Pagi yang cerah harusnya disambut juga dengan hati yang cerah. Namun, berbeda dengan Zevanya, mendung di hatinya kini semakin terasa dan semakin bertambah. Doa yang ia lantunkan nyatanya tak membuahkan hasil, tuhan belum mengabulkan lantunan merdu doa itu.
Penolakan untuk melayani Ayah serta Kakaknya mungkin baru kali ini ia rasa, karena setiap hari ia selalu menyempatkan diri untuk menghidangkan makanan di piring orang terkasihnya. Tetapi kali ini ia mendapat penolakan yang membuat ia merasa sakit hati, terlebih mendengar lontaran kata yang terucap dari mulut Kennard yang begitu menohok.
Dan untuk pertama kalinya selama ia
tinggal bersama dengan keluarga Bramantyo, dirinya diusir dari ruang makan dan dilarang untuk ikut bergabung untuk makan bersama. Larangan itu tentu saja semakin membuat Vanya sedih. Hatinya serasa diremas, begitu sakit ketika ucapan menyakitkan itu keluar dari mulut orang yang teramat ia sayang. Bram, Ayahnya sendiri yang selalu ia anggap sebagai pahlawannya.
"Kenapa bisa semenyakitkan ini Tuhan?" tanyanya tersedu berderai air mata dengan kedua tangan memeluk lututnya di lantai dapur seorang diri.
"Kenapa Ayah begitu benci sama aku sampai dia tidak mengijinkan aku untuk makan bersama? Apa memang tidak ada rasa kepercayaan sedikitpun untukku?"
Air mata yang belum lama berhenti mengalir, kini mengalir lagi membasahi wajah putih Vanya, seakan sumber air mata itu tak akan pernah kering.
"Aku capek nangis, bisa gak sih ini air mata berhenti ngalir!" ketusnya menyeka wajahnya dengan kasar.
"Ini bukannya waktu yang tepat untuk nangis Vanya! Sadar nangis itu gak bakal menyelesaikan masalah! Come on! Ini bukan waktu yang tepat buat kamu larut dalam kesedihan, yang harus kamu lakuin sekarang itu mencari cara dan bukti untuk membuktikan kalau kamu gak salah. Ayo come on Vanya!" seloroh Vanya menyemangati dirinya sendiri.
Ya, sejak semalam memang dirinya bertekad untuk menjadi manusia yang lebih kuat lagi, ia tak ingin larut dengan masalah yang sedang ia hadapi, karena ia sadar di dunia ini ia tak memiliki siapapun kecuali keluarga Bramantyo. Oleh karena itu, ia juga bertekad untuk mengembalikan kepercayaan yang telah diberikan oleh Bramantyo. Dirinya tak ingin mengecewakan orang yang telah menolongnya dan mengangkat dirinya hingga ia bisa merasakan bangku sekolah tanpa harus bersusah payah bekerja paruh waktu.
Dan untuk membayar semua jasa dari Ayahnya, ia pun tak akan pernah meninggalkan keluarga Bramantyo apapun yang terjadi. Kecuali, Ayahnya sendirilah yang meminta ia untuk pergi meninggalkan keluarga yang sudah memberi kenyamanan untuk Vanya.
Dalam hidup memang tak ada satu orang pun yang akan terlepas dari ujian dan musibah, tak terkecuali Vanya. Mungkin saat ini Tuhan ingin menunjukkan kasih sayangnya dengan memberinya ujian hidup agar dirinya selalu mengingat dan lebih taat akan Tuhannya.
Namun, ingatan Vanya kembali terlintas ketika ia dibuang oleh kedua orang tuanya sendiri dan dibesarkan di sebuah panti asuhan. Hidup bersusah payah tanpa mengenal dan merasakan bagaimana rasanya memiliki orang tua. Bagi Vanya, itu sudah ujian terberat dalam hidupnya. Tetapi apakah ujian itu masih belum cukup untuknya hingga tuhan kembali memberinya ujian berat lagi saat ini? Kenapa kesedihan lebih sering menyelimuti hidupnya daripada kebahagiaan? Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di otaknya seperti kaset rusak.
"Apa memang hidupku diciptakan sebagai seorang sebatang kara? Apa hidupku akan terus sendiri dan kesepian? Kenapa aku diciptakan kalau hanya untuk merasakan kesedihan?" gumamnya menerawang jauh. Namun, segera mungkin ia tepis pikiran buruk tersebut, karena ia tak boleh menyalahkan apa yang telah terjadi di hidupnya, karena semua yang terjadi pasti karena kehendak Tuhan dan sebagai umatnya, ia tidak boleh berprasangka buruk terhadap Tuhannya.
"Mau ke mana kamu?!" tanya Dena dengan suara tinggi dan tatapan tajam yang menghunus mata Vanya.
"Mau keluyuran lagi kamu hah?! Siapa yang kasih ijin kamu buat pergi?! Oh, atau kamu mau bertemu dengan orang suruhan kamu yang lain untuk merencanakan kejahatan kami itu? Iya? Dasar orang tak tahu diuntung!" sentak Dena sinis memandang tubuh Vanya dari ujung kepala hingga ujung kaki.
'Kampungan sekali dia, sungguh tak sebanding denganku,' batin Dena bergedik melihat penampilan Vanya yang sungguh sederhana di mata Dena yang saat ini hanya mengenakan celana jeans yang sudah pudar warnanya serta kaos putih oversize.
"Sudah mulai berani kamu menunjukkan siapa kamu sebenarnya ya ternyata? Dan saya rasa kamu justru semakin berani dan mulai ngelunjak. Kejadian kemarin rupanya tak juga buat kamu kapok ya?!"
"Emang benar feeling saya dari awal kalau kamu itu anak pembawa sial! Anak pungut seperti kamu itu gak pantas berada di keluarga kami yang terpandang! Dan harusnya suami saya tidak pernah memungut anak yang gak tahu diri hingga berani membunuh anak kandung saya!" teriak Dena kembali emosi melihat wajah Dena yang sedari tadi hanya datar menatap dirinya, dan tak ada raut wajah takut atau menyesal dari Vanya.
Sedangkan Vanya yang sedang diberondong dengan rentetan ucapan Dena yang menyesakkan dada, Vanya lebih memilih diam dan menghela nafasnya kasar, ia tak berniat sedikitpun membalas ucapan Dena, karena tahu hal itu hanya akan semakin memancing emosi Dena.
"Huh, maaf Bu aku pamit keluar sebentar," pamitnya singkat dan langsung keluar meninggalkan Dena yang masih terus mengoceh tak jelas, dirinya lebih memilih untuk pergi dengan perut kosong dibanding harus mendengar suara Dena yang akan memecahkan gendang telinganya.
"Aaagghh, sial" teriak Dena keras hingga membuat Bram serta Ken menghampirinya.
"Ada apa sih Bu? Kenapa teriak-teriak terus dari tadi?"
"Anak pungut itu yang sudah membuat Ibu emosi gini!"
"Anak pungut itu tidak sopan sekali sama Ibu, dan sekarang kalian tahu kalau dia pergi keluyuran? Ibu yakin kalian dia pasti punya rencana lain lagi untuk mencelakakan keluarga kita!" geram Dena melangkahkan kakinya menuju rumah keluarga meninggalkan kedua lelakinya itu.
"Pergi ke mana dia Bu?! Kok Ibu biarin dia pergi gitu aja sih?" tanya Ken menyusul Dena.
"Ibu gak tahu dia pergi ke mana karena dia langsung pergi begitu saja dan asal kamu tahu, Ibu tadi sudah melarang dia tapi dia ngotot."
"Kalian sih! Apa Ibu bilang? Lempar dia ke polisi atau bunuh dia sekalian biar impas. Nyawa harus dibayar nyawa kan?!"
"Ibu sudah pusing dan muak lihat kelakuan dia. Ibu juga takut kalau dia kembali membunuh kita."
"Dan sebelum hal itu terjadi lebih baik kita bunuh dia saja biar dia mempertanggung jawabkan dosanya kepada Tuhan. Ibu rasa itu ide terbaik," celetuk Dena menggebu-gebu.
"Bunuh Bu? Jangan gila kamu!" Bram tak setuju akan usulan Dena yang menurutnya keterlaluan dan di luar akan sehat.
"Gila apa? Siapa yang gila? Dia duluan yang bunuh Kaira, apa kita akan membiarkannya begitu saja? Kita juga harus bunuh dia biar impas!"
"Tapi gimana kalau tuduhan kita ini salah?" gumam Bram lirih.
"Salah apa? Apa lagi yang kamu ragukan Mas? Bukti kemarin sudah kita lihat bersama dan apa lagi yang kamu ragukan?!"
"Oh satu lagi, Ibu punya bukti lagi yang harus kalian lihat."
"Bukti apa?!"
"Bukti-"