"Selain kamu bayar pakai uang hasil curian, pasti kamu juga membayarnya dengan tubuhmu itu kan?" Bibir Dena terangkat menertawakan Vanya yang tampak tak berdaya dan tercengang akan ucapannya. Bahkan, bukan hanya Vanya saja yang terkejut mendengarnya, ada dua sosok laki-laki di sampingnya yang tak kalah terkejut hingga kedua pasang mata mereka membulat seakan ingin keluar.
'Mampus! Gak bisa jawab kan kamu!' batin Dena menyeringai puas melihat Vanya yang hanya diam mematung.
'Ya tuhan. Tuduhan apalagi ini? Apa aku serendah itu di mata Ibu hingga dia memandangku dengan buruk? Pencuri, dan sekarang menuduhku menjual diri? Astaga tuhan.' Vanya hanya bisa memejamkan matanya dan menghela nafasnya kasar. Lelah dan lapar sungguh ia rasa, tetapi masalah yang menimpanya justru semakin menjadi. Entah apalagi tuduhan yang akan dia dengar, rasanya ia sangat muak mendengar kata-kata kasar dan fitnahan yang terus kelurganya layangkan kepada dirinya.
'Baru pulang aja aku sudah dituduh macam-macam gini, gimana kedepannya?'
'Tadi juga Ayah Bram kenapa sinis begitu ya? Kenapa dari sorot matanya seperti semakin memancarkan kebencian sama aku?'
Kedua kelopak matanya ia buka setelah ia bisa mengatur emosinya, ekor matanya melihat jika dua orang pria yang selalu membelanya kini menatap dirinya dengan seksama, seakan meneliti setiap jengkal tubuh Vanya, membuatnya merasa tak nyaman.
"Maaf Bu kalau aku tidak sopan. Tapi aku bukan seperti apa yang Ibu pikirkan atau Ibu tuduhkan jadi, aku harap Ibu bisa menjaga ucapan Ibu agar lebih berhati-hati lagi. Karena kita tidak tahu bagaimana hati seseorang. Sekarang, Ibu menuduhku seperti itu, dan aku memaafkan Ibu karena mungkin Ibu sedang bercanda, tetapi jika terhadap orang lain bagaimana? Ibu bisa saja terkena masalah jika Ibu masih berucap sembarangan lagi. Jadi Vanya harap, Ibu lebih berhati-hati lagi," sahut Vanya menjawab Dena dengan lantang dan tenang, seakan ia tak terpengaruh oleh ucapan Dena. Namun, sejujurnya ia merasa takut, karena ini adalah kali pertama bagi dirinya mampu menjawab ucapan Dena.
'Maafkan aku Tuhan, maafkan aku Bu, jika aku lancang, tapi sesekali aku harus membela diri aku di hadapan Ibu, karena ini sangat keterlaluan,' gumam Vanya dalam hati.
Seringai iblis yang menghiasi wajah Dena kini terganti seketika, raut wajahnya berubah memerah dan hidung yang mengembang menahan emosi.
'Sial! Kenapa dia berani sama aku?! Sialan ini anak pungut!' geram Dena mengepalkan kedua tangannya yang berada di sisi tubuhnya.
"Oh, rupanya kau sudah mulai berani ya sekarang? Ternyata ini wajahmu yang asli? Selama ini kamu memakai topeng ya agar terlihat wanita baik-baik?" tanya Dena sarkas sembari mengatur nafas dan emosinya agar tak mudah tersulut, ia sengaja menahan emosi karena ia harus menjaga image dihadapan suami dan anaknya.
"Yah, sekarang kamu sudah tahu sendiri kan gimana sifat asli anak yang kamu pungut ini? Selama ini dia hanya berpura-pura baik di depan kita, padahal aslinya lebih busuk dari bangkai!"
"Topeng apa Bu? Topeng apa yang Ibu maksud? kepura-puraan bagaimana? Selama ini aku selalu apa adanya dan menjadi diri sendiri, karena aku tidak suka menjadi orang lain. Aku memang bukan orang baik, bahkan jauh dari kata baik. Tapi aku hanya ingin menyangkal ucapan yang memang tidak benar. Apa yang Ibu katakan itu tidak benar, pencuri, menjual diri, bahkan merencanakan pembunuhan Kak Kai, itu semua salah!" ucap Vanya penuh penegasan.
Dirinya memang sadar jika ia hanya seorang anak yatim piatu yang tak memiliki keluarga dan mungkin saja tidak diharapkan kehadirannya di dunia oleh orang tuanya. Dia yang selama ini berusaha memendam amarah dan selalu berusaha bersikap tidak perduli akan perkataan Dena karena ia masih bisa mentoleransi hal tersebut. Namun, saat ini Dena sungguh keterlaluan terhadap dirinya, seakan Ibu angkatnya itu ingin sekali merendahkan dan melecehkan dirinya.
'Kenapa Ayah hanya diam saja? Kenapa dari tadi tidak merespon apapun? Jangan sampai Ayah terhasut lagi sama omongan Ibu.'
"Wah ... ternyata kamu selain pembunuh, pencuri, dan pe-lacur, kamu juga pandai berakting ya?" sarkas Dena memandang rendah Vanya, bahkan dirinya kini berjalan mendekat ke arah Zevanya.
"Bu-"
"Apa? Mau apa kamu? Kamu mau menyangkal omongan saya?" sentak Dena memotong ucapan Vanya.
"Aku harus ngomong apalagi sih Bu agar Ibu percaya sama aku? Aku bukan pembunuh Bu, bukan. Aku juga bukan pencuri, apa yang aku curi? Dan yang lebih penting, aku gak pernah menjual diri aku. Walaupun aku orang miskin dan gak punya apa-apa, tapi aku sama sekali tidak akan dan tidak pernah terlintas di pikiranku untuk menjual diri." Vanya begitu lantang menyuarakan isi hatinya. Bahkan, dengan percaya dirinya ia mendongak menatap lurus mata Ibunya yang memancarkan kebencian yang begitu mendalam untuknya.
"Pembunuh! Kau jelas-jelas sudah membunuh anakku!" teriak Dena menuding wajah Vanya.
"Dan kau juga sudah mencuri! Kau mencuri semua perhiasanku, sialan!" Dena emosinya sudah tak dapat ia kendalikan lagi, melihat banyak yang justru semakin berani ia pun semakin membuatnya emosi, dirinya bahkan mendorong tubuh Vanya dengan keras hingga membuat Vanya memekik karena tubuhnya tersungkur di atas lantai.
"Aaghh, sssshh ... sakit sekali," gumam Vanya lirih mengusap keningnya yang berdenyut.
"Kau mengelak jika kau bukan pencuri hah? Lalu ini apa hah?!" sentak Dena seraya melemparkan semua perhiasannya ke wajah Vanya.
***
Bukti yang akan ditunjukkan kepada Bram dan juga Ken ialah beberapa set perhiasannya yang berada di kamar Vanya, lebih tepatnya di bawah kasur. Entah bagaimana hal itu terjadi, namun itulah yang ada di depan mata Bram dan Ken. Bukti yang ditunjukkan Dena pun memperkuat bukti jika uang hasil curian itulah yang Vanya gunakan untuk membayar orang suruhannya agar bisa melancarkan aksinya membunuh Kaira.
***
"Itu semua perhiasan saya yang kamu simpan di kamar kamu! Dan saya yakin jika sebagian sudah kamu jual, dasar pencuri!"
Vanya seketika langsung terdiam mencerna semua ucapan Dena. Ia tak pernah mencuri barang milik Vanya, tetapi kenapa bisa ia kembali dituduh sebagai pencuri, dan tatapan kecewa dari Bram serta Kennard membuat ia yakin, jika tadi telah terjadi sesuatu hingga membuatnya kembali tersudut.
'Sebenarnya ada apa ini? Kenapa bisa perhiasan Ibu ada di kamar aku? Bagaimana bisa? Bahkan, selama ini aku tidak berani untuk masuk ke kamar Ibu, jadi bagaimana aku bisa mengambil semua itu?'
"Ini tidak mungkin Bu, demi tuhan aku tidak pernah mencuri apalagi barang Ibu. Selama ini aku tidak berani masuk ke kamar Ibu, jadi tidak mungkin aku bisa mengambil perhiasan Ibu." Vanya berusaha menjelaskan dengan pelan agar mereka percaya akan apa yang ia ucapkan, terlebih hatinya sangat terluka ketika tatapan mata penuh kekecewaan begitu terlihat dari kedua lelaki malaikatnya.
"Kita tidak pernah tahu dan bagaimana rencana kamu selama ini, sehingga semua aksi kamu begitu mulus dan tak terlihat. Tetapi itulah yang kami lihat, kamu telah mencuri dan itu jumlahnya tak sedikit jika diuangkan," ucap Bram akhirnya ikut membuka suara.
"Dan apa lo kasih ingin mengelak lagi?"
"Sini ikut gue!" titah Ken menarik tangan Vanya agar gadis itu kembali berdiri.
"Tapi Kak-"
"Apa?! Lo harus ikut gue karena-"