Diperjalanan menuju kampus, Kevin sangat ingin bertanya kepada Vania. "Apakah dia menerimaku atau tidak? Tapi aku harus mengurungkan niatku lagi, mungkin terlalu cepat untuk menjawabnya" gumam Kevin dalam pikirannya.
**
Setelah sampai di kampus, mereka berjalan bersama menuju kelas. Untung saja tidak ada Jenny dan Sisca, jika ada bisa-bisa mereka menggoda Kevin dan Sisca. Hari demi hari Kevin, Vania, Jenny, Sisca, Ericko, dan Samuel menjadi sangat dekat. Jika ada tugas kelompok mereka selalu dalam satu grup jika tidak dipilih acak oleh dosen, mereka sangat baik. Mereka sudah menjadi sahabat untuk berbagi suka dan duka.
"Kriiinnnnggggg..."
Bel istirahat berbunyi, Kevin ke teras bagian atap kampus tempat biasa Kevin dan Vania bertemu. Tapi disana tidak ada Vania, hanya Kevin sendirian disana. Kevin teringat dengan Beruang, "Benarkah Vania adalah Beruang? Tidak mungkin aku lupa dengan wajah Beruang. Aku sangat merindukannya, ingin sekali aku menanyakan hal itu kepada Vania. Tapi nanti dia malah mengira aku mencintainya atau ingin berpacaran dengannya hanya karena dia adalah masa laluku, lebih baik aku menunggu waktu yang tepat saja" lamunannya terhenti ketika mendengar ada suara kaki seseorang melangkah, ternyata seseorang yang datang adalah Vania yang sedang melangkah menghampiri Kevin.
"Kamu dari tadi disini ya Vin?" tanya Vania
"Iya Van, kamu habis dari mana?" tanya Kevin.
"Aku habis menemani Jenny dan Sisca ke perpustakaan," jawab Vania.
"Oh!" jawab singkat dari Kevin.
Suasana menjadi hening, mereka hanya menikmati udara sejuk sambil melihat langit tanpa melontarkan satu kata.
"Vin!" panggil Vania dan sontak Kevin langsung menatapnya tatapan mereka lalu bertemu,
Kevin tidak langsung menjawab panggilan dari Vania, ia hanya menatap dan melamun sebentar. "Jantungku berdebar sangat kencang seperti mau copot! Bagaimana ini, apa dia menerimaku sebagai kekasihnya? Atau sebaliknya? Tidak ada yang tau, cuma Vania yang tau apa yang ingin ia bicarakan. Atau dia ingin membicarakan hal lain? Aku sangat penasaran!" gumamnya Kevin dalam hati sambil menatap Vania.
"Iya Van? Kenapa?" Kevin menjawab panggilan Vania.
"Hmmm.." gumam Vania.
"Kenapa Van? Ada apa? Kamu sa.." pertanyaan Kevin terputus.
"Aku mau jadi pacar kamu!" ucap Vania sebelum Kevin menyelesaikan pertanyaannya.
"Aku mau jadi pacar kamu Vin!" ujar Vania lagi.
Kevin terdiam dan bibirnya membeku, ia masih tidak menyangka Vania akan menerimanya menjadi kekasih Vania. "Jantungku berdebar semakin kencang dan pipiku mulai memanas sehingga merah merona, badanku mati rasa, aku masih sangat terkejut," gumam Kevin dalam lamunannya.
"Kamu serius Van?" tanya Kevin setelah diam seribu Bahasa.
"Iya Vin, aku serius! Gantian lagi deh kamu yang nanya begitu," jawab Vania sambil tersipu malu.
"Aku masih sangat terkejut, ini mimpi? Coba kamu cubit aku Van!" pinta Kevin.
*Vania mencubit lengan Kevin*
"Aaawww! Sakit Van!" ujar Kevin sambil mengelus lengannya yang dicubit Vania.
"Jadi aku beneran tidak sedang mimpi ya?" tanya Kevin lagi.
"Iya Kevin saying!" jawab Vania.
''Apa? Sayang? Vania benar-benar membuatku ingin berteriak bahagia'' ujar Kevin dalam hati. Lalu Kevin memeluknya karena sangat gembira saat itu cintanya diterima oleh Vania.
"Makasih ya Van! Kamu sudah mau jadi kekasihku, aku sangat mencintaimu!" ujar Kevin.
"Sama-sama Vin, aku juga mencintaimu!" jawab Vania.
Kevin mengira Vania tidak akan menerima Kevin sebagai kekasihnya, Kevin masih tidak percaya. Mereka kembali ke kelas dengan berpegangan tangan, semua menyoraki mereka tentu saja mereka memberi selamat atas hubungan Kevin dan Vania. Jenny dan Sisca sangat gembira karena temannya itu tidak sendirian lagi. Vania, Jenny, dan Sisca berteman dari mereka masih SD. Tentu saja mereka sangat senang karena Vania tidak pernah berpacaran sama sekali dari dulu. Vania hanya menjadi obat nyamuk ditengah-tengah mereka sedang berpacaran.
**
Setelah setahun mereka lewati bersama. Makan bersama, pergi kuliah bersama, pulang kuliah bersama, bahkan Kevin sudah sangat dekat dengan ayahnya Vania. Tetapi belakangan ini Vania tampak berbeda, dia seperti ingin menghindari Kevin beberapa hari ini. Vania ingin pulang kuliah sendiri dan pulang kerja tidak ingin Kevin jemput. Kevin sangat terheran dan tidak tau kenapa, tampaknya Vania seperti menyembunyikan sesuatu dari Kevin.
Semakin hari Vania semakin lemah, Vania tidak tau kenapa Vania seperti ini. Vania sering sakit kepala dan terkadang Vania pingsan di tempat kerja. Vania mencoba untuk mencari alasan untuk menghindari Kevin, Vania meminta bantuan Jenny untuk menemani Vania ke rumah sakit. Vania menelepon Jenny dan meminta bantuannya,
"Jen bisa gak besok kamu temani aku ke rumah sakit buat check-up? Tapi jangan bilang sama Kevin ya kalau aku meminta bantuanmu untuk menemaniku ke rumah sakit" pinta Vania
"Kamu kenapa Van? Kamu sakit apa? Kenapa harus check-up Van?" tanya Jenny dia sudah panik saat mendengar permintaan Vania.
"Gini Jen, aku ngerasa badanku melemah. Kepalaku sering terasa sakit, dan aku sesekali pingsan di tempat kerja. Aku ingin tau ada apa dengan diriku," jawab Vania.
"Baiklah Van! Aku akan menemanimu, aku khawatir sekali. Jadi sekarang apa yang kamu rasakan? Kamu sekarang di mana Van?" tanya Jenny.
"Aku lagi dirumah Jen, untuk sekarang kepalaku masih terasa sakit. Tapi, tidak begitu berdenyut Jen" jawab Vania.
"Oke Van! Kamu istirahat ya Van!" ujar Jenny.
"Terima kasih ya Jen!" ucap Vania.
"Sama-sama Van! Kamu istirahat dulu ya, awas kalau kamu tidak istirahat dan masih bermain ponselmu!" perintah Jenny.
"Iya Jen!" jawab Vania kemudian Vania menutup teleponnya dan mereka mengakhiri pembicaraan mereka.
**
Keesokan harinya.
Setelah selesai pelajaran hari ini, waktunya pulang kuliah. Jenny telah merencanakan sesuatu yang sudah dijanjikan olehnya pada Vania,
"Van, temani aku yuk! Aku mau nyari tas untuk ke acara kondangan besok," ajak Jenny sambil membuat kode kepada Vania karena itu adalah bagian dari rencana mereka.
"Yuk Jen!" Vania mengerti kode dari mata Jenny dan ia merespon ajakan Jenny. Lalu ia menatap Kevin,
"Sayang, aku pulang sama Jenny ya. Aku mau temani Jenny pergi nih!" ujar Vania pada Kevin.
"Oke Van! Hati-hati ya saying!" jawab Kevin.
"Iya sayang!" jawab Kevin tanpa kecurigaannya sama sekali.
**
Sesampai mereka di rumah sakit, Vania menguatkan dirinya. 'Apapun hasilnya, aku harus menerimanya dan menjalaninya,' gumam Vania dalam hatinya walaupun sebenarnya dia tidak sepenuhnya kuat dan dapat menerima akan hasilnya nanti, tetapi Vania orangnya sangat tegar dan tidak mau menampakkan perasaannya secara terang-terangan. Setelah menunggu beberapa saat, mereka masuk ke ruang dokter setelah mengantri bersama. Vania menjelaskan ke dokter tersebut tentang sakit yang ia rasakan, Vania di arahkan untuk rontgen terlebih dahulu. Mereka harus menunggu hasil rontgen keluar dan setelah hasilnya, mereka kembali lagi ke ruangan dokter tadi dan dokter menjelaskan penyakit Vania. Dokter tersebut tidak berani untuk langsung mengatakan apa yang terjadi pada diri Vania.
"Apakah kamu siap atas jawabannya? Aku harap kamu mempersiapkan dirimu, dan aku harap kamu jangan terlalu dipikirkan tentang penyakitmu. Apakah kamu sudah memahami yang saya ucap?" tanya dokter.
Sepertinya sesuatu yang serius terhadap sakitnya Vania.
"Siap dok!" jawab Vania dengan tegas dan ia telah bersiap apapun akan hasil penyakitnya itu.
Dokter terdiam sangat lama setelah membaca ulang hasil rontgennya Vania.
"Ada tumor dikepalamu Van, dan jika menurut hasilnya waktumu untuk hidup tidak akan bisa lama. Tapi kita harus selalu berdoa, tidak selalu hasil medis itu akurat. Takdir hanya Tuhan yang mengaturnya," jelas dokter.
Vania sangat terkejut, Vania rasa ini semua seperti mimpi. 'Aku harus bagaimana? Apakah aku harus memberitahu kepada Ayah dan Kevin? Tidak! Tidak! Lebih baik aku tidak memberitahu mereka. Aku takut mereka akan khawatir dan aku tidak ingin mereka akan sedih. Aku harus bagaimana?' gumam Vania dan ia hanya bisa berdiam diri sambil memikirkan kata-kata dari dokter tadi, perasaannya sangat campur aduk sekarang. Seperti kehilangan arah untuk melanjutkan hidupnya. Seakan-akan ia ingin segera mengakhirinya lebih cepat.
**
Vania tidak dapat berbicara sepatah katapun dan melamun sambil menatap dokter tersebut.
"Bagaimana ini Dok? Apakah bisa sembuh? Apakah ada cara lain agar Vania bisa sembuh dok?" tanya Jenny dengan suaranya yang gemetar.
"Salah satu cara adalah operasi, tapi saya tidak bisa menjamin Vania akan sembuh total. Bisa kemungkinan jika dioperasi dia tidak bisa selamat dalam waktu itu juga," jawab dokter.
Jenny sangat terpukul mendengar apa yang diucapkan oleh dokter, dia menangis dan dia memeluk Vania sangat erat. Vania tidak dapat mengeluarkan satu katapun dari mulutnya, lagi-lagi hanya diam dan ia hanya bisa menangis. Ia sangat bingung saat ini.