Setelah dokter bilang tentang penyakit Vania, Vania sangat terpukul. 'Bagaimana cara aku memberitahu Ayahku dan Kevin? Mereka pasti sangat sedih, aku tidak mau mereka terlarut dengan kepergianku. Tapi jika aku tidak memberitahu mereka, mereka akan sangat terpukul. Bagaimana ini? Aku harus bagaimana?' hanya itu saja yang ada dibenaknya Vania sekarang ini.
Vania dan Jenny pulang kerumah Vania. Sepanjang jalan mereka hanya terdiam tanpa berbicara satu katapun, sampai lamunan dan diam mereka tidak terasa sangat lama sehingga mereka akhirnya sampai ke rumah Vania. Vania turun dari mobil Jenny dan diamnya dan lamunannya itu ia hampir saja lupa mengatakan sesuatu ke Jenny.
"Jen, makasih ya sudah temani aku buat check-up. Tolong jangan bilang dengan siapapun dulu ya Jen," pinta Vania.
"Iya Van, cepat atau lambat mereka harus mengetahuinya. Kamu tidak perlu memikirkan biaya untuk kemoterapi kamu ya. Aku dan Sisca pasti akan membantumu," ujar Jenny sambil memegang tangannya Vania
"Makasih ya Jen, tapi aku tidak mau kalian terlalu berharap terhadap diriku. Apapun yang terjadi kalian harus mengikhlaskannya," pintanya lagi.
Seketika Jenny meneteskan air mata dan dia memeluk Vania.
"Van, aku mohon kamu yang kuat ya! Jangan menyerah! Kami maunya kamu sembuh, atau setidaknya jika dirimu pergi tidak merasakan sakit. Kami sangat menyayangimu Vania, kami akan lakukan yang terbaik agar dirimu bisa bahagia," ucap Jenny. Vania hanya menganggukkan kepalanya dan Vania juga meneteskan air matanya.
**
Keesokan harinya.
Kevin sudah menunggu Vania diluar, seperti biasa dia menjemput Vania. Kemudian Vania berpamitan dengan ayahnya sebelum berangkat kuliah, tiba-tiba Vania ingin sekali memeluk ayahnya sebelum ia tidak dapat memeluknya lagi. Langsung saja Vania memberanikan diri memeluk ayahnya, mungkin ayahnya sangat bingung kenapa Vania tiba-tiba seperti ini. Tetapi dia tetap membalas pelukan Vania, sontak membuat Vania meneteskan air mata.
"Kenapa kamu nangis Van? Kamu lagi sakit?" tanya ayahnya.
"Tidak Ayah! Aku hanya ingin memeluk Ayah," ucap Vania.
Ayah Vania mengusap air mata Vania dan dia mengatakan, "Jika kamu perlu seseorang untuk bercerita, ceritalah dengan ayah. Ayah akan selalu ada untuk mendengarkan ceritamu." Vania hanya menganggukkan kepalanya lalu berpamitan dengan ayah.
''Bagaimana bisa sanggup diriku menceritakannya kepada Ayah? Biarlah waktu berjalan, aku hanya perlu menjalani hari-hari terakhirku." lagi dan lagi Vania memikirkan hal itu, hanya hal itu yang ia pikirkan saat ini. Kemudian ia mengusap air matanya dan berusaha tidak terjadi apa-apa sebelum bertemu Kevin di depan rumah. Setelah sampai di depan rumah Kevin tersenyum kepada Vania dan melambaikan tangannya, Vania membalas senyuman Kevin dengan tatapan penuh pikiran. Satu orang lagi yang sangat ia khawatirkan, "Bagaimana dengan Kevin? Bagaimana cara aku untuk memulai menceritakan tentang sakitku ini?"
Vania berjalan menghampiri Kevin, Kevin melihatnya heran kedua keningnya berkerut.
"Sayang, kenapa mukamu belakangan ini pucat sekali? Kamu sakit?" tanyanya.
"Tidak sayang, aku tidak sakit kok! Aku hanya kelelahan saja" jawab Vania mengelak agar Kevin tidak mencurigainya.
"Kita cek ke dokter ya!" ucapan Kevin yang membuat Vania terkejut.
"Ti.. Tidak perlu Vin, aku baik-baik aja kok!" jawab Vania sedikit bergetar.
"Beneran kamu tidak kenapa-napa Van? Aku khawatir!" ucap Kevin sambil mengelus kepala Vania.
"Jangan khawatir! Aku tidak apa-apa. Yuk kita pergi kuliah nanti kita bisa telat!" ajak Vania.
"Yuk!" jawab Kevin kemudian membukakan pintu mobilnya untuk Vania.
**
Setelah sampai ditempat kuliah.
Vania dan Kevin memasuki ruangan kelas, Jenny & Sisca menatap Vania dengan tatapan berkaca-kaca seperti ingin menangis, dari tatapannya mereka sangat penuh kekhawatiran. Vania yang mengetahui maksud dari tatapan mereka dan ia langsung tersenyum dan bersandiwara seperti tidak terjadi apa-apa. Vania tidak ingin Kevin menjadi curiga jika ia diam dan bersedih membalas tatapan mereka.
"Pagi Jenny, pagi Sisca! Kenapa kalian menatapku seperti itu?" ujar Vania dengan nada riang seperti biasanya dan sedikit memberi kode dengan Jenny dan Sisca.
"Tidak apa Van!" jawab Sisca singkat, Jenny kemudian hanya menunduk dan terlihat dia sangat terpukul dan masih tidak bisa menerima apa yang dikatakan dokter semalam. Vania dan Kevin berjalan ketempat duduk mereka masing-masing. Tiba-tiba kepala Vania berdenyut sangat kuat, ''kenapa harus kumatnya sekarang? Bagaimana kalau Kevin nanti bertanya kepadaku? Arrrgghh.. Sakit sekali!" erangnya dalam hati sambil memejamkan matanya dan mengepal tangan nya diatas pahanya.
Vania menahan sakitnya sampai pulang kuliah, sangat sakit dan ia merasa terhuyung-huyung, pandangannya kabur dan keringat dingin keluar disekujur tubuhnya. Kevin mengantar Vania ketempat kerja tampa mencurigai kalau Vania sedang sakit. Vania sangat pandai menyimpan perasaan dan rasa sakitnya sehingga Kevin tidak terlalu curiga. Setelah mereka sampai, Vania langsung bergegas turun dari mobil Kevin, setelah melihat Vania masuk keruangan Kevin langsung bergegas beranjak pergi dari tempat itu. Vania hampir saja terjatuh pingsan setelah masuk ke Cafe, pandangannya sudah hampir gelap. Setelah beberapa jam ia menahan sakitnya itu. Ia menahan dirinya menyentuh meja yang kosong dengan satu tangannya saat ia hampir jatuh. Pemilik cafe datang menghampirinya, menolongnya agar tidak terjatuh, sekujur badan Vania sudah lemas dan Vania tidak dapat menahannya lagi.
"Van, kamu kenapa? Kamu sakit?" tanya pemilik café itu.
"Tidak apa Pak! Aku kesini ingin memberitahu Pak Bos, kalau aku mau berhenti kerja. Maaf ya Pak kalau selama ini Vania kerjanya suka ceroboh, dan maaf sangat tiba-tiba aku mengatakannya," ucap Vania.
"Kenapa tiba-tiba sekali kamu mau berhenti? Apa gaji yang kuberikan kecil?" tanya Bosnya.
"Tidak Pak, aku hanya ingin berhenti kerja. Aku ingin beristirahat Pak," jawabnya.
"Baiklah Van, bukan karena gajimu kecil kan Van? Kalau memang kamu merasa gajimu kecil saya akan tambahkan untukmu, karena susah mencari karyawan yang ulet dan jujur sepertimu" ujar Pak Bos.
"Tidak Pak! Jika gajiku kecil saya tidak akan bertahan sampe sekarang Pak. Terima kasih sudah banyak membantuku Pak! Aku tidak tau harus bagaimana membalasmu budimu Pak! Aku harap nanti Pak Bos bisa dapat yang lebih dari Vania," jawab Vania.
"Baiklah Van! Jika itu mau mu. Tunggu sebentar ya," pinta Pak Bos.
Bos Vania berjalan memasuki ruangan kerjanya, dan tak lama dia keluar dari ruangannya dengan membawa sebuah amplop,
"Van, ini buat kamu ya, gaji terakhirmu disini. Kalau kamu ingin kembali kesini, saya akan sangat senang menerimamu kembali. Pintu tempat ini akan terbuka lebar untukmu," ucap Pak Bos.
"Terima kasih banyak Pak! Semoga usaha Pak Bos semakin lancar!" jawab Vania sambil mengambil amplop tersebut karena Vania sangat memerlukannya.
Vania sudah sangat lama bekerja di Cafe itu, pemilik Cafe itu beserta karyawan yang lain sangat dekat dengan Vania, dan sudah menganggap keluarga satu sama lain.
"Terima kasih Vania!" ujar Pak Bos.
Vania sangat dekat dengan Bosnya, Vania sudah menganggapnya seperti kakaknya sendiri, dia selalu membantu finansial didalam kehidupan Vania. Vania sangat tidak enak hati untuk berhenti, tetapi ia sudah tidak sanggup lagi untuk bekerja. Pak Bos dan Karyawan Cafe mengadakan makan bersama sebelum Vania pulang, mereka semua menangis dan memeluk Vania. Tentu saja mereka sangat sedih terhadap keputusan Vania karena ingin berhenti. Setelah selesai mereka makan bersama, Vania menelepon Kevin untuk tidak menjemputnya, karena ia mau pergi kerumah sakit untuk menjalankan kemoterapinya.
**
"Kemoterapi hari ini cukup sampai disini ya Van! Besok datang lagi ya Van! Semoga ada mukjizat dari Tuhan agar kamu bisa sembuh Van," ucap Suster tersebut.
"Amin! Terima kasih Sus!" jawab Vania.
Setelah menjalankan kemoterapi Vania segera pulang. Setelag sampai didepan rumah, ternyata disana sudah ada Kevin yang sedang menunggunya sambil mondar mandir.
"Van, kamu kemana? Aku khawatir! Kamu habis dari mana?" tanya Kevin sambil memegang lengan Vania.
Kevin sangat cemas karena Vania mengatakan ia mau pulang tapi tidak ada Vania di rumah. Vania berpikir sejenak sambil menatap kedua mata Kevin, "bagaimana jika dia kehilanganku untuk selamanya? Apakah dia akan menderita? Aku harap ada seseorang yang bisa menjaganya, dan membuatnya tersenyum kembali!" lalu Vania tersenyum kepadanya dan mengelus pipinya.
"Pertanyaanmu banyak sekali Vin! Aku sampai bingung harus memulai dari mana," jawab Vania seolah-olah tidak terjadi apa-apa dengan dirinya.
"Habisnya kamu tidak mengabariku kemana kamu pergi, kenapa kamu tidak kerja hari ini? Kamu sakit? Van, tolong jawab yang jujur kepadaku!" ujar Kevin dengan kepanikan dan mulai mencurigai Vania yang sedang menutupi sesuatu dari Vania.
"Aku habis berbelanja tadi di supermarket sekalian jalan-jalan. Sudah sangat lama aku tidak jalan-jalan Vin" jawabnya santai sambil melihatkan barang bawaannya ke Kevin.
"Lain kali kasih tau aku ya sayang kamu kemana, kalau ada apa-apa aku bisa menyusulmu, jika terjadi apa-apa terhadapmu aku yang akan sangat menyesal terhadap diriku! Aku tidak dapat menjagamu dengan baik," ucap Kevin.
"Maaf ya sayang. Ayo masuk kerumahku, aku sudah berbelanja untuk kita makan malam bersama. Kamu mau kan?" ujar Vania dan diakhiri senyuman manisnya.
"Tidak apa-apa sayang, maaf aku terlalu mengkhawatirkanmu! Tentu saja mau Van! Yuk masuk!" jawab Kevin.
Beruntung sekali Vania membawa pulang belanjaan, jika tidak Kevin pasti akan mencurigainya. Vania benar-benar pintar mencari cara untuk beralasan karena ia sudah menduganya. Setelah masakan Vania selesai, ayah Vania juga sudah pulang kerja, mereka makan malam bersama. "Aku harap kami bisa seperti ini lebih lama, aku ingin sekali setiap hari seperti ini sebelum detik-detik aku tidak bisa melakukan hal-hal seperti ini lagi, didepan mereka aku hanya bisa tersenyum dan menganggap tidak terjadi apapun, aku menyimpan rasa sakitku. Aku belum bisa memberitahu mereka, aku tidak ingin mereka sangat terpukul ketika mereka mengetahuinya"