengumpat.
"Ayahhhh! Kenapa mengejutkanku?! Kapan Ayah pulang? Kenapa aku tidak mendengar Ayah membuka pintu?" tanya Vania.
Sebenarnya sudah sangat besar suara pintu saat terbuka dan tertutup saat ayahnya pulang.
"Kamu melamun apa Van? Sampai kamu tidak tahu ada yang masuk? Bagaimana kalau pencuri yang masuk? Tidak baik melamun Van" ujar Ayah.
Vania menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal itu sambil tersenyum malu.
"Hehe. Maaf Ayah! Aku sedang memikirkan sesuatu" jawab Vania.
"Apa yang kamu pikirkan Van?" tanya ayah sambil melangkah duduk tepat disampingnya.
Vania tampak ragu-ragu untuk menanyakan hal itu kepada ayahnya, sampai beberapa saat ia terdiam dan memberanikan dirinya untuk bertanya.
"Ayah, bolehkah aku bertanya sesuatu kepadamu?"
"Apa yang kamu mau tanyakan kepada Ayah?" tanya ayah.
"Ayah, sebenarnya aku anak kandung Ayah atau bukan Yah? Apakah aku punya kembaran Yah?" tanya Vania.
Ekspresi ayahnya saat itu berubah seketika,
"Kenapa kamu tanya seperti itu? Tentu saja kamu anak Ayah Vania" jawab Ayahnya.
Tentu saja Vania tidak mempercayainya, seperti ada sesuatu yang disembunyikan oleh ayahnya lalu ia bertanya kembali kepada ayahnya.
"Ayah belum menjawab pertanyaanku yang satu lagi Yah, apakah Vania memiliki kembaran?" tanya Vania.
"Tidak Vania, kamu anak tunggal Ayah! Kamu tidak punya kembaran. Kenapa kamu bertanya seperti itu?"
Vania mengeluarkan kain dan kalung yang ditaruh di belakang tepatnya di sela-sela tempat duduknya.
"Tidak Yah! Aku hanya memastikan saja, soalnya aku menemukan kain dan kalung ini di lemari baju Ayah. Ini apa Yah? Kain ini seperti kain sarung untuk bayi dan kalung ini punya siapa Yah? Bukankah ini sangat mahal?" tanya Vania.
Tentu saja Ayahnya langsung merebut kain dan kalung itu dari tangan Vania dengan cepat.
"Kenapa kamu mengambil barang Ayah? Ini kain sarung waktu kamu kecil. Ibumu memakaikan ini kepadamu, dan kalung itu punya ibumu. Dulu Ayah menyisihkan uang untuk membelikan kalung itu kepada ibumu" jawab Ayah.
"Sudahlah! Tidak perlu dipikirkan lagi ya Van, Ayah mandi dulu ya. Nanti kita makan malam bersama" sambung Ayahnya.
Ia mencari alasan agar Vania tidak dapat bertanya-tanya lagi tentang masa lalunya sembari mengambil kalung dan kain tersebut untuk disimpan kembali.
Vania masih merasa ada kejanggalan dari jawaban ayahnya. Iya hanya diam dan melihat punggung ayahnya yang sedang berjalan meninggalkan ruang tamu sampai tidak terlihat lagi. Pada saat makan malam bersama ayahnya, tidak seperti biasanya pasti mereka akan berbagi cerita. Mereka hanya diam menikmati makan malam tanpa mengeluarkan satu katapun. Sampai selesai makan pun mereka hanya diam tanpa mengeluarkan satu kata sampai mereka masuk ke kamar masing-masing untuk tidur.
Vania duduk termenung diatas kasur, ia seperti mengenal kalung tersebut. Ia pernah lihat seseorang memakainya, tapi siapa yang memakainya? Kepala Vania tiba-tiba berdenyut kembali. Ia menguatkan diri untuk mengambil obat-obat pereda nyeri kepalanya di laci nakas tepat samping tempat tidurnya. Ia tidak bisa memaksakan dirinya untuk berpikir, dikarenakan kondisinya yang sedang sakit seperti itu. Setelah minum dan berbaring beberapa saat, nyerinya mereda dan ia tertidur. Bunyi telepon pun tidak terdengar olehnya karena pengaruh obat tersebut, ia seperti seorang bayi yang sedang kelelahan lalu tertidur pulas.
Keesokkan harinya.
Vania bersiap-siap untuk masuk kuliah, Kevin sudah bersiap-siap di depan rumah Vania untuk menjemputnya.
"Ayah, Vania pergi kuliah dulu ya!" seru Vania.
"Hati-hati di jalan Nak! Kamu yakin mau pergi kuliah? Bagaimana keadaanmu? Apa sudah membaik?" tanya Ayahnya.
Tentu saja ia sangat khawatir karena keadaan Vania yang sedang sakit. Vania tersenyum agar ayahnya yakin kalau ia tidak sedang sakit.
"Vania sehat Yah! Vania pergi dulu ya, sampai jumpa Ayah!" pamitnya sembari mencium punggung tangan ayahnya dan langsung bergegas berlari keluar.
"Hati-hati ya Nak!" teriak ayah.
"Pagi sayangku!" sambut Kevin.
"Pagi sayang! Yuk!" jawab Vania sambil mengambil helm yang di sodorkan oleh Kevin.
"Naiklah! Pelan-pelan Van! Jangan terburu-buru!" ujar Kevin.
"Iya Bawel!" jawab Vania sambil naik ke atas motor.
"Peluk ya! Kalau gak mau peluk aku ngambek!" ancam Kevin.
"Iya nih aku peluk!" jawab Vania sembari memeluk Kevin dengan erat.