Setelah pertikaian dan perdebatan panjang yang kembali terjadi di rumah Bramantyo, kini rumah itu kembali sunyi senyap. Penghuni rumah tersebut memilih untuk mengistirahatkan tubuh dan otaknya yang sudah lelah.
Namun, hanya satu orang di rumah itu yang memilih untuk tidak mengistirahatkan tubuh serta jiwanya, ialah Zevanya Staphanie. Gadis itu masih termenung duduk di atas lantai dengan kedua tangan memeluk dirinya sendiri, menyalurkan rasa hangat berharap bisa menenangkan dirinya sendiri.
Namun, usapan halus yang menyentuh lengannya itu tak mampu membuatnya kuat. Jiwa yang rapuh itu semakin rapuh kala dihadapkan oleh kenyataan yang menyesakkan dada. Mata perih dan memerah seakan tak ingin berhenti menitihkan air mata meresapi kepahitan hidup yang ia jalani.
"Kak, bisakah kita bertukar tempat? Bisakah aku saja yang meninggal? Sungguh aku lebih rela meninggal demi membuat keluarga ini bahagia daripada aku hidup tapi hanya untuk disakiti seperti ini," ucapnya lirih dengan tangan terkepal kuat memukul dadanya yang terasa begitu sesak.
Lama dirinya bersimpuh di atas lantai tak membuatnya merasa dingin ataupun berkeinginan untuk beranjak meninggalkan tempat tersebut. Berjam-jam lamanya semenjak semua orang meninggalkan dirinya namun dirinya masih saja betah menumpahkan segala keluh kesah di hatinya. Mungkin, tak akan ada yang dapat mendengar rintihan tangisnya saat ini karena ia hanya ditemani oleh benda mati yang ada disekelilingnya.
Tempatnya dulu bersandar kini tak ada lagi, Kaira serta Kennard adalah dua orang yang selalu Vanya percayai hingga ia tak pernah menutup-nutupi apapun tentang hidupnya, bahkan perlakuan dari Ibu angkatnya juga selalu ia ceritakan. Namun, kini kedua sandaran itu hilang dalam sekejap, tak ada lagi yang bisa memberinya nasihat, saran serta dukungan yang sangatlah ia butuhkan. Kini, tidak ada lagi yang mau mendengar dan melihat dirinya seperti sedia kala, yang ia dapat kini hanya tatapan tak percaya, marah serta kecewa. Ya, mungkin ini akibatnya jika ia memiliki mental dan tubuh yang lemah sehingga ia tak dapat membentengi dirinya sendiri dari orang yang ingin menjatuhkan dirinya, pikir Vanya.
Tetapi, apakah itu semua keinginan Vanya? Tentu tidak, jika bisa memilih ia ingin menjadi seseorang yang kuat dan tak mudah ditindas. Namun, kenyataan tak seperti itu, ia tak memiliki cukup kekuatan serta nyali yang kuat, bahkan hanya sekedar untuk melindungi dirinya. Dan dengan entengnya ia malah membiarkan dirinya terus tertindas oleh Dena, ibu angkatnya.
"Tuhan, kenapa hidupku hancur seperti ini? Apa aku memang tak diharapkan untuk hidup hingga kedua orang tuaku saja tak mau untuk merawatku?" tanyanya pilu.
Hati seorang gadis yang baru berusia delapan belas tahun itu seakan sudah tak kuat lagi akan menerima takdir hidupnya, di usia yang baru menginjak dewasa itu harus dihadapkan oleh situasi yang cukup rumit dan pelik. Kilasan akan sederet rentetan peliknya hidup itu kini melintasi memorinya, mengingatkannya betapa menyedihkan hidup yang harus ia jalani.
Kekehan terdengar dari mulut Zevanya, gadis itu menertawakan dirinya sendiri.
"Huh, apakah ada yang hidupnya lebih berat dari aku? Apa tuhan sedang ingin bermain takdir denganku agar aku dapat menjalani hidup ini dengan lebih baik dan lebih mengingatnya? Yah, aku rasa tuhan hanya sedang ingin memberiku sedikit ujian hidup untukku. No, bukan sedikit, tapi besar," ucapnya dengan kekehan kecil yang masih terdengar dari mulut mungilnya.
Dengan langkah gontai dirinya beranjak untuk menuju kamarnya yang terletak di lantai satu, dengan rintihan kecil karena kakinya yang terluka akibat Kennard yang terus menyeretnya hingga mengakibatkan kakinya keseleo.
Di dalam kamar yang tak terlalu besar itu, Vanya justru kembali termenung di atas kasur dengan memeluk kedua lututnya. Rintihan tangis pilu itu masih saja terdengar, seakan tak bisa berhenti walaupun sejenak.
Mata merah dan mulai membengkak itu seakan tak ingin membiarkan sang empu untuk beristirahat dan memejamkan matanya.
"Apa yang akan terjadi besok? Kejutan apalagi yang akan aku dapat? Apa aku akan mendapat hinaan serta makian lagi?" ucapnya pada dirinya sendiri.
"Tuhan, tidak bisakah engkau mengirimkan aku satu orang saja yang dapat selalu percaya denganku? Yang selalu ada di sampingku ketika aku rapuh? Aku butuh itu Tuhan, atau apakah aku tak layak untuk mendapatkan sandaran hidup? Walaupun itu Ayah angkatku?" imbuhnya tertunduk lesu menatap kedua kakinya.
"Lihatlah, bahkan kaki serta tangan aku memar begini." Vanya menatap kaki serta tangannya yang memang memar karena cengkraman kuat dari Kennard. Satu tangannya terulur untuk mengusap luka pada tubuhnya itu dengan lembut.
"Dulu mana pernah Kak Ken membuat aku terluka, bahkan jika Ibu melukaiku pasti dia yang paling khawatir dan akan mengobati lukanya. Tapi lihat sekarang, justru orang yang dulu paling perduli pun sekarang justru menjauh dan melukaiku seperti ini," seloroh Vanya seraya mengusap air matanya dengan kasar.
"Kenapa air mata ini gak mau berhenti juga sih? Udah dong, aku capek, aku gak boleh terus nangis terus gini." Vanya lantas mengusap kasar wajahnya serta mengacak-acak rambutnya hingga rambut panjang itu kini bertambah berantakan.
Kini ia kembali menurunkan kedua kakinya menuju kamar mandi untuk membasuh mukanya yang terasa begitu aneh.
"Menangis tidak akan menyelesaikan masalah bukan? Menangis hanya dapat mengurangi sesak di dada, tapi kenapa sesak ini tidak berkurang sama sekali?" tanyanya menatap cermin yang menampakkan wajahnya yang memerah serta mata yang menyipit karena bengkak.
"Wajah aku sudah seperti zombie, sungguh mengerikan," ucapnya menertawakan dirinya sendiri.
Kedua mata merah itu terus menatap lurus, menatap dirinya dalam pantulan cermin. Menatap dalam matanya menyelami dalamnya hidup yang ia jalani.
"Semua memang tak pernah tahu ujian apa yang harus ia jalani dalam hidup. Namun, jika bisa memilih aku lebih baik mati dan tak akan pernah merasakan pahitnya hidup," gumamnya lirih.
Kedua mata itu kini terpejam dengan helaan nafas kasar yang ia hembuskan dari hidungnya.
"Hari esok biarlah menjadi misteri ilahi, apapun yang terjadi aku harus tetap ingat jika tuhan selalu bersamaku, walaupun manusia tak mau berada di dekatku, tapi setidaknya aku masih mempunyai tuhan yang bisa aku andalkan."
"Jika hari esok lebih berat, aku tak boleh menyalahkan Tuhan. Ingat Vanya, tuhan memberikan kamu kehidupan, pasti dia juga mempunyai maksud yang baik," ujarnya menasehati dirinya sendiri.
"Apapun yang akan dilakukan oleh keluargaku ini besok, aku harus tetap berusaha untuk meyakinkan mereka dan mencari bukti jika aku memang tak bersalah. Ya, hanya itu satu cara agar aku tak lagi dianggap sebagai pembunuh," imbuhnya memukul kembali dadanya yang terasa semakin sesak.
'Luka fisik mungkin dapat disembuhkan seiring berjalannya waktu. Namun, bagaimana dengan luka hati? Apa bisa disembuhkan? Berapa lama untuk menyembuhkannya? Satu Minggu? Satu bulan? Satu tahun? Atau seumur hidup?" batin Vanya meremas kuat dadanya yang terlapisi sweater.