"Bukti baru yang menguatkan kalau perkataan si Johan itu benar."
"Iya, bukti apa sih Bu? Jangan berbelit-belit deh, kita semua lagi pusing memikirkan itu dan jangan bikin tambah pusing lagi mikirin ucapan Ibu yang setengah-setengah itu!" ketus Ken mendelik ke arah Dena sembari memijat keningnya yang memang terasa pusing.
"Kemarin kita semua mikir kan dari mana perempuan pembunuh itu mendapatkan uang? Dan sekarang Ibu sudah tahu jawabannya-"
"Apa Bu? Dia jual diri?" ucap Ken memotong ucapan Dena.
"Jaga mulut kamu Ken!" sentak Bram menatap tajam sang anak, karena ia merasa tidak suka akan perkataan Ken yang menurutnya tak sopan.
"Apaan sih Yah? Kan Ken cuma berasumsi, udah deh Ayah gak usah belain dia lagi, Kennard udah gak percaya lagi sama dia!"
"Bukan maksud Ayah belain dia, tapi gak mungkin aja kalau dia jual diri," jawab Bram.
"Udah diem dulu deh kalian! Ibu belum selesai cerita kalian main potong aja."
"Perhiasan Ibu ada yang hilang, tadi Ibu check ternyata ada banyak yang hilang," ucap Dena serius menatap kedua lelaki yang ada di hadapannya.
Kening kedua lelaki berbeda generasi itu seketika mengkerut, mereka saling pandang seolah isi hati mereka sama.
"Ibu gimana sih? Tadi katanya punya bukti lain, sekarang malah cerita kalau perhiasan Ibu hilang. Kalau hilang ya lapor polisi lah Bu."
"Apa hubungannya dengan bukti Vanya coba? Aneh si Ibu," imbuh Bram terkekeh pelan.
"Iya, gimana sih maksud Ibu? Mending kita cepat lapor polisi aja sekarang, biar masalah cepat kelar dan perhiasan Ibu dapat ketemu lagi," celetuk Ken masih menatap bingung Dena.
Helaan nafas kesal terdengar dari Dena seraya menatap suami dan anaknya dengan jengkel. Dirinya tak habis pikir akan otak pintar yang dipunya kedua lelakinya ternyata tak berfungsi.
"Di mana otak pintar kalian? Otak kalian masih berfungsi gak sih sebenarnya?" geram Dena bahkan dirinya sampai mengacak-acak rambutnya sendiri.
"Ya apa sih maksud Ibu? Tadi katanya perhiasannya hilang? Ya sudah kita lapor polisi aja, katanya banyak kan yang hilang?"
"Lagian Ibu jangan bikin kita tambah pusing lagi deh, kita itu sudah cukup pusing dengan adanya masalah yang menimpa keluarga kita sekarang. Terlebih pekerjaan juga terbengkalai begitu aja karena aku sama Ayah masih belum bisa balik kerja, jadi please deh Ibu jangan berbelit-belit kalau ngomong, to the point ajalah," pinta Ken mulai jengah terhadap sang Ibu.
"Huh! Perhiasan Ibu hilang itu karena Vanya yang ngambil!"
"Apa?!" terima Ken dan Bram bersamaan.
"Vanya? Kok bisa? Ibu tahu darimana kalau Vanya yang ambil?" tanya Bram seketika menegakkan posisinya.
"Iya Ibu tahu kalau dia yang udah curi perhiasaan Ibu, lagian siapa juga yang berani mencuri kalau bukan dia?"
"Ayah kenapa? Kaget? Ga percaya kalau anak pungut yang kamu sayangi itu yang udah mencuri? Hah?" ucap Dena sarkas.
"Perhiasan apa yang dia ambil Bu?" tanya Ken menahan amarah karena lagi dan lagi adik angkatnya itu kembali berbuat ulah.
'Tenryata selama ini gue salah orang, gue salah ngasih perhatian ke dia, yang nyatanya dia adalah pembunuh dan pembuat masalah dari keluarga gue. Feeling Ibu memang benar, dari awal Ibu gak suka sama dia, ternyata ini jawaban dari ketidaksukaan Ibu selama ini? Hah! Seharusnya gue percaya sama Ibu, pasti hal ini gak bakal terjadi, dan Kak Kai juga pasti masih hidup sampai sekarang,' gumam Ken dalam hati menyesali sikapnya terdahulu yang tidak mempercayai sang Ibu, tetapi malah lebih percaya terhadap orang baru yang akhirnya akan membuatnya menyesal sekarang.
"Banyak Ken, kalung, cincin, gelang, semuanya hilang. Hanya tersisa berapa pasang."
"Pasti dia mencuri karena buat bayar orang suruhannya buat bunuh Kaira, Ibu yakin itu!" imbuhnya lantang tanpa keraguan sedikitpun.
"Tapi kita belum tahu kebenaran itu Bu, siapa tahu yang nyuri bukan dia," seloroh Bram masih tetap tak percaya akan tuduhan tersebut. Entah, mengapa Bram masih tak bisa sepenuhnya untuk membenci Vanya, walaupun ia sangat ingin membenci anak angkat yang telah membunuh anak kandungnya sendiri.
'Aku harap bukan kamu yang mencuri, agar kebencian ini tak semakin menumpuk.' Bram sungguh berharap bukan Vanya yang mencuri, karena jika boleh jujur hatinya masih belum sepenuhnya menerima jika gadis yang selama ini ia didik ternyata orang yang membuat keluarganya menjadi tidak lagi utuh.
"Ayah apaan sih? Ngapain masih gak percaya sih? Kenapa seolah kamu itu belain dia terus? Kamu kenapa sih? Kamu mau terus percaya sama anak pungut itu? Kamu mau dia menghabisi keluarga kita lagi gitu? Hah?" sentak Dena melotot tajam kepada Bram.
"Udahlah kalau kamu masih mau percaya sama anak pungut itu, terserah! Terserah kamu mau gimana lagi. Sekarang ayo kalian ikut Ibu, ada sesuatu yang mau Ibu tunjukkan," ajaknya langsung beranjak dari tempat duduknya.
***
Sementara di kediaman Bramantyo masih kisruh berdebat, lain halnya dengan apa yang sedang dilakukan oleh Zevanya saat ini. Kini dirinya tengah berada di sebuah mall tempat kejadian di mana kebersamaannya terakhir bersama Kaira.
Yang saat ini akan ia.lakikan ialah untuk mencari bukti dari cctv di Mall tersebut yang pastinya mengarah ke jalan tempat kecelakaan itu terjadi.
Dengan hanya berbekal uang sejumlah lima puluh ribu, ia nekat pergi keluar rumah hanya untuk dapat mencari bukti agar dirinya tak lagi disalahkan akan hal yang memang tak pernah ia lakukan.
"Aku gak tahu ini akan berhasil atau tidak, tapi aku hanya bisa berharap jika apa yang aku lakukan hari ini tidak akan sia-sia. Dan ya, ini awal perjuanganmu Vanya untuk mengembalikan kepercayaan keluargamu dan menghapus omongan negatif yang memang tak pernah kamu lakukan."
"Ya, aku harus semangat dan gak boleh menyerah," gumamnya menyemangati dirinya sendiri.
Langkah kaki kecilnya membawa ia menuju petugas keamanan untuk menanyakan tujuannya, dan dengan langkah pasti ia melangkah percaya diri menghalau pikiran kacaunya saat ini.
"Permisi Pak, saya ada sedikit keperluan dan apa boleh saya melihat cctv dari gedung mall ini?" tanyanya setenang mungkin walaupun ia takut jika ia tak akan diijinkan untuk melihat hasil rekaman cctv itu.
"Maaf Mba, tapi kami tidak bisa menerima sembarang orang untuk bisa melihat rekaman cctv," jawab petugas tersebut seraya matanya memindai tubuh Vanya dari atas hingga bawah.
"Saya mohon Pak, saya sangat butuh itu. Saya hanya ingin melihat rekaman yang mengarah ke jalan, karena saya butuh bukti atas kecelakaan yang terjadi beberapa hari yang lalu."
"Maaf Mba, gak bisa."
"Saya mohon Pak, ijinkan saya melihat cctv tersebut." Vanya terus memohon, kedua tangannya ia satukan di depan dada.
Karena merasa jengah sekaligus tak tega melihat Vanya yang terus memohon, akhirnya petugas tersebut pun mengarahkan Vanya untuk menuju ruang keamanan yang berada di lantai bawah Mall tersebut.
Senyum tipis terukir di wajah Vanya, berharap ia akan mendapatkan apa yang ia inginkan.
'Terima kasih Tuhan, tolong lancarkan lah hariku.'
"Permisi Pak, maaf mengganggu. Saya kemari ada keperluan untuk melihat rekaman cctv yang mengarah ke jalan raya, saya ingin melihat rekaman kecelakaan di jalan depan beberapa hari yang lalu." Vanya terus mengukir senyum tipis menatap petugas keamanan tersebut.
"Anda sudah mendapat ijin dari siapa untuk bisa melihat rekaman tersebut?"
"Maaf anda harus mendapat ijin minimal dari manager mall ini jika ingin melihat ke dalam ruangan." Petugas tersebut langsung menolak permintaan Vanya.
"Tapi Pak, saya tidak memiliki niat apapun. Saya hanya ingin melihat kejadian kecelakaan beberapa hari yang lalu, itu saja. Saya mohon Pak, saya sangat butuh itu saat ini."
"Kejadian itu-"