"Kejadian itu sudah berlalu beberapa hari yang, dan anda tidak memiliki alasan yang jelas untuk apa anda ingin melihat rekaman tersebut. Dan terlebih anda juga belum mempunyai ijin dari atasan kami, jadi anda tidak ada hak sedikitpun untuk melihat rekaman tersebut." Penolakan tegas dari pihak keamanan tersebut jelas membuat Vanya semakin merasa frustasi. Dirinya menjadi gusar dengan otak yang terus ia paksa berputar untuk memikirkan jalan apa yang bisa ia ambil.
'Ya tuhan, aku harus apa sekarang? Aku cuma mau melihat rekaman itu dan memastikan dengan jelas kejadian yang sebenarnya dan mungkin bisa menjadi titik terang dalam masalah ini, tapi kenapa dipersulit seperti ini? Sekarang aku harus gimana tuhan?' tanyanya dalam hati.
Mata bening itu kini kembali berkaca-kaca. Karena ia sudah mulai lelah dan juga bingung harus mencari bantuan kepada siapa. Teman? Ia tak memiliki teman yang bisa menolong dan dirinya sangat yakin untuk dapat melihat rekaman tersebut harus memiliki orang dalam yang bisa membantunya, sedangkan dirinya sadar betul jika ia hanya rakyat biasa yang tak memiliki kekayaan ataupun kekuasaan untuk melakukan hal tersebut. Dalam hati ia merasa mustahil untuk mendapatkan hasil yang ia inginkan, Namun, karena dorongan dalam hati yang mengantarkannya hingga sekarang ia berada di Park Land Mall.
Semangat dalam diri pun tak pernah padam dan tak ada niatan sedikit pun untuk menyerah. Berkali-kali bibir mungil itu memohon belas kasih dari orang, berharap ada yang iba terhadap dirinya.
"Tolong Pak, saya mohon kepada Bapak dengan kesungguhan hati saya. Saya sangat butuh rekaman tersebut. Saya tidak tahu harus mencari ke mana lagi rekaman tersebut selain di Mall ini, karena memang Mall inilah yang jaraknya terdekat dari tempat kejadian naas tersebut. Saya mohon Pak," lirih Vanya dengan muka memerah menahan tangis.
"Ada apa ini ramai-ramai?" tanya seseorang pria dewasa berpostur gagah lengkap dengan setelan jas yang melekat pada tubuh tegapnya.
Atensi Vanya dan beberapa orang keamanan seketika berpindah ke orang tersebut. Tanpa bertanya pasti orang juga sudah tahu jika pria yang sedang mendekat ke arah mereka itu adalah orang penting.
"Ada apa ini kenapa ramai-ramai di sini?" tanyanya kembali dengan pandangan mata menatap Vanya intens.
"Ini Pak, ada orang asing yang memaksa masuk ke control room untuk melihat rekaman cctv, padahal dia tidak ada ijin sama sekali untuk melihatnya. Dan maaf karena sudah membuat gaduh, tetapi kami akan segera mengamankan wanita ini agar keluar dan tidak membuat kerusuhan lagi," jawab salah satu petugas menunduk hormat.
Mendengar jawaban tersebut Vanya semakin yakin jika pria yang begitu berwibawa itu pasti mempunyai jabatan penting di Mall tersebut. Dan tanpa pikir panjang, dirinya langsung saja mendekat tanpa rasa takut sedikitpun.
"Siang Pak, maaf jika saya lancang, tapi saya mohon ijinkan saya untuk melihat sejenak rekaman tersebut, saya hanya ingin memastikan sesuatu. Saya mohon Pak."
"Kejadian kecelakaan tersebut menewaskan Kakak saya, jadi saya sangat butuh rekaman tersebut. Saya mohon ijinkan saya Pak." Vanya terus saja memohon tanpa memperdulikan beberapa petugas yang berusaha menghalau dirinya agar menjauh dari pria tersebut.
"Anda membutuhkan itu untuk apa? Kami tidak mungkin memberi ijin begitu saja. Siapa yang bisa menjamin jika anda tidak akan menyalahgunakan itu?" tanya penuh intimidasi dari pria yang bernama Zidan Erlangga.
"Saya tidak akan menyalahgunakan hal itu Pak, saya bisa menjamin itu semua. Karena saya hanya ingin mengetahui secara detail kejadian tersebut, karena kejadian kecelakaan itu sudah menewaskan Kakak saya," terangnya sendu, ingatannya kembali menerawang akan kejadian mengerikan tersebut hingga tubuhnya bergetar.
"Oh, jadi kecelakaan itu yang ingin anda lihat? Tapi apa benar korban itu Kakak kamu sendiri?" Zidan menyipitkan matanya menatap penuh selidik.
Zidan Erlangga ialah pria yang tak lain seorang anak dari pemilik Park Land Mall yang tak lain ialah Mall yang saat ini ditapaki Zevanya. Tatapan pria dewasa itu tak lepas dari Vanya, gadis polos sederhana yang tengah memohon dengan wajah memelas membuat dirinya merasa iba.
'Kenapa dia tampak begitu sedih? Apa sebegitu sedihnya dia karena ditinggalkan Kakaknya?' Zidan bertanya-tanya dalam hati, karena raut wajah Vanya tampak begitu menyedihkan bahkan, air mata sudah menumpuk di pelupuk mata gadis itu.
'Kok gue jadi merasa kasihan ya sama dia?'
"Iya Pak, dia Kakak saya, dia korban tabrak lari tersebut dan saya mohon tolong bantu saya."
Lamunan Zidan buyar ketika mendengar ucapan dari Vanya, bahkan gadis itu berani menggenggam tangannya.
Seakan terhipnotis, Zidan dengan cepat menganggukkan kepalanya dan mengiyakan permohonan dari Vanya.
Ucapan terima kasih pun berkali-kali terucap dari bibir mungil Vanya. Wajahnya pun kembali berseri, secercah harapan seakan menyinari dan membangkitkan semangat dalam diri.
Dan tanpa membuang waktu lebih lama lagi, Vanya langsung diarahkan ke control room dan langsung mengcopy rekaman yang memang ia cari.
"Hasil rekaman ini gak akan cukup untuk membuktikan kalau aku gak bersalah. Tapi gak masalah, aku hanya harus berusaha lebih lagi untuk mendapatkan bukti kalau aku gak bersalah." Senyum indah terus terukir, walaupun perutnya terus meronta karena ia melewatkan sarapan dan sekarang matahari telah condong ke arah barat, menandakan jika hari sudah siang. Namun, ia tetap melangkah menuju halte menunggu bis yang akan mengantarkannya kembali ke rumah yang selama ini memberinya kenyamanan dan keamanan.
"Setelah ini aku harus mencari bukti ke mana lagi ya? Oh, aku tahu ... keyaknya aku harus mencari tahu tentang pria yang telah memfitnahku. Kenapa dia tampak begitu membenciku? Kenapa dia juga sudah merencanakan ini dengan matang hingga membuat bukti palsu?"
"Ah, kepalaku semakin pusing kalau mikir tentang itu. Tapi mau gimana lagi, mau gak mau tetap aku harus mikirin hal itu. Hal berat lagi dalam hidupku."
"Entahlah, kenapa hidupku penuh cobaan berat gini. Gak mungkin kan kalau aku diciptakan hanya untuk mengalami kepahitan dalam hidup ini?" tanyanya sendu bertopang dagu sembari matanya menatap flashdisk yang menyimpan hasil rekaman cctv tersebut.
Waktu berlalu dengan cepat hingga kini ia telah sampai di rumah megah yang tampak begitu sepi. Helaan nafas berat terdengar, seolah dirinya enggan untuk memasuki rumah tersebut. Namun, ia juga masih membutuhkan keluarga dan rumah tersebut. Karena hanya di rumah itu ia bisa menemukan kehangatan dan kenyamanan.
"Wah, gadis pembunuh ini sudah pulang?" tanya Dena bersidekap menatap nyalang Vanya yang ada di hadapannya.
Tak ingin, membalas perkataan Dena yang menyakitkan hati, Vanya berlalu begitu saja melewati Dena dengan kepala menunduk.
"Heh! Mau ke mana kamu? Saya belum selesai bicara!" sentak Dena menarik rambut panjang Vanya.
"Saya baru tahu, selain pembunuh kamu juga ternyata pencuri ya?"
"Maksud Ibu apa?" tanya Vanya tak mengerti akan tuduhan Dena. Dirinya mendongak menatap Dena, dan ekor matanya kini menatap dua orang pria yang berjalan mendekati ke arahnya.
"Halah! Gak usah berlagak bodoh deh! Kamu pasti tahu apa maksud saya!"
"Kamu mencuri untuk membayar orang suruhan-mu itu kan?! Ngaku kamu!"
"Saya gak tahu apa yang Ibu maksud, sungguh."
"Pencuri mana ada yang ngaku," celetuk Ken memutar bola matanya malas.
"Ya. Ken benar. Pencuri gak akan ada yang ngaku lah Bu, apalagi orang yang memang gak dididik dengan baik sedari kecil," sahut Bram menyulut api emosi dalam hati Vanya. Namun, sebisa mungkin ia tahan.
Dena hanya tertawa sinis menatap ketidakberdayaan Vanya.
"Selain kamu bayar pakai uang hasil curian, pasti kamu juga membayarnya dengan-"