Lama bergelut dengan pikirannya sendiri, akhirnya Vanya memilih untuk mengistirahatkan tubuhnya di atas kasur berukuran sedang, mengingat jarum jam telah menunjukkan pukul satu dini hari dan dirinya harus kembali mengumpulkan energi untuk menghadapi hari esok yang masih menjadi teka-teki.
"Esok yang datang aku harap ia akan membawa kebahagiaan dan keajaiban serta keberkahan dalam hidupku, aku mohon tuhan aku sungguh lelah hari ini," gumam Vanya mengiringi ia menuju mimpi yang akan mengantarkannya ke alam damai.
Detik demi detik berlalu dengan begitu cepat meninggalkan masa lalu dan berganti masa sekarang. Hari di mana semua orang ingin menyongsong hari yang indah. Namun, entah apa yang sedang dipikirkan oleh gadis yang baru saja terbangun dari tidur singkatnya itu. Gadis berambut panjang itu termenung duduk di atas kasur menatap kosong jendela yang menampakkan pemandangan sejuk tanaman hijau tersebut. Tak ada gairah yang terpancar dari sorot matanya untuk menjalani hari.
"Kenapa hidupku dipenuhi oleh kesengsaraan?" gumamnya mendesah pelan. Dirinya yang selalu semangat kini ia merasa malas untuk beranjak dari kamar terlebih dirinya masih enggan untuk bertemu dengan keluarganya yang sudah menorehkan luka dalam hati. Dan beruntungnya kini ia tidak sekolah karena ujian telah usai, sehingga ia dibebaskan dari sekolah, satu hal yang paling ia sukai.
"Kemarin aku menanti untuk hari libur, tapi hari ini aku lebih baik untuk berangkat sekolah dan terhindar dari semua orang," ujarnya melangkah ke arah jendela kamarnya.
"Aku masih takut untuk berhadapan dengan mereka, huh!" imbuhnya menghembuskan nafasnya kasar.
Gadis berkulit putih itu kini justru pikirannya menerawang saat ia masih berada di panti asuhan tempat ia dibesarkan selama belasan tahun. Tempat yang dulu menjadi tempat ternyamannya, dan tempat yang manjadi saksi di mana ia menjalani dunia yang penuh kekerasan itu. Tanpa sadar gadis itu kini merindukan tempat yang telah lama ia tinggalkan. Ia merindukan keceriaan, kehangatan, dan kekeluargaan. Ibu panti yang selalu menyayangi walau tidak ada ikatan darah sedikitpun.
Kini, dalam pikiran Vanya justru terlintas untuk kembali pulang ke tempat panti karena ia sudah tidak merasakan kehangatan dalam keluarga Bramantyo yang selama ini memberinya kelimpahan kehangatan dan selalu menjadi alasannya untuk menjalani hari dengan lebih baik lagi, tapi kini ia tak tahu apakah keluarga ini masih menjadi rumahnya untuk pulang?
Kejadian kemarin sungguh melekat di otak, di mana ia mendapatkan fitnah, hinaan dan kekerasan dari orang yang selalu melindunginya. Jujur, Vanya merasakan hatinya lebih sakit ketika ia tidak mendapatkan kepercayaan dan fitnahan dari keluarganya ini, daripada ketika ia mengetahui jika dirinya hanya anak yang tidak dianggap oleh kedua orang tuanya yang tak pernah ia temui.
"Hati aku sudah terlanjur terpaut pada kalian, tapi kenapa seolah takdir sedang mempermainkan aku dengan membawa skenario yang begitu rumit seperti ini? Apa aku harus pergi lagi ke tempat semula agar kalian hidup dengan tenang dan aku tak lagi mendapatkan luka yang begitu pedih ini?" Vanya masih bergelut dengan pikirannya yang bercabang, memikirkan akan hal apa yang ingin ia ambil untuk saat ini.
"Jika memang aku harus kembali lagi ke panti aku tidak masalah, tetapi bagaimana dengan sekolahku? Sebentar lagi aku lulus, apakah aku harus mengubur cita-citaku?"
Pertimbangan-pertimbangan akan hal itu membuat kepalanya menjadi pening, hingga kedua tangannya mengacak-acak rambutnya yang terurai bebas.
"Huh, rambut yang dulu selalu di usap dengan lembut ini kenapa harus manjadi sasaran dari amarah Kak Ken? Miris sekali," selorohnya menatap kumpulan rambut yang ada di genggamannya dengan tertawa pelan.
Lama bergeming dengan pikirannya sendiri, tanpa disadari oleh Vanya, di luar telah terjadi kegaduhan. Dena, istri Bram teriak-teriak memanggil Vanya namun, gadis itu tak kunjung keluar hingga membuat Dena meradang.
Jam di dinding telah menunjukkan pukul tujuh pagi, namun rumah yang biasanya sudah rapih bersih kini masih terlihat berantakan, bahkan meja makan pun masih kosong belum tersaji makanan apapun.
"Ke mana anak pungut itu? Kenapa rumah masih berantakan seperti ini? Sudah mulai berani ya ternyata itu anak!" geramnya berdecak pinggang dengan mata menyorot seluruh ruangan yang masih tampak begitu berantakan.
Tanpa pikir panjang, dirinya pun segera melangkahkan kakinya menuju kamar Vanya yang terletak di bawah tangga.
Brak!
"Apa kau tuli hah? Bagus sekali kau sudah berasa Nona di rumah ini hah?! Jam berapa sekarang?!"
Gebrakan dan teriakan Dena yang nyaring membuat Vanya terlonjat.
"Enak? Enak Hah? Dasar pemalas! Anak tidak tahu diri! Apa kau hanya bisa berdiri membisu seperti itu?! Rumah masih berantakan dan kau malah enak-enakan di kamar!" teriak Dena menunjuk wajah Vanya dengan jari telunjuknya.
"Maaf Bu, tadi aku kesiangan," jawab hanya jujur karena dirinya memang kesiangan karena semalam ia tak kunjung bisa terlelap.
"Halah alasan! Cepat sekarang keluar!" titah Dena menyeret lengan Vanya dengan kuat hingga terdengar rintihan dari mulut Vanya.
"Dasar pemalas! Cepat sekarang buat sarapan untuk kami!" titah Dena kembali mendorong tubuh Vanya hingga tubuh kecil itu tersungkur di lantai.
Tanpa perlawanan dan jawaban, Vanya pun langsung bangkit bergegas menuju dapur untuk membuat menu sarapan, tapi sebelum itu ia menyempatkan diri untuk pergi membasuh wajahnya di toilet samping dapur.
"Semangat Vanya, semoga hari ini menjadi harimu!" Vanya menyemangati dirinya sendiri dengan sebuah senyuman yang melengkung indah terlukis di raut wajahnya yang ayu.
"Cepat lakukan tugasmu! Dasar lelet!" umpat Dena bersidekap dada memandang Vanya yang sedang berkutat di depan kompor dengan tatapan sinis.
Kejadian kemarin membuat Dena bisa dengan bebas meluapkan emosinya kepada Vanya tanpa takut lagi terhadap sang suami, Bram. Kepuasan pun ia dapatkan karena ia bisa menunjukkan ketidaksukaannya terhadap Vanya, anak angkat yang selalu ia anggap sebagai pembawa malapetaka. Karena dalam otak Dena, Vanya hanya orang miskin yang ingin menguasai harta milik keluarganya.
Satu jam lebih bergulat di dapur, akhirnya Vanya telah selesai menghidangkan berbagai menu sederhana yang biasa ia masak ke meja makan. Senyum mengembang di bibirnya menyambut dua pria pahlawannya yang berjalan menuju meja makan.
'Semoga selamanya mereka tetap akan menjadi pahlawanku,' gumam Vanya penuh harap.
"Pagi Ayah, Kak Ken." Vanya menyapa dengan senyuman tulus walaupun hatinya kembali perih ketika mengingat kekejaman yang mereka lakukan kepadanya kemarin.
Sambutan tulus Vanya nyatanya tak dihiraukan oleh mereka, bahkan menatap pun mereka enggan. Dan hal tersebut membuat hati Vanya kembali sesak namun, ia berusaha menutupinya dengan senyuman.
'Akhirnya mereka sadar kalau anak pungut ini tak sebaik yang mereka kira,' gumam Dena tersenyum penuh kemenangan.
"Ibu, Ayah, sama Kak Ken mau makan sama apa? Biar Vanya ambilin." Vanya mencoba bersikap seperti biasanya, di mana ia selalu menyiapkan makanan di piring mereka.
"Kami rasa kami masih punya tangan untuk mengambil sendiri, dan kami juga tak sudi dilayani oleh iblis berkedok manusia sepertimu!"