Chereads / AKU, KAU DAN CINTA / Chapter 5 - BERTAMBAH SAKIT

Chapter 5 - BERTAMBAH SAKIT

Hari ini Vania merasa sakitnya semakin parah, pagi ini terasa sangat sakit sekali kepalanya. Kemudian ia mengambil telepon genggamnya yang berada di nakas samping tempat tidurnya dan menelepon Kevin supaya tidak menjemputnya.

"Vin, hari ini kamu tidak perlu menjemputku ya" pintanya.

"Kenapa Van? Kamu pergi kuliah dengan siapa?" tanya Kevin.

"Aku hari ini tidak kuliah Vin. Aku mau istirahat hari ini!" jawabnya.

"Kenapa Van? Kamu lagi sakit?" tanya Kevin.

"Iya Vin!" jawab Vania lagi.

"Aku jagain kamu ya, ayahmu kerja kan Van?" ujar Kevin.

"Tidak perlu Vin, ayahku tidak kerja hari ini. Jadi aku dirumah bersama ayahku," jawabnya.

"Baiklah, istirahat ya Van, jangan lupa minum obat. Nanti pulang kuliah aku ke rumahmu ya," ucap Kevin.

"Ok Vin!" setelah itu Vania segera mematikan teleponnya terlebih dahulu, lalu ia mengerang kesakitan sambil memegang kepalanya.

Vania beranjak turun dari tempat tidurnya, setelah ia sampai didepan pintu kamarnya, belum sempat lagi ia memanggil ayahnya, Ia terjatuh pingsan. Tak lama ayahnya datang dan terkejut, ia membangunkan Vania dan meminta pertolongan dari tetangga untuk membantu membawa Vania ke rumah sakit. Setelah sampai dirumah sakit, ayah bergegas menggendong Vania dan menyuruh perawat disana segera membawa Vania. Setelah beberapa saat setelah ditangani oleh dokter. Vania terbangun dari pingsannya, ia melihat kanan dan kiri dan kebingungan. Lalu ia tersadar kalau ia sedang di rumah sakit. Ayahnya Vania langsung beranjak dari sofa dan segera menghampiri Vania setelah melihatnya telah sadar, secara langsung ayah Vania langsung memeluk Vania dan menangis hingga sesegukkan. "Aku rasa ayahku telah mengetahui penyakitku, aku harus bagaimana?" lagi-lagi Vania hanya dapat bergumam didalam benaknya.

"Van, kenapa kamu menyembunyikan penyakitmu dengan ayah? Kenapa kamu tidak mau jujur terhadap ayah? Kenapa Vania? Kenapa setelah seperti ini ayah baru mengetahuinya?" tanya Ayahnya sambil menangis dan masih memeluk Vania.

"Maaf Ayah! Aku minta maaf! Aku belum bisa jadi anak yang sempurna untuk Ayah" ujar Vania.

Vania melihat ayahnya menangis seperti tampak tidak tega itu, hanya itu yang dapat dikatakan oleh Vania. Lalu ayahnya melepas pelukannya dan memegang wajah Vania menggunakan dua tangannya.

"Tidak Van! Tidak! Kamu anak Ayah paling sempurna. Ayah merasa gagal menjadi Ayah, sampai ayah tidak tau kamu sedang kesakitan. Maafkan Ayah Van!" ujar ayahnya lalu memeluk Vania lagi.

Ayah memeluknya sambil menangis, dan Vania ikut menangis karena ia sudah tidak bisa menahannya lagi didepan ayahnya.

"Ayah, aku mohon jangan beritahu Kevin terlebih dahulu. Aku tidak mau Kevin akan sangat terpukul ketika dia tau aku sakit. Bilang saja aku hanya kelelahan," pinta Vania pada Ayahnya untuk bungkam terhadap Kevin soal penyakitnya itu.

Ayahnya melepaskan pelukannya dan menatap Vania, "Bagaimanapun juga dia harus mengetahuinya Van. Lebih terpukul jika kamu tidak memberitahunya," ucap Ayah.

Vania berpikir sejenak sambil menatap ayahnya dan meresapi dan memahami kata-kata yang dikatakan ayahnya ada benarnya juga,

"Iya Ayah! Aku akan mencari waktu yang tepat untuk memberitahunya."

**

Beberapa saat kemudian.

Vania menyuruh Ayahnya untuk pergi makan siang terlebih dahulu,

"Ayah, pergi makan siang dulu ya. Sudah siang! Ayah belum makan dari pagi," ujarnya.

"Nanti saja! Kamu nanti sendirian" jawab Ayahnya.

"Tidak apa Ayah! Aku sudah enakan," ujar Vania.

Vania meyakinkan ayahnya bahwa ia sudah benar-benar tidak apa lagi, ia tidak ingin ayahnya juga jatuh sakit karena tidak makan.

"Beneran Van kamu bisa Ayah tinggal?" tanya Ayah lagi.

"Iya Ayah!" jawab Vania.

"Baiklah! Jika kamu butuh sesuatu tekan tombol ini ya" ujar Ayah sambil menunjukan tombol untuk memanggil suster jika perlu bantuan.

"Iya Ayah!" jawab Vania.

Ayah Vania akhirnya meninggalkannya dan pergi untuk makan siang, Vania turun dari tempat tidurnya sambil membawa infusnya dan jalan menuju taman di rumah sakit itu. Ada beberapa tempat duduk di taman itu, ia berjalan menuju tempat duduk yang kosong. Ia menikmati udara sejuk dari taman itu, tak lama seseorang dari arah belakang bergumam, "Waaahhh.. Tamannya sejuk sekali!" kata wanita itu. Sontak Vania langsung menoleh ke arahnya, lalu ia sangat terkejut. Wanita itu juga menoleh kearah Vania dan sangat terkejut juga. Mereka saling bertatapan dan terheran satu sama lain.

Wanita itu mendekat kearah Vania, dan duduk disampingnya. "Kenapa kamu sangat mirip denganku?" tanya wanita itu sangat terheran seolah ia sedang bercemin terhadap bayangannya sendiri. Vania hanya terdiam dan sangat heran bercampur kaget, "kenapa wajahnya sangat mirip denganku? Kami seperti saudara kembar, tidak ada bedanya" pertanyaan Vania yang seharusnya ia bicarakan kepada Wanita itu tapi ia tidak dapat mengatakannya.

"Nama kamu siapa?" wanita itu bertanya kepada Vania dan menyodorkan tangannya untuk berkenalan dengan Vania.

"Namaku Vania, nama kamu siapa?" tanya Vania sambil menjabat tangannya.

"Namaku Eugene, salam kenal ya! Aku sangat heran, kenapa kita sangat mirip? Kita seperti saudara kembar! Kamu kenapa dirawat disini kamu sakit apa?" tanya Eugene.

"Salam kenal juga Eugene! Tadi pagi aku pingsan, Ayahku membawaku kemari. Kamu sendiri kenapa disini?" tanya Vania balik.

"Aku tidak tau kenapa bisa berada disini, aku tiba-tiba pingsan juga. Dan dibawa papaku kerumah sakit ini. Kata papaku aku tidak apa-apa hanya saja kelelahan," jawab Eugene.

"Kita seperti jodoh ya! Tiba-tiba kita dipertemukan disini," sambungnya lagi.

"Iya kenapa ya kita bisa bertemu disaat seperti ini?" jawab Vania terheran.

"Atau jangan-jangan kita memang saudara kembar yang terpisah? Tapi papaku tidak pernah mengatakan apa-apa padaku soal saudaraku, bahkan aku tidak tau apakah aku memiliki saudara atau tidak. Papaku hanya bilang kalau mamaku meninggal setelah melahirkanku," jawab Eugene.

"Ayahku juga tidak pernah bercerita apapun padaku," ujar Vania.

"Oh ya! Minta nomor teleponmu dong! Aku ingin bertemu dan bercerita lebih banyak denganmu, aku baru beberapa hari di kota ini," ucap Eugene.

"Oh kamu pindahan kesini? Umur kamu berapa? Jangan-jangan tanggal lahir kita juga!" jawab Vania lalu mengembalikan telepon genggamnya Eugene.

"Ini nomor teleponku ya. Aku senang bisa bertemu denganmu, tapi aku mohon. Jangan menemuiku dulu ya kalau aku sedang bersama temanku atau ayahku, karena aku ingin meminta tolong kepadamu merahasiakan sesuatu dari mereka" pinta Vania.

"Iya, aku ikut papaku pindah kesini lagi. Dulu aku tinggal disini kok! Hanya saja aku harus ikut kemanapun papa pindah, karena aku sudah tidak punya mama. Aku dibesarkan papaku sejak dulu Van, baiklah Van aku tidak akan menyapamu jika kamu tidak menyapaku terlebih dahulu. Tanggal lahirku 03 Maret 1999," jawab Eugene.

"Ha! Apa? Tanggal lahirku juga 03 Maret 1999," ucap Eugene dan membuat ekspresi terkejut.

"Aku sangat penasaran, bagaimana kalau kita bertanya pada Ayah kita masing-masing?" tanya Eugene.

"Sepertinya tidak usah sekarang, karena aku sangat tidak ingin membebankan pikiran Ayahku saat ini. Oh ya Eugene! Aku masuk ke ruanganku dulu ya. Nanti Ayahku mencariku, tadi dia lagi pergi makan siang dulu. Nanti telepon aku ya buat ketemuan lagi," ucap Vania.

"Baik Vania! Semoga kamu cepat sembuh ya! Aku pasti akan meneleponmu Van, aku tidak punya teman disini dan masih banyak hal yang ingin aku perbincangkan denganmu," jawab Eugene.

"Makasih ya Eugene! Sampai jumpa Eugene!" ucap Vania sambil beranjak dari tempat duduknya.

"Sampai jumpa lagi ya Van, hati-hati ya! Atau mau ku antar ke ruanganmu?" tawar Eugene kepada Vania saat hendak berdiri dari tempat duduknya sambil membantu Vania untuk berdiri,

"Tidak perlu Eugene! Aku bisa sendiri kok! Kalau kamu antar aku ke kamar nanti ada yang melihatmu. Kita sudah sepakat jangan ada yang mengetahui tentangmu dulu," ucap Vania.

"Oh iya Van! Aku lupa. Oke Vania hati-hati ya. See you," jawab Eugene sambil melambaikan tangan kepada Vania.

"See you Eugene," sahut Vania sambil membalas lambaian tangan Eugene.

Vania berjalan kembali ke kamarnya. Sepanjang jalan ia memikirkan "Bagaimana jika Eugene menjadi pengganti dirinya untuk Kevin jika aku sudah tiada? Apakah Kevin akan menerimanya? Aku harap dia bisa membuat Kevin bahagia. Aku harus merencanakan sesuatu terlebih dahulu, sebelum aku tidak bisa melakukannya. Semoga Eugene besok meneleponku, banyak hal yang ingin ku bicarakan dengan Eugene. Tapi apakah dia mau menolongku?" disepanjang jalan hanya itu lamunannya Vania.

Sesampai di kamar Vania melihat sudah ada ayahnya dan Kevin. Kevin yang tadinya duduk langsung berdiri dan memeluk Vania.

"Kamu kemana? Aku telepon kamu, tapi kamu tidak membawa handphonemu. Buat aku khawatir saja!" seru Kevin.

"Aku habis dari taman Vin, udaranya sejuk disana" jawab Vania.

Kevin melepaskan pelukannya, "Apakah kamu sudah makan? Kalau belum aku suapin ya," ucap Kevin.

"Aku sudah makan Vin, kamu sendiri sudah makan? Kalau belum sini aku saja yang suapin kamu. Bagaimana?" goda Vania.

s"Aku belum makan Van, suapin aku dong! Aku mau kalau kamu yang suapin," jawab Kevin sambil menggodanya balik.