Gelap, sepi dan pengap. Itulah yang kini dirasakan oleh Vanya. Dan di sinilah ia berada, gudang yang hanya menyisakan sedikit ruang untuknya karena di penuhi oleh sarang laba-laba serta barang-barang tak berguna lainnya.
Takut sungguh ia rasa, suara tikus dan serangga kian memenuhi indera pendengarannya membuat ia hanya bisa meringkuk memeluk tubuhnya sendiri.
Di tengah rasa sakit di perutnya karena menahan lapar sedari pagi dan ditambah dengan tubuh lebam penuh luka, ia hanya bisa menangis. Mungkin hanya tangis yang bisa menemaninya saat ini.
Air mata yang selalu tak ia harapkan itu entah mengapa selalu keluar seolah ingin menemaninya di kala sepi. Tapi, bukan itu yang Vanya inginkan, ia ingin membendung tangisnya itu agar berhenti dan kembali bangkit melawan takdir hidup yang kian membuatnya tersiksa. Tetapi nyatanya ia belum mampu. Ia belum mampu membendung luka dan rasa kecewa yang menimpa hatinya.
Dan saat ini mungkin ia terlihat terlalu larut akan kesedihan. Namun, itulah kenyataanya. Otak tak ingin berhenti memikirkan nasib dirinya yang seakan tak akan pernah merasakan kebahagiaan. Dan sekelebat memori tentang keluarganya, kekecewaan, hinaan, makian, serta tuduhan itulah yang kini terus menghantui otaknya. Dirinya tak bisa menghapus memori tersebut, walaupun ia sungguh ingin melupakannya agar ia tak menaruh rasa kecewa yang teramat dalam.
"Rasanya aku pingin amnesia saja Tuhan," gumamnya masih menelungkup-kan kepalanya di sela lutut.
Rentetan kilas balik hidupnya memang sungguh ajaib. Selama hidup, ia bahkan hanya dihitung jari bisa merasakan bahagia, dan senyum merekah penuh ketulusan kini kembali sirna.
Walaupun tiga tahun memang ia mengalami fase hidup yang membuatnya bahagia, tetapi ia juga tak sepenuhnya merasakan kebahagiaan itu. Karena nyatanya sedari ia masuk ke keluarga Bramantyo, Dena memang selalu menentangnya dan tak pernah menyukai kehadirannya.
Dan kini apa? Tak ada lagi yang bisa membuat tawanya terdengar, tak ada seseorang yang menjadi alasannya untuk kuat menjalani hidup, dan tak ada orang yang selalu memberi semangat serta motivasi untuk bangkit dari keterpurukan.
Mungkin yang di bilang oleh Kennard serta kedua orang tua angkatnya memang benar, jika ia hanyalah sampah. Sampah yang tak ada nilai serta gunanya.
Kekehan kini terdengar lirih dari mulut Vanya, meskipun lelehan air mata tepat membanjiri wajah pucat-nya. Ia menertawakan hidupnya yang begitu penuh kerikil tajam yang membuatnya tersandung dan kembali menangis.
"Kalau aku gak berguna kenapa Tuhan menciptakan aku? Kenapa Tuhan gak mengambil aku saja? Kenapa justru tuhan membiarkan manusia tak berguna seperti aku hidup?" tanyanya sendu.
"Seharusnya aku sedari dulu itu sadar, jika hidup aku itu penuh akan kesialan dan bukan memberi manfaat kepada orang, melainkan kesialan!" runtuknya kepada dirinya.
Kini mungkin ia hanya bisa pasrah menjalani hidup yang penuh akan teka-teki itu. Teka-teki rumit dan sulit untuk dipecahkan.
Rasanya hanya sekedar untuk melawan dan membela diri saja ia tak sanggup. Memangnya ia memiliki kekuatan apa? Dia tak memiliki kuasa apapun, dia tak memiliki kekuatan untuk bisa membela dirinya.
Bukti yang ia dapatkan tadi hanya secuil, dan itupun tak akan bisa membuktikan jika ia tidak bersalah. Masih banyak bukti yang harus ia selidiki. Namun, dengan cara apa dan bagaimana untuk ia bisa mendapatkan itu? Bahkan, seumur hidupnya ia tak yakin jika ia akan bisa membuktikan kepada keluarganya jika dia bukan lah pembunuh.
"Seharusnya aku kembali menyelidiki bukti kecelakaan itu dan mencari informasi tentang Johan, tapi apa aku bisa? Untuk menyelidiki semua itu pasti butuh biaya untuk transportasi, sedangkan aku gak punya uang sama sekali. Bahkan, untuk makan saja sekarang aku gak bisa," gumamnya seraya meremas perutnya yang kian terasa perih.
Secara perlahan ia mulai mengangkat kepalanya, mengedar menyapu ke seluruh penjuru ruangan gelap tersebut. Matanya mengedar berharap menemukan setitik cahaya bulan. Namun ternyata nihil, ruangan itu tak ada fentilasi sama sekali, membuat Vanya semakin frustasi.
Suara decitan tikus kembali terdengar dan seketika membuat Vanya menggeser tubuhnya ke pojok ruang. Rasa takut yang ia rasa seolah kalah akan situasi yang menghimpitnya. Jika ia bisa dan ingin, rasanya ia ingin sekali mengedit pintu dan berteriak meminta pertolongan, tetapi karena ia yakin jika usaha itu akan berujung sia-sia maka, yang bisa ia lakukan hanyalah menekan rasa takut itu sendiri.
Tangisnya memang kini sudah mereda, hanya menyisakan isakan yang terdengar dan matanya yang memberat, dan ia sangat yakin jika kedua matanya itu telah membengkak karena terlalu lama menangis.
"Ya Tuhan," gumamnya sendu meratapi nasibnya yang begitu malang.
Bahkan kini ia harus berakhir dan bermalam di dalam gudang yang begitu pengap membaut pernafasannya sesak.
Rasa kantuk sebenarnya sangat ia rasa, tetapi rasa perih di perutnya dan rasa takut kembali mendominasi dirinya hingga ia tak mampu untuk memejamkan matanya barang sejenak. Dirinya tak tahu pukul berapa sekarang, yang ia tahu hanya hari sudah sangat larut, karena ia teringat dengan jelas jika ia diseret paksa ke gudang saat waktu telah menunjukkan pukul sepuluh malam. Dan entah sudah berapa lama ia meringkuk menangis di pojokan gudang hingga matanya seakan tak bisa untuk berkedip.
"Aggghh, perutku perih sekali," gumamnya meringis merasakan perutnya yang begitu terasa sakit seakan perutnya di peras oleh sesuatu di dalam.
Seharian beraktivitas dan melakukan pekerjaan rumah, dan ditambah dengan mencari bukti ke mall itu sudah menguras energinya. Namun, satu bulir nasi pun tak ada yang masuk ke dalam lambungnya.
Entah mengapa Ayah serta Kakaknya itu kini begitu kejam terhadap dirinya. Jangankan makan, untuk minum saja ia dilarang.
Dulu, mereka yang selalu mengingatkan ia agar tak telat makan, namun kini justru berbalik. Mereka seolah enggan memberinya asupan yang sangat ia butuhkan kini.
Berkali-kali otaknya berputar dan bertanya tentang dosa apa yang telah ia lakukan hingga takdir bisa sekejam ini terhadap dirinya.
Delapan belas tahun, ia hidup di dunia ini. Namun, selama ia hidup dirinya merasa hanya dilingkupi oleh kesengsaraan dan ujian. Ya, dia tahu dan sangat tahu jika manusia pasti tidak akan pernah lepas dari yang namanya ujian. Karena itu bagian dan bentuk yang sudah pasti melekat di hidup setiap manusia.
Tetapi, apakah ia hanya akan selalu di berikan ujian? Bukankah Tuhan menjanjikan jika ia tak akan pernah memberikan ujian jika umatnya tak sanggup menerima? Tetapi ini apa? Dia sungguh merasa tak bisa lagi menghadapi ujian itu.
Menyalahkan Tuhan, mungkin saat ini ia tanpa sadar menyalahkan Tuhan akan segala takdir hidup yang ia miliki. Dan ia sangat sadar jika ia telah berbuat dosa, tetapi otaknya buntu dan tak lagi berfikir dengan jernih.
Dan dalam renungannya itu, terbesit akan hal buruk yang melintas.