"Apa?! Lo harus ikut gue karena gue punya sesuatu yang akan menutup mulut busuk lo itu!" Kennard tak dapat lagi membendung emosinya untuk menghadapi Vanya yang terus menyangkal. Dirinya sungguh muak dan jengah akan tindakan Vanya yang tak ingin mengakui kesalahan yang telah ia perbuat.
"Akh, sakit Kak," rintih Vanya merasakan ngilu di lengannya yang diseret paksa oleh Ken, dan ia sangat yakin jika bekas cengkraman itu pasti akan memar.
Seolah tuli, Ken tak menghiraukan ringisan kesakitan dari adik angkatnya itu, suara tangis yang dulu selalu menjadi kekhawatiran tersendiri baginya, kini seakan telah lenyap. Kini, entah mengapa suara tangis kesakitan itu seakan menjadi irama melodi yang indah di telinganya membuat wajahnya membingkai seringai.
'Sepertinya gue menemukan kepuasan dan kesenangan tersendiri melihat dia seperti itu,' batinnya melirik Vanya melalui ekor matanya.
"Segitu aja ngeluh sakit, gimana Kakak gue yang udah dibikin meninggal?" gumam Ken yang sangat terdengar jelas di telinga Vanya.
"Lo tadi terus mengelak kalau lo gak mencuri perhiasan nyokap gue kan? So, mari kita lihat apa lo masih bisa mengelak lagi setelah ini?" ujar Ken menatap sinis Vanya yang saat ini hanya tertunduk lesu seraya mengusap lengannya yang tampak memerah dan tercetak begitu jelas jemari Ken di kulitnya, menandakan kuatnya cengkraman pria tersebut.
Kening Vanya seketika mengkerut mendengar ucapan Ken, ia tak tahu apalagi bukti yang dapat mereka perlihatkan kepada dirinya, sedangkan ia tak pernah menyentuh sedikitpun barang berharga Dena. Yang dapat ia lakukan saat ini hanya bisa untuk menyiapkan mental, menghadapi kenyataan yang pasti akan mengejutkan dirinya dan kembali menambah masalah dalam hidupnya.
'Mau apa lagi ini? Kenapa masalah dalam hidupku bertubi-tubi dan dalam waktu yang bersamaan?' gumam Vanya seraya menghela nafasnya kasar.
Kini, Ken melangkah maju meraih laptop yang ada di atas meja. Tangannya menari-nari di atas kursor dengan menyunggingkan seringai iblis.
"Sebentar lagi kamu gak akan bisa mengelak lagi ucapan saya! karena bangkai kalau disimpan pasti lama-lama bakal tercium juga," celetuk Dena yang berdiri di samping Vanya.
"Lugu sih emang tampangnya, tapi dalamnya siapa yang nyangka kalau busuk!" sarkas Dena semakin membuat Vanya menundukkan kepalanya.
Bram serta Ken hanya tertawa sinis mendengar celetukan Dena. Mereka sangat setuju akan perkataan Dena, karena bagi mereka berdua tak ada lagi kepercayaan yang tersisa untuk Vanya. Apalagi dengan bukti-bukti yang menyebar belakangan ini seakan menyadarkan mereka bahwa orang yang selama ini mereka sayangi dengan tulus ternyata tak sebaik yang mereka kira. Bahkan, kini Bram semakin kecewa akan keputusannya beberapa tahun lalu telah membawa orang masuk ke dalam keluarganya, dan sialnya orang tersebutlah yang menyebabkan permasalah dalam hidupnya terus bermunculan.
"Pembohong hanya bisa ditampar dengan bukti, dan sekarang mari kita tampar dia dengan bukti tersebut," seloroh Bram melangkah mendekati anak lelakinya.
Sesak di dada semakin terasa, seakan terhimpit oleh benda berat yang menyesakkannya. Helaan nafas terdengar berulang-ulang dari mulut Vanya, membuat Dena semakin meliriknya sinis seolah tahu akan perasaan yang dirasakan oleh Vanya.
Layar laptop yang menghadap ke arah Vanya pun kini menampilkan sebuah video yang entah video apa, Vanya tak tahu.
Semakin diputar, Vanya semakin mengerti jika video tersebut menampilkan rekaman cctv yang ada di kediaman Bramantyo.
Semakin lama video itu diputar Vanya masih tenang dan mencari letak kesalahan yang di gadang-gadang sebagai bukti bahwa ia telah melakukan pencurian. Namun, sampai detik itu juga, Vanya masih belum bisa memahami letak bukti yang dimaksud, karena dalam video yang diambil beberapa waktu lalu itu hanya menampilkan dirinya yang sedang berjalan menuju kamar utama, kamar yang ditempati oleh Bram dan Dena dan tak lama ia kembali keluar dari kamar tersebut. Dan setelah itu tak ada lagi rekaman tentang dirinya, karena di dalam kamar memang sengaja tak dipasang cctv dengan maksud menjaga privasi.
Hatinya semakin berdebar menanti kemungkinan terburuk yang akan terjadi kepada dirinya.
'Maksud dari cctv itu apa ya? Perasaan di video itu tidak menampilkan sesuatu yang mencurigakan atau menampilkan kalau aku benar-benar mencuri. Tapi kenapa mereka bilang kalau itu bukti? Bukti apa sih sebenarnya?' tanyanya dalam hati. Namun, sedetik kemudian hatinya mendadak resah kala sebuah kemungkinan terlintas di dalam otaknya.
'Itu video aku ingat banget kalau waktu itu aku disuruh sama Ibu untuk mengambilkan parfum, iya aku ingat waktu itu. Dan itu juga baru pertama kali Ibu mengijinkan aku untuk masuk ke dalam kamarnya padahal sebelumnya aku gak boleh sama sekali masuk ke dalam kamar. Dan jangankan masuk, nyentuh barang Ibu saja pasti dia akan langsung ngamuk.'
'Dan anehnya waktu itu juga Ibu nyuruh aku masuk ke kamarnya. Apa jangan-jangan waktu itu aku dimanfaatkan ya sama Ibu? Seolah-olah aku ke sana untuk mencuri?'
'Ibu memang benci banget sama aku dari dulu, tapi apa mungkin Ibu memutar balikkan fakta seperti apa yang aku pikirkan ya?' Otaknya terus berputar merangkai asumsi tersendiri. Asumsi buruk yang mungkin akan terjadi.
"Apa sekarang lo sudah sadar kalau selain pembunuh lo itu seorang pencuri? Dan apa lo masih bisa mengelak setalah lo lihat bukti ini?"
"Apa lo masih mau menyangkal juga hah?! Di video ini jelas-jelas lo masuk ke kamar Ibu, dan pasti lo ke dalam karena mau mencuri perhiasan Ibu kan?!"
"Selama ini lo gak pernah berani masuk ke kamar itu kan? Tapi kenapa lo berani masuk kalau tidak punya maksud lain? Sudah berapa kali lo diam-diam menyelinap masuk ke dalam kamar Ibu?"
"Pembunuh, pencuri, lalu apa lagi yang belum kita ketahui tentang lo hah?! Tabiat lo aja sok baik, nyatanya gak lebih dari iblis!" sentak Kennard menatap tajam Vanya. Dengan mata merah menyala, ia melangkah ke arah Vanya dan tangannya langsung mencengkram rahang Vanya dengan erat.
"A-aku bisa jelasin Kak," jawabnya terbata.
"Jelasin apalagi hah?! Jelas-jelas setelah lo sudah mencuri! Perhiasan itu juga ada di dalam kamar lo! Dan sekarang lo masih mau mengelak lagi?! Hah?!" teriak Ken tanpa melepaskan cengkeramannya pada rahang Vanya.
"Wa-waktu Itu aku disuruh Ibu buat ambil parfum Kak, cuma itu gak lebih. Selama ini aku memang gak pernah masuk ke kamar itu, tapi karena Ibu meminta tolong jadi aku masuk ke kamarnya," terang Vanya lirih seraya tangannya berusaha melepaskan cengkraman Kennard.
"Oh ... sekarang kamu berani fitnah saya ya? Kapan saya suruh kamu? Saya tidak pernah menyuruh kamu, jadi stop membuat drama lagi, karena kami gak butuh!" sentak Dena.
Kini ketiga orang dewasa itu tidak henti-hentinya menuding dan membentak Vanya yang masih terus mengelak. Dan tindakan Vanya jelas membuat mereka semakin tersulut emosi.
"Sialan! Brengsek! Gue-"